Ditetapinya Kembali Jama'ah Muslimin (Hizbullah) sebagai wujud Khilafah 'Alaa Minhajin Nubuwwah Dan Jama'ah Muslimin (Hizbullah) di Maklumkan/di Maklumatkan.
اللهُ أَكْبَرُ، أَللهُ أَكْبَرُ ، لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ
هُوَ اللهُ أَكْبَرُ، أَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Alhamdu lillaahi Robbil ‘alamiin, pada Hari Raya Iedul Adha, 10 Dzulhijjah 1372 H, dengan taqdir dan idzin ALLAH Subhanahu wa Ta’ala semata-mata, Jama’ah Muslimin (Hizbullah) sebagai wujud Khilafah ‘Alaa Min-haajin Nubuwwah dimaklumkan di Jakarta Raya, Indonesia, dan disiarkan ke Dunia Islam. Tujuh bulan sebelum pemakluman itu Jama’ah Muslimin ini telah diwujudkan kembali, ditandai dengan pembai’atan Imam dan makmum di Jakarta pada hari Jum’at pagi, 8 Rabiul Akhir 1372 H. (23 Januari 1953 M.) setelah dirintis pada masa akhir penjajahan Belanda di Indonesia dalam situasi Perang Dunia II.
Ditetapi kembali Al Jama’ah ini adalah suatu karunia ALLAH, dalam memenuhi panggilan suci, panggilan ALLAH dan Rasul-Nya, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepada orang-orang beriman untuk hidup ber-Jama’ah, antara lain difirman-kan ALLAH dan disabdakan Rasul-Nya seperti tersebut di atas, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada ALLAH sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan kamu sebagai Muslimin. Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada Tali ALLAH (Al-Qur’an: Islam) dengan ber-Jama’ah, dan janganlah kamu berpecah belah (berfirqah-firqah) ; dan ingatlah akan ni`mat ALLAH kepada kamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka ALLAH mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat ALLAH orang-orang yang bersaudara; dan kamu (sebelumnya) telah berada di tepi jurang Neraka, lalu ALLAH menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah ALLAH menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (Al-Qur’an, surah Ali Imran, ayat 102-103).
Dan bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:
“Tetaplah kamu berada dalam Jama’ah Muslimin dan Imaam mereka.” (Hadits Riwayat Al-Bukhori: juz 44 halaman 225; Muslim: juz 2 halaman 134-135; Ibnu Majah: juz 4 halaman 1317 no. 3972).
“Wajib atas kamu sekalian ber-Jama’ah dan jauhilah perpecahan (menyendiri), karena sesungguhnya syaithon bersama orang yang menyendiri dan dia menjauhkan diri dari dua orang. Barangsiapa hendak bertempat tinggal di Jannah, maka hendaklah dia menetapi Al Jama’ah. (Hadits Riwayat Tirmidzi dari ‘Umar: Sunan At-Tirmidzi: Jamiush Shahih, Kitabul Fitan, Bab Ma Ja-a Luzumil Jama’ah, juz 4: 465-466, no.3091).
“Aku perintahkan kepada kamu sekalian dengan lima perkara, sebagaimana ALLAH memerintahkan kepadaku dengan lima perkara itu, dengan ber-Jama’ah, Mendengar, Tho’at, Hijrah, dan Jihad fi-Sabilillah. Sesungguhnya barangsiapa keluar dari Jama’ah sekedar sejengkal, maka sebenarnya ia telah menarik ikatan Islam dari lehernya sampai ia kembali (taubat).” (Hadits Riwayat Ahmad: Juz 4 halaman 202).
Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Al-Jama’ah itu rahmat dan firqah itu azab.”(Hadits Riwayat Ahmad: Juz 4 halaman 375).
Adapun kalimat Hizbullah dalam tanda kurung itu adalah nama sifat, ciri dan sikap Jama’ah Muslimin tersebut, sebagaimana Firman ALLAH:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ. وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ .
“Pimpinan kamu hanyalah ALLAH dan Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang mengerjakan Sholat dan mengeluarkan Zakat, dan mereka adalah orang-orang yang ruku’. Dan barang siapa yang mengambil ALLAH dan Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi pemimpin, maka sesungguhnya itulah Hizbullah, merekalah orang-orang yang menang.” (Al Qur’an, surah Al Maidah : 55, 56).
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ.
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada ALLAH dan Hari Akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang ALLAH dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang ALLAH telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasuk-kan-Nya mereka ke dalam Jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. ALLAH ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada ALLAH. Mereka itulah Hizbullah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Hizbullah itulah yang menang”. (Al-Qur’an, Surah Al-Mujadalah, ayat 22).
Jama’ah Muslimin adalah wadah yang disediakan oleh ALLAH bagi Muslimin untuk bermasyarakat Wahyu, bermasyarakat Islam dalam beribadah kepada ALLAH menurut contoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Karenanya, Jama’ah Muslimin (Hizbullah) bukan suatu organisasi ciptaan atau karya akal pikiran manusia, bukan perserikatan, bukan sekte, bukan hizbiyah, bukan partai dan sebutan-sebutan lain yang dibuat oleh manusia. Tetapi Jama’ah Muslimin itu adalah ciptaan ALLAH, yang diwujudkan pelaksanaannya oleh Rasulullah Shallal-lahu ‘alaihi wa Sallam bersama para shahabat dan kaum Muslimin dahulu.
Jama’ah Muslimin yang berpihak kepada ALLAH (Hizbullah) lahir dari kandungan Islam untuk segenap kaum Muslimin, berjuang karena ALLAH, dengan ALLAH, untuk ALLAH, bersama-sama kaum Muslimin menuju Mardlatillah, ridho ALLAH.
Jama’ah Muslimin telah diwujudkan dan diamalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para shahabat beliau, kemudian dilanjutkan oleh para khalifah Rasyidin Al-Mahdiyyin. Kemudian Jama’ah Muslimin tenggelam pada masa Mulkan ‘Adhon dan Mulkan Jabariyah. Selanjutnya Jama’ah Muslimin sebagai wujud Khilafah ‘Alaa Minhaajin Nubuwwah diwujudkan dan dimaklumkan pada Hari Nahar 10 Dzulhijjah 1372 H. (20 Agustus 1953 M) sekaligus mengisi kevakuman kepemimpinan Dunia Islam setelah berakhirnya kepemimpinan Muslimin di bawah Mulkan Utsmaniyah di Turki yang sering disebut Khilafah Utsmaniyah dalam bentuk Mulkan. (1922-1924 M).
Jama’ah Muslimin (Hizbullah) terus tegak di tengah-tengah antara lain-lain golongan, menyeru kepada kebajikan, menyuruh berbuat ma’ruf dan menolak kemungkaran sejak 1372 H. hingga kini dan Insya ALLAH seterusnya sampai ALLAH menentukan keberadaannya. Tiada daya dan kekuatan apapun kecuali hanya dengan izin ALLAH Subhanahu wa Ta’ala. ALLAHU AKBAR ! ***
P E R I N T I S A N
Ditetapinya kembali Jama’ah Muslimin yang berpihak kepada ALLAH (Hizbullah) yang menjadikan ALLAH dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sebagai pimpinan, bukanlah dengan serta merta, tetapi melalui proses yang panjang, pen-dalaman dan penghayatan wajibnya Jama’ah/khilafah itu ditegakkan.
Usaha merealisasikan firman ALLAH Ta’ala dan Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang antara lain tersebut di atas dalam bermasyarakat Islam sesuai tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadits itu, mulai dirintis menjelang sakratal mautnya penjajahan kolonial Hindia Belanda di Indonesia (1940-1941) ketika terjadinya Perang Dunia II (1939-1945) antara Jerman, Italia dan Jepang versus Inggris, Perancis dan Amerika Serikat (Sekutu).
Dalam Perang Dunia itu, pada bulan Mei 1940 M, Jerman menyerbu dan menduduki Nederland (Belanda) dan Belgia, setelah April sebelumnya menduduki Denmark dan Norwegia. Pada waktu itu, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di negeri jajahannya di Indonesia menciut hatinya, penuh ketakutan, setelah pemerintah pusatnya hidup di pengasingan di Inggris, menjadi pemerintah pelarian.
Di Indonesia, Pemerintah Penjajah Hindia Belanda yang reaksioner itu melarang semua kegiatan berkumpul dan bersuara, karena dalam keadaan darurat perang menghadapi serbuan Dai Nippon (Jepang), apalagi Skwadron-skwadron tempur negara penyembah matahari itu menghancurkan pangkalan angkatan laut Amerika Serikat (AS) di Pearl Harbor (8 Desember 1941).
Pemerintah Kolonial Belanda ber-wajah rahwana yang menghisab dan menjajah Indonesia selama 350 tahun tidak memiliki harapan lagi untuk dapat menangkis serangan dari luar. Sedang rakyat Indonesia, yang mayoritas Ummat Islam, 3-1/2 abad hidup di bawah kezaliman Penjajah Nasrani Belanda yang melakukan kristenisasi sebagai alat penunjang penjajahan, tidak sudi mem-bela Belanda, dan berharap kemerdekaan Indonesia melalui perjuangan.
Dalam kancah Perang Dunia II, pada saat-saat akhir sejarah Kolonial Belanda di Indonesia itulah Wali Al-Fattaah, Hadimus-Sunnah (ahli hadits) Syaikh Mohammad Ma’sum, Ustadz Moham-mad Djauzi (penerjemah Al-Qur’anul Karim ke dalam bahasa Jawa), Ustadz Soebadi dan Mohammad Ma’sum, seorang awam biasa tetapi sangat gigih dalam perjuangan untuk Agama Islam dan Ustadz Abdul Djabar (Direktur Madrasah Muallimin wal Fajri di Karangkajen, Yogyakarta), mengadakan pertemuan silaturrahim di kediaman Ustadz Abdul Djabar di Karangkajen.
Wali Al-Fattaah menginginkan suatu sistem penyatuan Muslimin menurut Islam. Menurutnya kalau hanya berdasarkan pendapat-pendapat saja, Muslimin tidak akan bersatu. Hal ini telah dialaminya (1930-1934) dalam pergerakan politik Islam dalam Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) sejak masa kepemimpinan Haji Umar Said Tjokroaminoto dan Partai Islam Indonesia (PARII/PII – 1935-1941).
Syaikh Muhammad Ma’sum, seorang alim yang aktif dalam PSII, dan boleh dikata menjadi guru Wali Al Fattaah, menyampaikan kalimat HIZBULLAH yang termaktub di dalam Al-Qur’an, Surah Al-Maidah ayat 55-56 dan Al-Mujadalah ayat 22, yang menegaskan bahwa pimpinan bagi orang-orang beriman itu adalah ALLAH dan Rasul-Nya, dan mereka adalah Hizbullah.
Dalam musyawarah itu mereka sepakat untuk mewujudkan Hizbullah yang maknanya terkandung dalam ayat
tersebut, yaitu menjadikan ALLAH Rasul-Nya sebagai pimpinan yang wajib ditha’ati dengan segenap keikhlasan hati, dan berjuang di jalan ALLAH. Sejak saat itu mereka menyebut dirinya sebagai Hizbullah.
Dalam pada itu, balatentara Dai Nippon (Jepang) dengan semboyan Perang Asia Timur Raya, melalui perang kilat, menguasai Filipina, Malaya (Malaysia termasuk Singapura di dalamnya sebelum berpisah), kepulauan
Pasifik dan seluruh Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Inggris melarikan diri dari Malaya, dan Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang (Maret 1942).
Bangsa Indonesia yang mayoritas Ummat Islam, bersyukur enyahnya penjajah Kolonial Belanda dan kemerdekaan pun sudah terbayang. Kekalahan Belanda itu disambut hangat di seluruh Indonesia.
CATATAN SEJARAH
Sebagai suatu catatan sejarah, perlu diungkap, bahwa bangsa Indonesia sangat menderita di bawah penjajahan Kristen Belanda selama 3-1/2 abad, dimulai zaman V.O.C. (De Generale Nederlandsche Geoctrooide Oost Indis-che Compagnie/1602-1799), gabungan perusahaan2 dagang Belanda, yang di-wajibkan Pemerintah Kerajaan Belanda (Nederland) di Den Haag menyebarkan agama Kristen (mulai 1602 M) di Hindia Belanda (Indonesia).
Belanda mulai menguasai Indonesia setelah mengalahkan Pangeran Achmad Djakarta, wakil raja Banten yang memerintah Sunda kelapa (Jakarta) pada masa gubernur jenderal Belanda Pieter Both 1609-16140 dan Jan Pieterszoon Coen (1617-23 dan 1627-29) dan mengubah nama kota Jayakarta (Jakarta) menjadi Batavia (Bataaf atau Batavier), nama nenek moyang Belanda, menjadi pusat Pemerintahan Hindia Belanda (1619).
Penduduk pribumi menyebut Batavia dengan Betawi, dan V.O.C. dengan sebutan “kumpeni”. Istilah kumpeni kemudian diartikan militer, ialah tentara kolonial Hindia Belanda; masuk kumpeni berarti masuk menjadi serdadu tentara kolonial.
Dalam penyebaran agama Kristen, VOC di bawah pimpinan Gubernur Jenderal, yang menjalankan pemerintah-an umum atas nama Ratu Belanda, meniru Portugis dan Spanyol yang menyebarkan agama Kristen Katholik, yaitu secara paksa di Indonesia. Menjelang abad ke-16, orang-orang Spanyol sengaja datang ke berbagai pelosok dunia antara lain untuk memerangi Islam dan menggantikannya dengan agama Kristen. Ekspansi Portugis ini harus dilihat
sebagai kelanjutan dari Perang Salib. Pada 1661, VOC melarang Ummat Islam melaksanakan ibadah haji. (Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (PIHB). 16-17).
Semasa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811) yang sangat kejam, banyak korban jiwa manusia dalam kerja paksa (rodi) tanam kopi dan kerja paksa membuat jalan dari Anyer (Banten) ke Panarukan (Jawa Timur) untuk keperluan militer penjajah Belanda. Selain itu, Belanda juga me-maksa penduduk bekerja di per-kebunan2 kopi, karet, kelapa sawit dll. baik di Indonesia maupun tanah jajahan Belanda lainnya di Guiana Belanda (Suri-name). (AK.Pringgodigdo, Enskilopedi Umum (EU). 1061).
Belanda dapat menjajah Indonesia selama 350 tahun antara lain karena penduduk tidak bersatu menolak pen-jajahan.Kerajaan-kerajaan dan kesul-tanan-kesultanan yang ada masing-masing berdiri sendiri-sendiri, sehingga mudah bagi Belanda mengalahkannya.
Dari sulthan-sulthan yang berhasil dibujuk atau dipaksa itulah Belanda mendapatkan hak pemakaian tanah atau merampas dan menguasainya. Sebagian ada yang mengadakan perlawanan, tetapi tidak cukup kuat menolak penjajahan.
Seperti Portugis yang menerapkan politik divide et empera, memecah belah persatuan penduduk untuk me-nguasai mereka, Belanda juga menerap-kan politik pecah belah itu dengan cara mengadu domba bangsa Indonesia hingga lemah, dan menguasainya.
Dengan tipu muslihat yang licik Belanda melumpuhkan kekuatan per-lawanan kaum Muslimin, seperti Taruno Joyo di Mataram, Imam Bonjol di Minangkabau, Teuku Umar, Panglima Polem, Tjik Ditiro, Tjut Nyak Din di Aceh, Pangeran Diponegoro dan Kyai Mojo di Jawa Tengah, dll. Belanda membuat perangkap perundingan damai, mengundang pemimpin-pemimpin Muslim itu dengan bermuka ramah, kemudian menangkap dan membuang mereka di pengasingan hingga menemui ajalnya.
Untuk menunjang perluasan pen-jajahan, Belanda menyebarkan agama Kristen secara paksa terhadap pen-duduk dengan mendirikan Zending-zending Kristen yang dianggap sebagai faktor penting bagi proses penjajahan, bahkan “perluasan kolonial dan ekspansi agama Kristen merupakan gejala simbiose yang saling menunjang” (Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (PIHB).18). Kristenisasi besar-besaran dilakukan terhadap pribumi antara lain seperti di Tapanuli Utara dan Tanah Karo (Nederlandsch Bijbel Cenootschap memasukkan Dr H.M. van der Tuuk (1853 M), Dr. Nommensen (7 Nopem-ber 1863). Demikian juga di Pulau Jawa dan Maluku Selatan. (Portugis lebih dulu menggarap Maluku dengan memaksa penduduk memeluk Kristen Katholik dan mendirikan benteng (1522). Tetapi Kesultanan Ternate (abad ke-15-17) berhasil mengenyahkan Portugis dari Maluku (1574) dan memusnahkan pusat-pusat Kristen (EU.1097) pada masa Sultan Hairun dan Babullah. Sisa-sisa pasukan Portugis lari ke Timor Timur, menjajah dan memaksa penduduk menganut Kristen Katholik. Dengan masuknya pribumi ke dalam agama Kristen, baik Katholik yang disiarkan Spanyol dan Portugis, maupun Protestan, para penjajah ini mendapat dukungan. Penduduk yang telah menganut Kristen, apakah itu Katholik atau Protestan, tidak melakukan perlawanan terhadap para penjajah di Indonesia, bahkan sebaliknya mendukung.
Zending-zending yang sangat giat dalam mengkristenkan orang-orang di Indonesia pada waktu itu a.l. Zending van de Gereformeerde Kerken in Nederland onder Mohammadanen en Heldenen, giat di Jawa, Sumba dan Sulawesi Selatan terhadap orang-orang Islam dan orang-orang kufur. Zending van de Christelijke Gere-formeerde Kerk, giat di Mamasa dan Meulaboh. Nederlandsch Zendings Vereniging, penyebar Injil Belanda, giat di Jawa dan Sulawesi. (EU.737.1189). Selain Kristen Protestan, juga berkembang Katholik Roma di Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur (Flores dan Timor), Sulawesi Utara, Sumatera Utara dan Irian Barat (Papua).(EU.369). Pimpinan tertingginya Paus di Vatikan, Roma, Italia.
Belanda melahirkan orang-orang pilihan mempelajari Islam untuk me-merangi perlawanan bangsa Indonesia yang dipimpin oleh para alim dan pemimpin Islam Indonesia. Di antaranya paling terkenal Prof. Dr. Christian Snouck Hurgronje. Setelah sekolah Teologi dan fakultas bahasa Arab dengan gelar doktor, dengan nama samaran Abdul Gaffar, ia pergi ke Jeddah dan Mekkah memahirkan bahasa Arab, melakukan penelitian, mendiskusi-kan masalah hukum Islam dengan sarjana-sarjana Arab, mempelajari kehidupan sehari-hari orang Arab, dll. (1884-1885). Pengetahuan Snouck Hurgronje itu kemudian digunakan sebagai landasan politik pemerintah Hindia Belanda menindas pergerakan kemerdekaan Indonesa yang sebagian berdasarkan ajaran Islam, seperti Perang Aceh dan Sarekat Islam. (EU.1-2). Snouck Hurgronje sering pergi-pulang Batavia (Jakarta)-Kutaraja (Banda Aceh), terakhir 1898-1903 dan membantu Van Heutsz menaklukkan Aceh. Jabatannya: Peneliti masalah Islam di Aceh dan Jawa; Penasehat Bahasa-bahasa Timur dan Hukum Islam (diangkat 15 Maret 1891), Penasehat Urusan Pribumi dan Arab (mulai 11 Januari 1899), Guru besar Universitas Leiden (mulai 23 Januari 1907), merangkap Penasehat Menteri Jajahan. Ia wafat pada Juli 1936 dalam usia 79 tahun. (PIHB.115,116).
Selain itu, Belanda mendapat dukungan dari para penghianat (yang ada dalam setiap zaman) dalam perjuangan para pemimpin Ummat Islam mengusir penjajah. Penghianat-penghianat ini memiliki watak yang sama dengan Munafiq. Dalam sejarah bangsa Indonesia, tidak sedikit orang menjadi penghianat bangsa dan agama, sebagai mata-mata dan menjadi tentara Belanda untuk memerangi bangsa Indonesia. ***
Usaha Penyatuan Muslimin dan Pergerakan Kemerdekaan Indonesia
Usaha Penyatuan Muslimin dan Pergerakan Kemerdekaan Indonesia dilakukan oleh Ummat Islam melalui organisasi massa dimulai dengan berdirinya Central Sarekat Islam (C.S.I.) di Surabaya di bawah pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto (Cokro-aminoto). Tujuan perjuangannya adalah menegakkan Agama Islam dan memerdekakan Indonesia dari pen-jajahan Kolonial Hindia Belanda. Sebelumnya organisasi ini bernama Sarekat Dagang Islam (SDI), pertama di Betawi (Jakarta sekarang/1909), kedua di Bogor (1911), keduanya didirikan atas kegiatan wartawan Tirtoadi Suryo, ketiga di Solo (akhir 1911) oleh Haji Samanhudi. Kemudian pada 10 September 1912 menjadi Sarekat Islam (S.I.), dan menjadi C.S.I. (1915).
Sarekat Islam berubah menjadi satu-satunya partai politik dengan tujuan mempersatukan Ummat Islam pen-duduk asli Indonesia menjadi satu bangsa yang merdeka. Sarekat Islam ini memperhatikan dan memperjuangkan nasib orang-orang miskin yang menjadi bagian besar dari orang Indonesia, anti imprialisme, anti kolonialisme, anti feodalisme dan anti komunisme.
Dalam perjuangan itu, Sarekat Islam pernah diselusupi oleh Komunis yang digerakkan oleh orang-orang asing, yakni orang-orang Belanda dipimpin oleh tokoh komunis internasional H.J.F.M. Sneevliet. Ia mendirikan dan memimpin Indische Sociaal Democratische Veree-niging (ISDV) di Surabaya (9 Mei 1914). Anggotanya kebanyakan orang-orang Belanda yang menganut Marxisme, ajaran komunis Karl Marx (seorang Yahudi). Sneevliet dengan ISDVnya mempelopori berdirinya Partai Komunis Indonesia (PKI). Sneevliet merebut hati sejumlah pemuda Indonesia dan mendidik mereka dalam ajaran Marx. Di antara pemuda-pemuda itu terdapat Semaun, Tan Malaka dan Darsono yang kemudian menjadi anggota (menyelusup ke) Sarekat Islam (Rosihan Anwar, Pergerakan Islam dan Kebangsaa Indonesia : 33). Kemudian Semaun menjadi ketua S.I. lokal dan ketua PKI Semarang. Tetapi Sarekat Islam melakukan pembersihan (Oktober 1921) dengan mengusir orang-orang komunis itu dari Sarekat Islam. Kongres yang berikutnya (Agustus 1924) di Surabaya memutuskan Sarekat Islam akan giat menentang Komunis (EU.977).
Kongres Al Islam
Di bawah pimpinan Tjokroaminoto,Sarekat Islam melakukan usaha-usaha penyatuan Muslimin ditandai oleh diadakannya Kongres Al-Islam (per-tama di Cirebon, November 1922) atas prakarsa Sarekat Islam bekerja sama dengan Muhammadiyah (didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan di Yogyakarta, November 1912) dengan maksud untuk menyatukan Ummat Islam dan kerjasama antara semua Muslimin. Kongres Al Islam ini adalah suatu gagasan Pan Islamisme hendak meluaskan hubungan dengan gerakan Islam di luar negeri.
Pengurus Besar Muhammadiyah membentuk sebuah badan tetap: Komite Kongres Al-Islam. Diambil keputusan untuk ikut serta dalam menyelesaikan soal Khilafah, yang menyangkut seluruh ummat Islam. Dan Sarekat Islam kemudian berubah nama menjadi Partai Sarekat Islam (P.S.I.) dalam Kongres Nasional S.I. di Madiun (Februari 1923). Kongres luar biasa di Surabaya (Desem-ber 1924) membicarakan pengiriman perutusan Indonesia ke Kongres Khilafah yang akan diadakan di Kairo pada bulan Maret 1925 (yang kemudian ternyata dibatalkan).
Dalam bulan Agustus 1925 diadakan kongres bersama Sarekat Islam-Kongres Al Islam di Yogyakarta. Tjokroaminoto (Sarekat Islam) dan K.H.M. Mansur (Muhammadiyah) ditunjuk sebagai utusan Komite Kongres Al Islam untuk menghadiri Kongres Islam Sedunia yang akan diadakan pada 1 Juni 1926 di Makkah atas prakarsa Raja Ibnu Saud. Soal pemerintahan di Mekah dan Medinah akan menjadi acara. Sebutan Kongres Al Islam diganti dengan Kongres Islam Sedunia cabang Hindia Timur atau Muktamar Al Islam Al Islami Faral Hind Asyardaqiyah (MAIHS).
Kemelut di Hejaz (Hijaz)
Sementara itu di Jazirah Arabia, khususnya di Tanah Hijaz, dimana terletak Tanah Suci Makkah, telah ter-jadi perubahan. Ibnu Saud (Abdul Aziz ibn Saud/lk.1880-1953) merebut Hijaz, termasuk Jeddah dan Madinah dari tangan Raja Hijaz Syarif Husein dalam pertempuran berdarah tahun 1924-1925.
Sebelumnya Raja Nejed Ibnu Saud dan Raja Hijaz Syarif Husein atas bujukan Inggris melalui Kolonel Thomas Edward (TE) Laurence, memberontak terhadap Khilafat Mulkan Utsmani Turki. Kerajaan Inggris Raya yang menganut Kristen Anglican waktu itu terlibat dalam Perang Dunia I (1914-1918) melawan Utsmaniyah (Turki), tetapi tidak mudah mengalahkannya. Untuk itu Inggris membujuk ke dua raja Arab itu. Ke dua raja yang Islam itu mau menerima bujukan Inggris yang Kristen. Inggris sangat gembira dapat menarik dua raja Arab yang Islam dan memberikan dukungan senjata. Dua raja yang Islam itu juga mau diperbudak Inggris yang Kristen yang memusuhi Islam dan memerangi Muslimin dalam Perang Salib (1096-1291). Inggris memberi tugas kepada Ibnu Saud memerangi Ibnu Rasyid di Arab Tengah, karena Ibnu Rasyid membantu Utsmaniyah. Syarif Husein diberi tugas memerangi Utsmaniyah di Hijaz. Sementara kaum Wahabi (pengikut Muhammad Abdul Wahab yang mendukung Ibnu Saud karena ingin menghancurkan hurafat dan bid’ah di Makkah) kurang suka di bawah kekuasaan Emir (Syarif) Husein yang ingin merajai seluruh Arab. Akibatnya kedua sekutu Inggris itu sering bentrok senjata pula. (MM.29). Kolonel Laurence (dan anak buahnya) bersama pasukan Arab (Syarif Husein) membongkar rel kereta api yang Istambul-Hijaz, dan menewaskan banyak tentara Utsmani. Inggris mengalahkan Utsmaniyah di Hijaz atas bantuan Raja Ibnu Saud dan Syarif Husein.
Inggris bergerak cepat dengan dukungan batalyon Yahudi Amerika dipimpin David Ben Gurion dan Eropa serta dukungan Arab, mengalahkan Utsmaniyah dan menduduki Baghdad dan Yerusalem (1917) di bawah koman-do Jenderal Allenby (Soebagjo IN, K.H. Mas Mansur (MM), Pembaharu Islam di Indonesia: 29-30; Hamka, Ayahku (A): 151; EU.832; EP.62).
Setelah pasukan Utsmani kalah di Hijaz, dan Syarif Husein berkuasa penuh menjadi raja Hijaz, maka Ibnu Saud dengan bantuan kaum Wahabi memerangi Syarif Husein dan merebut Hijaz (1925). Raja Nejed Ibnu Saud pun menobatkan diri menjadi Raja Hijaz. Ketika Hijaz jatuh ke tangannya, Ibnu Saud mengundang para pemuka Muslim untuk menghadiri Kongres Islam Sedunia itu. Undangan dikirim sebelum Ibnu Saud merebut Jeddah dari tangan Raja Ali, putra dan pengganti Syarif Husein.
Kongres Dunia Islam di Makkah
Tjokroaminoto dan KH Mas Mansur mengikuti Kongres Islam Sedunia di Hijaz itu dan memberikan laporannya kepada kongres bersama di Surabya (September 1926).
Hamka dalam bukunya “Ayahku”, riwayat hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan kaum Agama di Sumatera, halaman 153, menjelaskan Kongres di Makkah itu, tulisnya:
“Kongres di Mekkah itu tidak membicara-kan Khilafah. Semula Ibnu Saud hendak meminta keputusan dari Dunia Islam bagaimana hendak diperbuat dengan tanah Hejaz, tetapi setelah Jeddah jatuh ke tangannya dan ia menjadi Raja Hejaz, agendanya telah ditukar, yaitu bagaimana membereskan pemerintahan, memakmurkan Hejaz, mengembalikan keamanan, menolong
Ibnu Saud membereskan tanah itu.
Muhammad Ali dan Syaukat Ali dari India, bukan main mendongkolnya karena agendanya telah berubah. Kedua penganjur Islam India itu menyangka bahwa yang main di belakang layar Ibnu Saud ialah Inggris. Kalau bukan Inggris yang bermain, bagaimana akan semudah itu dia menjatuh-kan Syarif Husein. Ibnu Saud pun menuduh bahwa kedatangan kedua pemimpin itu adalah karena “jarum” Inggris. Bukankah kebesaran dan kenaikan Ibnu Saud di Jazirah yang penting itu membahayakan bagi kedudukan Inggris?” (Hamka, Ayahku: 154-155).
Inggris yang menganggap Ibnu Saud telah berjasa turut mengambil bagian mendukungnya mengalahkan pasukan Utsmaniyah, merestui dan mengakui Pemerintahan Abdul Aziz ibnu Saud di Hijaz (1927) dan dia mengganti nama Hijaz dengan nama keluarganya “Saud” menjadi Mamlakah Arabiyah As Sa’udiyah atau “Saudi Arabia” (diterima 1932). Sejak saat itu berdirilah kerajaan Saudi Arabia dengan rajanya Abdul Aziz ibn Saud. Sedang penguasa Hijaz sebelumnya, Syarif Husein, hidup di pengasingan di Siprus, dan anaknya Raja Ali melindungkan diri
ke Irak yang diperintah adiknya, Raja Faisal.(Ayahku: 153; EU.984; Kh.Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan dan Perkembangan di Indonesia, Al-Ma’arif, Bandung: 570 ).
Kongres Khilafah di Mesir
Setelah runtuhnya Utsmaniyah Turki yang sering disebut Khilafat Utsmaniyah (dalam bentuk Mulkan/kerajaan) dan diusirnya Khalifah Wahiduddin bergelar Muhammad VI dari Istambul (1922) dan digantikan Khalifah Abdul Majid, tetapi kemudian diusir pula dari Turki oleh Mustafa Kemal Pasya (1924), para ulama Al-Azhar di Kairo, Mesir, berusaha menegakkan kembali Khilafah itu. Sementara itu Abdullah, putra Syarif Husein telah memproklamirkan ayahnya itu menjadi Khalifah ketika Husein berziarah ke Syarqil Ardan, tempat memerintahnya Abdullah. (A.151). Raja Nejed Abdul Aziz ibnu Saud memerangi Raja Hijaz Huesin karena menggunakan gelar Khalifah setelah Sultan Turki berhasil digulingkan, sedangkan per-soalan khilafat waktu itu sudah mulai ditolak oleh dunia Islam. (MM.30).
Ketua kongres Ulama-ulama Al- Azhar di bawah pimpinan Syekh Husain Wali, mengundang Dunia Islam menghadapi kongres khalifah di Kairo itu yang dijadwalkan semula Maret 1924 atau akhir dari runtuhnya Khilafat Mulkan Utsmaniyah.
Kongres khilafah itu berlangsung selama sepekan dari 1-7 Dzulqa’dah 1344 H (13-19 Mei 1926 M). Pemerintah Mesir tidak campur tangan dalam kongres ini. Utusan-utusan yang hadir antara lain utusan dari Ibnu Saud sebagai peninjau, utusan dari Transyal (Afrika Selatan), dari Polandia dan ketua-ketua Qadi di Quds dan Palestina Syekh Abdul Khalidi, Direktur Urusan Wakaf Irak dan bekas Muftinya Syekh Athailah Al Khathib, India juga mengirimkan utusan, Inayatullah Khan, seorang pegawai tinggi Inggris. Dari Indonesia, hadir dari Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI), yaitu Syekh Abdullah Ahmad (Padang) dn Syekh Abdul Karim Amrullah (ayah Hamka) dari Padang Panjang.
Seperti juga Kongres di Hijaz, hasil yang dapat dipegang dari Kongres khilafah di Mesir boleh dikatakan tidak ada. Setelah soal Khilafat diselidiki dengan seksama, rupanya belumlah masanya buat membangunnya kembali. Demikian tulis Hamka dalam bukunya “Ayahku”, riwayat hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan kaum Agama di Sumatera, halaman 156.
The Shorter Encyclopaedia of Islam, halaman 239 menyebutkan:
“The resolutions of this first Caliphate Congress were in the main negative. Although it was recogniezed that the Islamic Caliphate is capable of realization, nothing more was decided than an appeal to all the Muslims of the world
to work together for the establishment of the Caliphate. As such a cooperation came never to be realized, the matter has remained unsolved since then, for which on the whole the nationalistic tendencies in the Islamic countries may be held responsible. Even such a powerful ruler as Ibn Sa’ud has never shown aspiration to assume the highest dignity in Islam and an occasional attempt to proclaim the King of Egypt as Caliph met with no response.” (H.A.R. Gibb and J.H. Kramers, The Shorter Encyclopaedia of Islam, E. J. Brill 1953: 239).
Kongres Khilafah pertama ini tidak membuahkan hasil. Walaupun Ke-khilafahan Islam itu dapat diwujudkan, tidak ada keputusan yang diambil dalam kongres selain seruan kepada kaum Muslmin untuk bekerjasama menegak-kan Khilafah. Tetapi kerja sama seperti itu tidak pernah dilakukan. Semenjak itu masalah khilafah itu tidak terpecahkan (terbengkalai). Kecenderungan pada kenasionalan dalam negeri-negeri Islam itu mungkin menjadi penyebabnya. Bahkan Ibnu Saud yang memiliki pemerintahan yang kuat, tidak pernah memperlihatkan keinginan untuk menegakkan kekhilafahan yang sangat vital di dalam Islam, dan usaha untuk menjadikan raja Mesir sebagai khalifah pun tidak mendapat tanggapan.
P.S.I.I.
Setelah beberapa tahun berdiam diri Komite Al Islam dihidupkan kembali oleh Sarekat Islam yang telah berganti nama dengan Partai Sarekat Islam Indonesia (P.S.I.I.) awal 1929 dalam kongres pada 1931. Di samping menyangkut Islam dan Ummat Islam, dibicarakan soal Palestina dan aksi Italia di Tripoli yang merugikan kepentingan-kepentingan Muslimin. Tahun-tahun berikutnya MAIHS tidak memperlihat-kan banyak kegiatan. Komite Al Islam seakan-akan mati dalam kesunyian. Kemudian atas anjuran pemimpin-pemimpin Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (didirikan oleh para kyai di Surabaya pada Desember 1926) didirikan Majelis Islam A’la Indonesia, lengkapnya Majelis Ul Islam il A’la Indonesia (MIAI) atau disebut Majelis Islam Luhur (September 1937). (EU.578-579).
Adapun para pemuka dan pemimpin Muslim yang berjuang untuk Agama Islam dan kemerdekaan Indonesia dalam PSII selain Tokroaminoto dll., adalah Haji Agus Salim, Muhammad Rum, Sangaji, Sabirin, Syamsuddin, Notopuro-yo, Tjokroprawiro (pembangun kembali Sarekat Islam dan ketua komite pasukan Kanjeng Nabi Mumahammad untuk keresidenan Bayumas, dan Purbolinggo), Wali Al-Fattaah, K.H. Mas Mansur, Syaikh Muhammad Ma’sum, Sukiman Wiryosanjoyo, Wiwoho, Farid Ma’ruf, Ust. Gaffar Ismail, Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, Abikusno Tjokrosuyoso, Suryopranoto, dll.
Perpecahan
Keluar, nama Sarekat Islam mentereng dan dikhawatirkan oleh Belanda. Sarekat Islam memiliki lebih satu juta anggota di seluruh Indonesia. Belanda sendiri secara khusus sangat memperhatikan perkembangan ini dan menerapkan ajaran Prof. Dr. Christian Snouck Hurgronje dengan politik Islam Hindia Belandanya menindas perjuang- an pergerakan Muslimin ke arah kemer- dekaan Indonesia.
Tetapi di bagian dalam, terdapat keretakan. Pemimpin-pemimpin Sarekat Islam sering tidak sepaham dan sependapat, seperti tentang azas, non-kooperasi (tidak bekerja sama dengan pemerintah penjajah) dan kooperasi (bekerja sama dengan pemerintah penjajah) sehingga menimbulkan bentrok intern dan perpecahan.
Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim lebih menekankan kepada azas agama, sedangkan golongan Sukiman-Suryo-pranoto lebih menitik-beratkan kepada azas kebangsaan. Golongan terakhir ini setelah dipecat (akhir 1932) mendirikan partai baru, Partai Islam Indonesia, disingkat PARII, di Yogyakarta (Mei1933). (EU.978).
Setelah Tjokroaminoto wafat pada 10 Ramadhan 1335 H. bertepatan dengan17 Desember 1934 M., kongres kilat berlangsung di Malang (Agustus 1935) membicarakan soal non-kooperasi dan kooperasi. Pimpinan PSII cenderung pada non-koperasi, tidak bekerja sama dengan pemerintah penjajah Belanda. Golongan yang hendak menempuh jalan kooperasi membentuk panitia oposisi dengan nama Barisan Penyadar PSII (November 1936). Kedua pihak, PSII dan panitia Penyadar PSII mengadakan rapat penjelasan. Penyadar dipecat oleh pimpinan PSII. Sebanyak 29 tokoh terkemuka, di antaranya H. Agus Salim, Muh. Rum, Sangaji, Sabirin, Syamsudin dan Notopuroyo, keluar. Akibatnya Barisan Penyadar PSII berdiri sebagai partai baru di bawah pimpinan H. Agus
Salim dan Sangaji. (EU.978).
Pada 17 September 1937 PSII bersatu kembali dengan Dr. Sukiman, Wali Al Fatah, K.H. Mas Manshur, dan lain-lain. Tetapi perdamaian yang telah dibuat dengan golongan Yogya (Dr. Sukiman, Wali Al Fattaah, K.H. Mas Manshur, dll.) tidak lama umurnya. Masalahnya menyangkut ketidak- sepahaman tentang “Politik Hijrah” yang diketengahkan oleh Ketua Muda Dewan
Partai PSII Sekarmaji Marijan Karto-suwiryo dalam kongres PSII ke-24 di Surabaya (Agustus 1938), dan disiplin partai yang dijatuhkan pada Muhammadiyah.
Menurut Kartosuwiryo, hijrah dalam artian politik ialah memisahkan diri dari politik kolonialisme dalam bentuk dan sifat yang bagaimanapun juga. Hijrah terhadap penjajahan asing dan di samping itu membangun ummat hijrah, terpisah dari masyarakat yang kotor oleh kuman-kuman penjajahan. Ummat hijrah hendak membentuk kekuatan yang hebat menuju Darul Islam. Golongan hijrah ini tetap bergerak dalam tubuh P.S.I.I. hingga melemahkan persatuan. (EU:878). Golongan Yogya berpendapat bahwa hijrah tidak boleh dijadikan asas perjuangan, tetapi hanyalah taktik perjuangan (SPRI.131).
Golongan Yogya (Sukiman, Wali Al-Fatah, K.H.M. Mansur dll.) menyampai-kan surat kepada pengurus besar PSII yang berisi pernyataan bahwa mereka akan tetap menyertai partai jika PSII: (a) melepas asas hijrah; (b) semata-mata hanya mengerjakan aksi politik (pekerjaan sosial dan ekonomi haruslah diserahkan kepada perkumpulan yang lain-lain); (c) mau selekas-lekasnya mencabut disiplin partai terhadap Muhammadiyah. PSII membalas surat itu dengan menolak permintaan itu; hanya disiplin partai terhadap Muhammadiyah itu, mungkin akan dapat dibicarakan lagi. (SPRI.131). Maka Sukiman, Wali Al-Fatah, K.H.M. Mansur keluar dari PSII dan mendirikan P.I.I. (Partai Islam Indonesia) di Solo pada awal Desember 1938. Penggeraknya terutama adalah Dr. Sukiman, Wali Al-Fattah ditambah tokoh-tokoh dari Muhammadiyah dan Jong Islamieten Bond. (K.H. Mas Manshur adalah tokoh Muhammadiyah dan pada Desember 1938 ketua Muhammadiyah).(EU.663; (AK.Pringgo-digdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia (SPRI):131. MM.35).
Ketua yang mula-mula dari pengurus besar P.I.I. ialah R.M. Wiwoho (anggota Dewan Rakyat, pemimpin Jong Islamieten Bond). P.I.I. melebarkan sayap di Jawa, Sumatera dan Borneo dan memiliki 115 cabang. Dalam kongres 11 April 1940, PII menetapkan program, (a) mengadakan sebuah negara kesatuan Indonesia diperintah oleh suatu pemerintah pusat, pembentukan Majelis Agama dll. Pengurus besarnya terdiri atas Dr. Sukiman, sebagai ketua, K.B. Hadikusumo, Wali Al-Fatah (Sekretaris Umum), Faried Ma’ruf, H.A. Hamid, Dr. Kartono, A. Kahar Muzakir, Mr. Kasmat, sedang K.H.M. Mansur jadi penasehat partai itu. (SPRI.133).
Dalam pada itu P.S.I.I. dalam kongresnya di Palembang (Januari 1940) memutuskan memecat Kartosuwiryo yang terus melancarkan aksi hijrah dalam partai, hal yang tidak disetujui pimpinan partai. Delapan cabang partai pen-dukung Kartosuwiryo dikeluarkan. Pemecatan ini ditanggapi Kartosuwiryo dengan membentuk PSII (saingan) di dalam badan PSII yang dinamakan Komite Pembela Kebenaran PSII dengan Kartosuwiryo sebagai ketua lajnah tanfidhiyah (saingan). Waktu diadakan rapat umum di Malangbong, Garut (Maret 1940) partai saingan ini mempunyai 21 cabang. (EU.979).
Dengan diumumkannya keadaan bahaya perang (Staat van Beleg) oleh pemerintah Belanda (10 Mei 1940) maka tidak ada kesempatan dan waktu lagi bagi kedua pihak untuk mengadu dan mengembangkan politik mereka secara terbuka. Waktu Jepang mendarat di Jawa (Maret 1942) PSII berpecah menjadi: PSII Abikusno, PSII Kartosuwiryo dan PII Sukiman-Wiwoho dll. (EU.978-979).
H i z b u l l a h
Setelah mengamati keadaan Ummat Islam dan para pemukanya yang sering berpecah belah karena perbedaan prinsip dan politik yang tajam, Wali Al-Fattaah, berusaha mencari jalan keluar bagi penyatuan Ummat Islam yang kokoh kuat dan tidak berpecah belah seperti yang dialaminya dan para pemuka serta tokoh-tokoh Muslim lainnya dalam PSII.
Sebagai kaum pergerakan dan wartawan Muslim, yang memiliki intelegensia yang kuat dan pandangan jauh ke depan, ia menelaah pergerakan Islam di Indonesia dan cara bagaimana menyatukan ummat menurut Islam dalam beribadah kepada ALLAH Subhanahu wa Ta’ala. Karena apa yang dilihatnya dalam sistem kepartaian yang diikutinya secara aktif dan sebagai propogandisnya bersama Ustadz Gaffar Ismail, Syaikh Muhammad Ma’sum, K.H. Mas Mansur dll., organisasi massa politik sering berpecah belah, tidak satu. Sekarang bisa akur, besok berpecah belah, bersatu lagi, pecah belah lagi. Ia
tidak menemukan jalannya meskipun sebagai intelektual dalam PSII. dan PII telah mengetahui perihal Khilafah itu.
Dalam kancah Perang Dunia II (1939-1945 M), pada saat-saat akhir sejarah Kolonialisme Belanda di Indone-sia, Wali Al-Fattaah, Hadimus-Sunnah (ahli hadits) Syaikh Mohammad Ma’sum, Al-Ustad Abdul Djabar, Ustadz Mohd. Djauzi, Ustadz Soebadi dan Mohammad Ma’sum, mengadakan pertemuan silatur-rahim di kediaman Ustadz Abdul Djabar, Mudir Madrasah Mu’allimin wal Fajri, di Karangkajen, Yogyakarta.
Sebagai kaum pergerakan Islam yang berjuang bagi kemerdekan Indonesia, perhatian mereka tidak lepas dari situasi dan kondisi Perang Dunia II dan kekhawatiran Belanda menghadapi serangan Jepang. Pergerakan kaum Muslimin harus terus bergerak bagi penyatuan Muslimin dalam perjuangan meskipun Belanda telah mengumumkan keadaan perang (10 Mei 1940) dan mengeluarkan perintah untuk membeku-kan segala kegiatan perjuangan rakyat terutama dalam bidang politik, termasuk juga larangan untuk mengadakan rapat-rapat ataupun pertemuan-pertemuan.
“Dalam kancah Perang Dunia Kedua, pada saat-saat akir sejarah kolonialisme Belanda akantutup itulah kalimat “HIZBULLAH” untuk pertama kalinya kami dengar melewati lisan Syeikh MohammadMa’sum al-Yogyawi (Ahli Hadits) dalam suatu pertemuan Silaturrahmi di kediaman Ustadz Abdul Djabar yang waktu itu beliau menjabat sebagai Direktur Madrasah Muallimin wal Fajri di Karangkajen, Yogyakarta. Kami imani – firman ALLAH yang menyebutkan Hizbullah di
dalam Al-Qur’an Surah Al-Maidah ayat 55-56 dan Al-Mujadah ayat 22 –, kemudian sekuasa kami maksud-maksudnya kami amalkan. Selain kami bertiga, ada pula ikhwan lain, di antaranya ialah: Utadz Mohammad Djauzi (penerjemah Al-Qur’anul Karim ke dalam bahasa Jawa), Ustadz Soebadi dan Mohammad Ma’sum, seorang awam biasa tetapi sangat gigih dalam perjuangan untuk Agama Islam. Selain kami berdua dengan Ustadz Soebadi itu, tidak ada lagi beliau-beliau itu berada di tengah-tengah kita. Beliau itu Insya ALLAH dalam Jihad fii Sabilillah telah lebih dahulu mendahului kita pulang ke hadirat ALLAH Subhanahu wa Ta’ala, semoga dengan ridho-Nya. Amin,” kata Wali Al-Fattaah (Risalah Al-Jama’ah, No.4 Th. Ke I, 30 Rajab 1394 H/18 Agustus 1974 M).
Setelah menela’ah maknanya yang terkandung dalam firman ALLAH Ta’ala dalam surah tersebut, mereka sepakat untuk mewujud Hizbullah, yaitu kaum yang berpihak kepada ALLAH yang menjadikan ALLAH dan Rasul-Nya sebagai pimpinan tertinggi yang wajib ditha’ati dengan segenap keikhlasan hati, dan berjuang di jalan ALLAH. Maka sejak saat itu mereka menamakan dirinya sebagai Hizbullah.
“Kalimat “HIZBULLAH” yang untuk pertma kalinya kami dengar di Karangkajen, Yogyakarta, itu, pada waktu itu baru diberikan maknanya saja secara ringkas, yaitu “Suatu golongan yang berpihak kepada ALLAH”. Yang dimaksud yalah kami kami itulah yang pada waktu itu sedang berkumpul membuat pertemuan Silaturrahmi di kediaman almarhum Ustadz Abdul Djabar.”
Sekiranya pertemuan tersebut diketahui oleh pihak kepolisian Belanda kemudian digrebeg, karena disangka atau dianggap melanggar peraturan yang melarang orang membuat rapat atau pertemuan-pertemuan (vargader verbot) walaupun pertemuan pengajian yang termasuk tugas Agama, sudah pula disediakan akan jawabnya.
“Alhamdulillah,selama itu, pada saat-saat kolonialisme Belanda mengakhiri sejarahnya di Indonesia, “HIZBULLAH” yang disepakati adanya di Karangkajen, Yogyakarta tersebut tidak mendapat kesulitan sesuatu apa, peraturan larangan mengadakan rapat atau pertemuan-pertemuan oleh pihak Belanda, tetap ada, akan tetapi “HIZBULLAH” pun secra routine karena ALLAH dan bagi-Nya pla terus mengadakan rapat dan pertemuan-pertemuan yang siat serta isinya adalah pengajian-pengajian.” (Wali Al Fattaah, Latar Belakang Sejarah “HIZBULLAH”, Al-Jama’ah, No.4 Th.ke I, 30 Rajab 1394H/18 Ag.1974:3-4).
Demikian keterangan Wali Al Fattaah, yang pada tahun 1941 menjabat sebagai Ketua Pengurus Besar Persatuan Wartawan Muslim Indonesia (Warmusi) berpusat di Yogyakarta dibantu oleh para anggotanya seperti H. Abdulkahar Muzakir, Hadisiswoyo (Solo), A. Muchlis (M.Natsir-Bandung), Hamka, Zainal Abidin Ahmad dan M. Yunan Nasution (Medan). (Catatan Perjuangan H.M. Yunan Nasution, Pustaka Panjimas, 1985 Jakarta: 117), dan Sekretaris Umum Partai Islam Indonesia (P.I.I./1938-1941). Syeikh Mohammad Ma’sum pada waktu itu berada dalam P.S.I.I. Boleh dikata, Hadimus Sunnah atau ahli hadits itu guru Agama Islam Wali Al-Fattaah. Ke duanya sudah bersahabat sejak 1930 Wali Al Fattaah pindah ke Yogyakarta setelah keluar dari tahanan Belanda (4 bulan) di Semarang (1929) ketika ia menjadi wakil redaktur “Medan Doenia”.
Binadjar, seorang guru di Tambak, Banyumas, Jawa Tengah, mengatakan, “Akibat tulisan beliau (Wali Al-Fattaah) dalam suratkabar yang dipandang oleh Belanda sangat tajam dan membahaya-kan, maka beliau akhirnya ditangkap dan dimasukkan dalam tahanan di Semarang lebih kurang empat (4) bulan” (Binadjar, Sekitar Riwayat Hidup R. Wali Al Fattah yang diceritakan kepada kami: Tbk/18/1-/Ny. Wali Al Fattaah tg 15 Mei 1981).
Wali Al-Fattaah
Wali Al-Fattah waktu itu berusia 32 tahun pada akhir penjajahan kolonial-isme Belanda. Ia lahir di Ngawi, Jawa Timur, pada 23 Oktober 1908. dari pasangan Raden Tjokroprawiro (ayah) bin Raden Arsoeatmojo (Asisten Wedana Ngrayun di Madiun), keturunan ke-17 Kanjeng Sultan Dhemak di Demak. Wali Al-Fattaah aktif dalam PSII pada tahun 1920 dalam usia 22 tahun. Waktu itu ia menjadi Redaktur Harian “Bintang Mataram” Bagian Luar Negeri di Yogyakarta. Sebelumnya (1929) ia redaktur “Medan Doenia” di Semarang. Ibunya bernama Aminah. Tjokroprawiro adalah Kepala B.N.I. (Bank Negara Indonesia) dan Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia, teman seperjuangan Tjokroaminoto sejak 1915 M. Tjokroprawiro mem-bangkitkan Sarekat Islam di Banyumas, Sokaraja, Purbolingo dan Purworejo, dan pemimpin Comite Tentara Kanjeng Nabi Muhammad di wilayah Karesi-denan Banyumas. (Layang Kekantjingan Asal-Oesoel/ Oeroetan Asal-Asoel, Jogjakarta, 24 Maret 1938; Riwayat Hidup Raden Tjokroprawiro; Orang Indonesia Jang Terkemoeka di Djawa, Gunsei-kanbu: 470-471).
Belanda menyerah
Pada akhir tahun 1940 dan awal tahun 1941 situasi semakin gawat sesudah Jepang bersekutu dengan Adolf Hiltler, pemimpin Nazi Jerman. Belanda sudah gemetaran ketakutan setelah Jerman menduduki Nederland dan pemerintahannya lari ke Sekutu dekatnya, Inggris, sesama penjajah. Hubungan Pemerintah Belanda di Eropa dan di Hindia Belanda di Indonesia nyaris terputus. Belanda tinggal berharap pada Sekutu, terutama Inggris dan Amerika Serikat. Ini saat sakratal mautnya Belanda.
Dengan semboyan Perang Asia Timur Raya, melalui perang kilat, balatentara Jepang menyerang dan menguasai Filipina, Malaya (Malaysia termasuk Singapura di dalamnya sebelum berpisah), kepulauan Pasifik dan seluruh Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Inggris melarikan diri dari Malaya (1941), dan Belanda menyerah tanpa syarat dan meninggalkan Indone-
sia (9 Maret 1942) dan berkuasalah Jepang di Indonesia. Jepang banyak menawan serdadu Belanda.
Bangsa Indonesia bersyukur ataskalahnya Pemerintah Kolonial Hindia Belanda tanpa syarat dan enyah dari Indonesia setelah menjajah Nusantara selama 350 tahun membunuh jutaan rakyat Indonesia, termasuk para pahlawan Islam, seperti Teuku Umar, Teuku Tjik Ditiro, Teuku Panglima Polem, Tjut Nyak Din di Aceh, Sisingamangaraja di Tapanuli Utara, Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat, Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah serta para mujahid dan mujahidah Muslimin dan Muslimat lainya. ***
Zaman Penjajahan Jepang
Dai Nippon (Jepang) waktu itu dianggap sebagai penyelamat negeri-negeri terjajah, yang dijajah oleh bangsa Kristen Eropa, Portugis, Belanda, Inggris, Perancis, Spanyol. Malaya bebas dari penjajahan Inggris, Indonesia bebas dari penjajahan Belanda, Indochina bebas dari penjajahan Perancis.
Tetapi semboyan Jepang, Asia untuk Asia dengan Perang Asia Timur Raya-nya, yang semula akan menolong bangsa Asia Tenggara yang terjajah, berbalik melakukan penjajahan, seperti di Indonesia, karena daya tarik minyak bumi yang banyak terdapat di Kalimantan Timur seperti Balikpapan dll. di Indonesia.
Balatentara Jepang bahkan sangat kejam menjadikan banyak orang Indonesia sebagai Romusha (kuli kerja paksa). Puluhan ribu Romusha dikerah-kan secara paksa bekerja membuat lapangan-lapangan terbang, jalan-jalan kereta api dll. untuk keperluan perang. Mereka diangkut tidak hanya dalam wilayah Indonesia, tetapi juga seperti ke
Birma dan Siam (Thailand). Tenaganya diperas, tetapi makanan, pakaian, kesehatan, perumahan diabaikan, hingga kematian tidak terhitung banyaknya.Hanya sebagian kecil dapat meloloskan diri atau melampaui masa perang. Sedangkan wanitanya, banyak yang diperkosa dan menjadi pemuas nafsu balatentara Jepang. Tentara-tentara Jepang juga memaksa penduduk untuk menunduk (menyembah) matahari, kepercayaan Agama Shinto Jepang. Banyak orang Indonesia berpakaian compang camping, memakai pakaian dari goni (karung dari tali rami yang dijadikan pembungkus beras). Mereka kelaparan, badan kurus kering.
Dalam tahun-tahun pertama Perang Dunia II, Jerman di bawah komando Adolf Hitler, Italia dengan Musolininya, Jepang dengan kaisarnya, Henno Teika Hirohito, nyaris menguasai seluruh dunia hingga 1942. Tetapi tahun-tahun berikutnya terjadi kemunduran, Jerman dan Italia mulai surut dan kalah dalam berbagai pertempuran melawan Sekutu di Eropa. Italia kalah (1943).
Di Pasifik, dalam pertempuran laut, armada kapal-kapal perang dan induk Jepang ditenggelamkan AS dan terkubur di lautan. Beberapa pulau di Pasifik yang dikuasai Jepang telah jatuh ke tangan AS. Guadalcanal, pulau gunung api (luas 2.500 mil2, penduduk lk.14.000) yang diduduki Jepang (1942) direbut pasukan marinir AS (1943) dalam pertempuran hebat di Tanjung Esperance dan Tanjung Lunga. Ini merupakan kemena-ngan yang penting bagi Amerika Serikat. (EU.384). Di Irian (Papua) tentara Jepang terdesak dan kelaparan. Mr. Aujong Peng Koen dibantu FJE Tan dalam bukunya Perang Pasifik halaman 86 menyebutkan serdadu Jepang yang kelaparan di Irian (Papua) kadang2 tidak segan makan daging manusia, yaitu daging serdadu Sekutu yang tertangkap. “…pada suatu hari kelihatan seorang serdadu Jepang membuang tulang kaki ke dalam laut.
Tulang2 itu dikumpul oleh para tawanan dan ternyata tulang itu adalah tulang manusia” (The Sixth Column, The heroic personal story of Mahmood Khan Durrani, 1955:342).
Tanda-tanda kekalahan Jepang sudah tampak. Jepang mulai melakukan perekrutan penduduk pribumi untuk dijadikan tentaranya, seperti Heiho, barisan pembantu prajurit Jepang ( yang akhirnya menjadi senjata makan tuan, merebut kekuasaan dan senjata Jepang dan menjadi kekuatan militer Indonesia bersama PETA/Pembela Tanah Air).
Tetapi Jepang masih tampak tegar. Bagi mereka percaya penuh kepada Tenno Heika Hirohito, kaisar Jepang yang dianggap sebagai titisan dewa Matahari. Mereka sanggup melakukan hara kiri (bunuh diri) dengan pasukan “jibaku”nya dan serangan “banzai” dengan pedang samurai serta pilot Kamikaze yang menumburkan pesawat pemburunya ke sasaran-sasaran kapal-kapal penempur AS di Pasifik demi kaisar.
Hizbullah mengamati semua perkembangan ini. Wali Al-Fattaah memajukan konsep pembentukan pasukan yang terdiri dari para pemuda Muslimin dengan nama “Hizbullah” kepada pemerintah pendudukan balatentara kerajaan Jepang yang berkedudukan di Jakarta. Delegasi yang dikirim oleh Hizbullah adalah Wali Al- Fattaah sendiri dan Ustadz Sulaiman Masulili (Penawi Tengah). Mereka berangkat dari Yogyakarta ke Jakarta yang transportasi waktu itu sangat sulit. Mereka tidak takut terhadap Jepang. Mati bagi mereka syahid.
Wali Al-Fattaah sebagai konsep-tor usulan itu mengatakan, “Maksudnya, setelah runtuhnya kekuasaan Jepang dalam Perang Dunia II menghadapi pasukan Sekutu, khususnya menghadapi Amerika Serikat (AS), kaum Muslimin hendaknya jangan tertinggal, bahkan bilamana mungkin mempeloporinya sekalipun sesuai dengan suasana juang pada waktu itu, kita harus angkat senjata. Pada saat itu telah mulai terbayang usaha meneruskan perjuangan kemerdekaan Indonesia,” ungkap Wali Al-Fattaah. Maksud ini tidak diungkapkan oleh Wali Al-Fattaah kepada Jepang. Selama pendudukan Jepang, Hizbullah dalam keadaan aman, sedang usulan Wali Al-Fattaah disetujui, terbukti dengan adanya latihan-latihan kader inti di Cibarusa, Bogor, dan terbentuknya Lasykar Hizbullah (Salah seorang di antara pelatihnya adalah Mr. Kasman Singodimedjo dari PETA.
“Semuanya itu melewati perjuangan, yang Insya ALLAH, sebagai hasil usaha kita”, kata Wali Al-Fattaah.
Akhir Perang Dunia II
Tahun 1945, Perang Dunia II tampak akan berakhir. Setelah Italia menyerah kepada Sekutu (1943), perlawanan Jerman telah runtuh pada April 1945 setelah 7 Maret menyerah tanpa syarat.
Jepang masih terus berjibaku meng-hadapi AS sekalipun kapal-kapal induk dan pesawat-pesawat tempurnya banyak temggelam dan berjatuhan ditembak oleh pesawat-pesawat tempur AS dalam perang laut dan udara di Pasifik.
Pasukan AS merebut Saipan di kepulauan Mariana, Pasifik. Harakiri besar-besaran tentara Jepang terjadi. Osami Nagano, penasehat Tenno Heika mengatakan: “Ketika kami kalah di Saipan, mulailah malapetaka, hell was open us.” (Perang Pasifik: 169,170). Kapal penempur Jepang, Yamato, paling besar yang pernah dibuat manusia, memiliki bobot mati 64.000 ton, dengan tiga meriam 18,3 inch, tiga mercu/meriam, dikubur pesawat-pesawat tempur AS di laut Pasifik (April 1945).
Di Bom Atom, Jepang menyerah
Kendati kalah dalam berbagai pertempuran darat, laut dan udara, Jepang tidak mau menyerah. Presiden Amerika Serikat (AS) Harry S. Truman memerintahkan agar kota-kota Jepang yang giat dalam usaha perang, diserang dengan Bom Atom, meskipun ribuan penduduk akan mati dan kota menjadi debu. AS waktu itu telah memiliki Bom Atom yang dibuat oleh sejumlah sarjana AS, Inggris dan Jerman pelarian dari Eropa dalam Manhattan-project di AS dengan biaya 2 miliar dollar. Bom Atom
telah diuji-coba di daerah gurun New Mexico (16 Juli 1945). (EP75)
Peristiwa mengerikan dan dahsyat terjadi ketika pesawat pembom B-25 AS menjatuhkan sebutir Bom Atom urani-um di Hiroshima, kota besar Jepang di Pulau Hondo, pada 6 Agustus 1945. Hiroshima lenyap dari permukaan bumi, 240.000 orang mati, 50.000 orang luka berat, 10.000 orang luka enteng dan 6.783 orang hilang (menurut laporan kotapraja Hiroshima sendiri) (Encyclo-paedia Politica (EP), 1960: 75).
Tiga hari setelah itu, 9 Agustus 1945, kembali pesawat pembom B-29 men-jatuhkan Bom Atom, kali ini plutonium yang lebih hebat lagi di Nagasaki, di Kyusu Barat, Jepang. Nagasaki jadi debu. Jumlah korban lebih besar lagi. Ini peristiwa yang mengerikan. Untuk pertama kalinya Bom Atom itu digunakan membunuh manusia dalam Perang Dunia II yang menewaskan lebih kurang 40 juta manusia. Seluruh dunia memprotes penggunaan bom pemusnah massal itu.
Ketika wartawan ANTARA Maulana Sitepu mengunjungi Hiroshima (1990-an) ia mengatakan kepada penulis, “Saya melihat bumi menganga dalam bekas ledakan Bom Atom itu dan tidak ada tanaman yang tumbuh. Radiasinya menjangkau puluhan kilometer, yang menyebabkan korban jiwa terus berjatuhan.” Sejak itu AS, Inggris, Uni Sovyet Rusia berlomba membuat Bom Iblis ini secara besar-besaran, kemudian Bom Nuklir, yang kekuatannya jauh lebih dahsyat lagi. Bagaimana jika Bom Nuklir digunakan dalam perang? Perang Dunia III? Tidak terbayangkan dahsyat dan akibat kerusakannya!
Jepang akhirnya menyerah sekalipun angkatan perangnya menolak, asal Tenno Heika Hirohito, kaisar Jepang, tidak diturunkan dari tahtanya. Pada 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu, sekalipun belum ada seorang pasukan Sekutu menginjak buminya. (EU:831; Perang Pasifik 1941-1945: 242-243).
Indonesia merdeka
Tiga hari setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, Indonesia memprok-lamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Teks proklamasi itu dibacakan oleh Presiden Soekarno didampingi Wakil Presiden Mohammad Hatta di Tugu Proklamasi, Jakarta. Merdeka! Merdeka! Merdekaaa! Di mana-mana di seluruh Indonesia, terdengar pekik Merdeka! Kantor Berita ANTARA berpusat di Pasar Baru, Jakarta, menyiarkan hari kemerdekaan itu ke seluruh penjuru dunia.
Indonesia merdeka setelah jutaan rakyat Indonesia, terutama para syuhada Muslimin berguguran selama 350 tahun penjajahan kolonialisme Nasrani Belanda di Indonesia dan 3-1/2 tahun penjajahan Fasisme Jepang.
Jepang banyak meninggalkan gua-gua persembunyian tentaranya di Indonesia ketika perang melawan Sekutu. Tentara Sekutu menyemprotkan api ke gua-gua itu untuk memaksa tentara Jepang yang bersembunyi keluar. Sekutu menawan dan mengembalikan 283.000 tentara Jepang. Pemulangan ini dilakukan oleh pasukan Inggris. (DGE Hall, Sejarah Asia Tenggara (SAT): 797).
Tentara rakyat Indonesia (TRI) dan pasukan-pasukan perlawanan terhadap penjajah, termasuk Hizbullah yang terdiri dari pada pemuda Muslimin dimana Wali Al-Fattaah menjadi konseptornya, kemudian dilebur dalam satu kesatuan, Tentara Nasional Indonesia (T.N.I.) oleh Panglima besar Jenderal Sudirman. ***
Masa Kemerdekaan
Hizbullah terus berjalan, dan memasuki awal kemerdekaan Indonesia, kalimat Hizbullah kemudian dipergunakan sebagai nama lasykar sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia, dengan adanya keputusan Muktamar Ummat Islam di Aula Muallimin Karangkajen Yogyakarta dimana ter- bentuknya Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), 7 November 1945 M. Susunan Pengurus Besar Masyumi waktu itu, Ketua Umum: Dr. Sukiman.Ketua Muda I: Abikusno Tjokrosujoso. Ketua Muda II: Wali Al Fattaah. Sekretaris I: Harsono Tjokroaminoto. Sekretaris II: Prawoto Mangkusasmito. Bendahara: Mr. R.A. Kasmat. Majelis Syuro: Ketua Umum: K.H. Hasjim Asj’ari. Ketua Muda I: Ki Bagus Hadikusumo; Ketua Muda II: K.H. A. Wahid Hasjim; Ketua Muda III: Kasman Singodimedjo. Anggota pengurus besar lainnya: Wondoamiseno, Mr. Moh. Roem, Muhammad Natsir, Dr. Abu Hanifah, dll. (Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasjim, halaman 351; Au Hanifah: Ummat Islam dan Republik Indonesia Serikat (Hikmah, No. 18, Tahun 1368 H./1949 M.). AK Pringgodigdo dalam Ensiklopedi Umum (EU) 1977 halaman 534, menyebutkan Kartosuwiryo duduk sebagai anggota Pengurus Besar Masyumi dan juga anggota KNIP.
Wali Al Fattah selain menjadi Ketua Muda II dalam PB Masyumi (1945-1946), juga menjabat sebagai Ketua Penerangan Masyumi, Kepala Bagian Penerangan Komite Nasional Indonesia (K.N.I.) daerah Yogyakarta (1945), anggota K.N.I.P. (pusat) dan Ketua Sekretariat Persatuan Perjuangan di Yogyakarta (1946). (Daftar Riwayat Hidup, Jogjakarta, 1949).
“Kalimat Hizbullah pada waktu itu diperguanakan sebagai nama lasykar yang terdiri daripada pemuda-pemuda Muslimin yang berjuang secara ikhlas berniat mengusir fitnah penjajahan dengan mengangkat senjata (fisik), di samping adanya lasykar-lasykar lain
yang berasal dari rupa-rupa golongan rakyat. Kalimat “Hizbullah” sebagai nama lasykar yang terdiri dari pemuda-pemuda Muslimin yang berjuang secara fisik terus berjalan sehingga terjadinya penyatuan di antara semua lasykar-lasykar yang ada dengan tentara resmi dari Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan adanya satu ketentaraan saja, yalah Tentara Nasional Indonesia (T.N.I.)”. Demikian keterangan Wali Al-Fattaah tentang “Hizbullah”.
Belanda masuk kembali
Setelah Jepang menyerah, pasukan Sekutu (Amerika Serikat (AS), Inggris dan Australia) melakukan pembersihan di Indonesia. Belanda masuk mengikuti tentara Inggris ke Indonesia dengan maksud menjajah kembali.
Pengaturan Sekutu yang asli adalah pasukan AS akan menduduki Indonesia. tetapi ditinggalkannya. Inggris meng-gantikan AS dengan tugas melucuti 283.000 tentara Jepang dan melindungi 200.000 tawanan perang Belanda (SAT. 796).
Panglima Inggris Letnan Jenderal Sir Philip Christison mengumumkan pasukan Inggris hanya bertugas melucuti tentara Jepang dan membebaskan tawa-nan-tawanan sipil dan militer; keamanan di daerah-daerah yang dikuasai Indo-nesia adalah tanggung jawab pembesar2 Indonesia. (EU.412).
Belanda membentuk pemerintah bayangan berkedudukan di Brisbane, Australia, dengan nama NICA (Nether-lands Indies Civil Administration) dipimpin Menteri merangkap Letnan Gubernur Jenderal Dr. H.J.Van Mook untuk menjajah kembali Indonesia.
Pasukan Inggris dan Belanda bergerak cepat menduduki pulau-pulau, sedang Pemerintah RI yang masih berusia seumur jagung menyebarkan pasukannya untuk menghadapi agresi asing itu. Surbaya diduduki dan Inggris mengambil alih komando, Jenderal Mallaby terbunuh.
Meredam kekacauan
RI tidak saja menghadapi pasukan Belanda, tetapi juga menghadapi kekacauan yang terjadi di pulau Jawa. Di Pekalongan terjadi kekacauan,seperti juga di Tegal, Brebes dan Pemalang diwarnai oleh pemberontakan.
Binadjar, seorang guru di Tambak, Banyumas, mengatakan, Th.1945 akhir Pimpinan Pusat Masyumi mendapat surat dari Presiden Sukarno, yg isinya meminta salah-satu dari 2 orang (M. Natsir dan R. Wali Al Fattah) untuk menjadi Residen Pekalongan. Surat tsb. Sampai dua kali dan selanjutnya berdasarkan pemilihan wakil dari masyrakat Pekalongan, terpilihlah beliau (Wali Al-Fattaah/pen.) sebagai Residen Pekalongan. (Sekitar Riwayat Bapak R. Wali Al Fattah yang dieritakan kepada kami; Tambak, Banyumas, 18 Januari 1981).
Presiden Soekarno meminta Wali Al Fattaah untuk ikut menenangkan situasi di Pekalongan, dengan surat keputusan: REPUBLIK INDONESIA Kami, Presiden Republik Indonesia, meng-angkat Wali Al Fatah mendjadi Residen Pekalongan, moelai tg. 1 April 1946, dalam Negara Republik Indonesia dengan kepertjajaan jang ia akan menoempahkan segala pikiran, tenaga, djiwa dan raga oentoek keselamatan Negara Republik Indonesia. Jogjkarta, 27 April 1946, Presiden Republik Indonesia stempel Negara dan tanda tangan, Soekarno.
Atas pertimbangan “…Oentoek keselamatan Negara Republik Indonesia” (…Untuk keselamatan Negara Republik Indonesia), Wali Al Fattaah yang terus berjuang untuk Islam dan Muslimin, bersedia menerima jabatan tersebut untuk keselamatan Negara Republik Indonesia pada masa pergolakan di Tanah Air Nusantara menghadapi Belanda dan kekacauan.
Dua tahun ia menjabat sebagai residen di Pekalongan (April 1946-Juli 1948). Setelah Pekalongan tenang, Wali Al Fattaah berhenti (25 Juni 1948) sebagai residen. Melalui SK (Surat Keputusan) Presiden ditanda-tangani Wakil Presiden Mohammad Hatta Pemerintah RI mengucapkan terima kasih atas djasa-djasanja terhadap Negara Selanjutnya ia diminta duduk di dalam Pemerintahan di Kementerian Dalam Negeri R.I.
Agresi Belanda
Belanda mulai memperlihatkan watak penjajahannya. Setelah tentara pendudukan Ingggris dan Australia menyelesaikan tugasnya melucuti tentara Jepang, dan menyerahkan kekuasaannya kepada Belanda (15 Juli 1946), Belanda mulai menekan. Tentara Indonesia pun bergerilya menghadapi tentara Belanda yang lengkap persenjataannya. Senjata-senjata tajam seperti parang, golok, tombak dan bambu runcing ikut berbicara.
Kebuasan tentara Belanda tercatat dalam sejarah ketika Kapten tentara Belanda, Westerling dan pasukannya membantai penduduk secara besar- besaran di Sulawesi Selatan. Westerling dan pasukannya mendatangi berpuluh-puluh desa dan mengumpulkan penduduk, laki-laki, perempuan, anak-anak tidak terkecuali. Sebelumnya, mereka ditanyai dimana gerilyawan. Tetapi tidak ada yang menjawab. Westerling dan pasukannya menembaki penduduk. Pembunuhan besar-besaran itu dilakukan selama tiga bulan mulai 11 Desember 1946. Sekitar 40.000 orang, tua muda, besar kecil, tidak terkecuali anak-anak tewas. (EU.397).
Perundingan2 dilakukan dengan Belanda, pertama di Linggarjati (25 Maret 1947), pihak Indonesia memper-tahankan kedaulatannya. Belanda meno-lak dan melakukan aksi polisionilnya (aksi militer) dan terjadi pertempuran antara Indonesia dan Belanda (Clash I). Syria memprotes Dewan Keamanan (DK) PBB. India, Pakistan dan Siam melarang pesawat2 Belanda melintasi wilayah udara mereka. DK PBB memerintahkan penghentian tembak menembak.
Perundingan kembali dilakukan antara Indonesia dan Belanda di atas geladak kapal Amerika, Renville. Persetujuan dicapai (17 Januari 1948), antara lain pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dimana RI menjadi negara bagian, Belanda ber-daulat atas seluruh Indonesia. Tentara Indonesia harus mengosongkan “kan-tong-kantong” (wilayah2) yang merupakan basis-basis gerilya pertahanan Indonesia. Sebanyak 35.000 tentara Indonesia ditarik dari kantong-kantong itu (6-22 Februari 1948). Hijrah tentara ini (terutama Divisi Siliwangi) sangat merugikan. Masyumi dan partai-partai lainnya menentang Persetujuan Renville itu. Sementara Gubernur Jenderal van Mook giat meneruskan usaha mem-bentuk negara-negara boneka, seperti Negara Pasundan, Republik Maluku Selatan (RMS), Negara Indonesia Timur (NIT), yang disiapkan semula oleh ARC (Algemeen Regerings Commissariaat) untuk Kalimantan dan Indonesia Timur oleh Dr.W. hoven bersama stafnya. (EU.872, 873; EP.115,116).
D.I.
Pemimpin Darul Islam (D.I.) Karftosuwiryo yang pada waktu itu anggota pimpinan Masyumi menentang Perjanjian Renville. Tetapi setelah ternyata Kabinet-Hatta melanjutkan politik Renville, maka Kartosuwiryo naik gunung untuk menyusun perlawanan. Ia juga keluar dari Masyumi karena menuduhnya pula mendukung per-setujuan Renville itu.
Pada awal Maret 1948 Kartosuwiryo dkk mengumumkan telah didirikan Darul Islam yang menentang Persetuju-an Renville dan menentang gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda. Selanjutnya diumumkan bahwa ummat Islam di Jawa Barat akan meneruskan perlawanan terhadap Belanda. D.I. didirikan di daerah Manonjaya antara Ciamis dan Tasikmalaya. Kartosuwiryo membentuk Tentara Islam Indonesia (T.I.I.), panglimanya diserahkan kepada Kamran. (EP. 110).
Clash II
Sementara itu, Belanda melakukan Aksi Polisionil ke-2, aksi militer, menyerbu daerah RI, 19 Desember 1948, setelah Wakil Tinggi Mahkota Belanda Dr. Beel menyatakan tidak terikat lagi pada Persetujuan Renville. Lapangan terbang Maguo, Yogyakarta diserang dan dibom dari udara; Maguwo diduduki pasukan para Belanda. Yogya diduduki. Tentara Belanda menawan Presiden, Wakil Presiden dan sejumlah anggota kabinet pemerintahan dan dibuang ke Bangka sebagai tawanan. Tentara dan pesawat tempur Belanda juga menyerang kota-kota lainnya.
Pada 5 Mei 1949 dilakukan perundingan. Delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. van Royen, dubes di dan wakil Belanda dalam Dewan Keamanan. Delegasi RI diketuai oleh Mohammad Rum. Pada 7 Mei 1949 dicapai persetujuan yang terkenal sebagai Pernyataan Rum-Royen. Pihak Belanda menyatakan, menyetujui kembalinya pemerintah RI di Yogya yang bebas, menjamin penghentian gerakan militer, tidak akan mendirikan atau meluaskan negara-negara di dalam Indonesia, menyetujui RI sebagai negara dan peserta Republik Indonesia Serikat (RIS). (EU.227). Prediden, Wakil Presiden dan para pembesar RI dibebaskan dari tawanan Belanda (29 Juni 1949).
N.I.I.
Ketika perundingan-perundingan berlangsung antara Indonesia dan Belanda, dan pergolakan terus terjadidiberbagai daerah, Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo memproklamirkan Negara Islam Indonesia (N.I.I.) pada 7 Agustus 1949. Proklamir N.I.I. ini dilakukan di desa Tjisampah, kecamatan Tjilugalar, kewedaan Tjisayong. Tasikmalaya Selatan diakui oleh Kartosuwiryo sebagai daerah de facto “D.I.” Isi proklamasi: Pertama, D.I. menghendaki revolusi Islam atau perang; kedua, D.I. menghendaki kemerdekaan 100% untuk seluruh Indonesia baik de jure maupun de facto, dan ketiga Hukum Islam berlaku mutlak di seluruh Indonesia.
D.I. mempunyai pengikut tidak hanya di Jawa Barat saja, tetapi juga di Jawa Tengah (kompleks Merbabu-Merapi) dan kesanalah bergabung batali-yon 426 dari T.N.I.
Di Sulawesi Selatan, Kahar Muzakhar, yang dulu menjadi pemimpin pasukan gerilya melawan Belanda, menggabungkan diri dengan D.I. dan menjadi panglima pasukan di daerah itu.
Di Aceh Gubernur Daud Beureuh dan pengikut-pengikutnya bergabung pula dengan D.I..
Kolonel Zulkifli Lubis, mantan pejabat Kepala Staf Angkatan Darat (K.S.A.D) TNI menggabungkan diri dengan Darul Islam. (EP.I.111, 66; Darah tersimbah di Djawa Barat, Gerakan Operasi Militer V, Cetakan ke-2 1968: 7).
Di Kalimantan Selatan. Ibnu Hajar bergabung dengan D.I. (VD.107).
Penyerahan Kedaulatan
Para pemimpin Indonesia terus melakukan langkah-langkah bagi dicapai-nya kedaulatan penuh atas Indonesia melalui perundingan-perundingan dengan Belanda.
Pada 23 Agustus 1949 berlangsung Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag (23 Agustus 1949), dibuka oleh Perdana Menteri Negeri Belanda Dr. W. Drees di ruangan Ridderzaal di Den Haag. Berpidato berturut-turut ketua-ketua delegari RI Moh. Hatta, Sultan Hamid II dari B.F.O. (Baijzonder Federaal Overleg: terdiri dari wali-wali Negara dan Perdana-perdana menteri) yang sebelumnya menemui Presiden, Wakil Presiden dan para menteri yang ditahan di Bangka. Belanda diwakili Mr. van Maarseveen, dan Critchley, ketua UNCI (United Nations Commission for Indonesia), badan Komisi Jasa Baik yang dikirim oleh PBB untuk menolong menyelesaikan sengketa antara Indonesia dan Belanda. Konperensi berlangsung dua bulan.
Pada 2 November 1949 KMB berakhir dengan mencapai persetujuan-persetujuan yang disambut lega oleh dunia internasional. (EU.589,590). Hasilnya, Soekarno dipilih sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) (16 Desember 1949). Pelantikan berlangsung di Sitihinggil Yogyakarta pada 17 Desember 1949. Delegasi-delegasi timbang terima kedaulatan dibentuk; untuk di negeri Belanda diketuai wakil presiden RI Moh. Hatta, di Indonesia diketuai Sri Sultan Yogya. Disamping itu dibentuk delegasi penyerahanan kedaulatan Republik Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat yang diketuai Arnold Mononutu.
Pada 23 Desemer 1949 delegasi RIS Moh. Hatta berangkat ke negeri Belanda. Upacara penyerahan kedaulatan kerajaan Belanda atas Hindia Belanda (Indonesia sekarang) dari tangan Ratu Belanda Juliana yang didampingi Perdana Menteri Dr. W. Drees, kepada wakil RIS Mohammad Hatta berlangsung di Amsterdam (27 Desember 1949). Pada waktu yang bersamaan kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda diwakili Wakil Tinggi Mahkota H.J. Lovink diserahkan kepada RIS yang diterima oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Upacara penyerahan berlangsung di Istana Gambir (Istana Merdeka sekarang) di Jakarta yang disaksikan oleh utusan-utusan asing yang datang ke Indonesia khusus untuk keperluan itu. Bendera Belanda Merah-Putih-Biru diturunkan, dan Bendera Merah-Putih Indonesia dikibarkan Selesai upacara Wakil Tinggi Mahkota Belanda H.J. Lovink dengan isterinya terbang pulang ke Nederland dan secara formil berakhirlah Zaman Penjajahan Belanda. ***
Kongres Muslimin Indonesia
Kendati Indonesia masih dalam pergolakan, para pemuka dan pemimpin Ummat Islam terus berusaha menyatu-kan ummat Islam, yang telah mem-pelopori perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Dalam usaha menyatukan langkah Ummat Islam ke tingkat yang lebih baik, Wali Al-Fattah memprakarsai Kongres Muslimin Indonesia (K.M.I.) di Yogyakarta, 1-5 Rabi’ul Awwal 1369 H. (20-25 Desember 1949 M.).
Ia menjadi ketua umum Panitia Pusat Kongres Muslimin Indonesia (PPKMI). Penasehat Agama: Syeikh Muhammad Ma’sum. Sekjen: H.M. Saleh Suaedy (Sekretaris Umum Pelajar Islam Indonesia (P.I.I.). Penerangan Pemuda Islam: A. Halim M.A. Tausikal. Dewan Perancang: Kyai H.M. Sudja’. Ketua Bagian Keuangan: R. Mirza Sidharta. Sekretaris Keuangan: R. Muslimin. Sekretaris PPKMI: A. A. Ariansjah. Moh. Dahlan Lanisi anggota,dll.
Belanda waktu itu menghalang-halangi penyelenggaraan kongres itu. Salah seorang pengurusnya, H.M. Kamar ditangkap dan ditahan Belanda. Kongres Muslimin Indonesia ini adalah usaha pemuka-pemuka Islam di Yogyakarta, yang menjadi ibukota Indonesia waktu itu.
Dalam kongres yang berlangsung lima hari itu, diambil keputusan sbb.: menetapkan: I. Peraturan Badan K.M.I. II. Pembentukan Lembaga: 1. Kewanita-an, 2. Da’wah dan Panyiaran, 3. Sosial dan Eklonomi, 4. Pendidikan, Pengaja-ran dan Kebudayaan Islam, 5. Hukum Islam dan Filsafat, 6. Pengetahuan Politik, 7. Penyusunan Encyclopaedie Islam, 8. Perpustakaan. III. Susunan Sekretariat B.K.M.I.: 1. A. Gaffar Ismail, 2. A. Haryono, 3. Wali Al Fattach (Wali Al Fattaah). (Kongres Muslimin Indonesia, 1950: 11-23).
Tindakan Pemerintah terhadap D.I.
Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia, Pemerintah melakukan langkah-langkah pengaman-an dengan mengambil tindakan-tindakan untuk mengatasi kekacauan di wilayah Republik Indonesia.
Pemerintah RIS di bawah pimpinan Presiden Soekarno, menganggap berdiri-nya N.I.I., yang diproklamirkan oleh Kartosuwiryo, sebagai suatu pembe-rontakan setelah lahirnya Negara Republik Indonesia.
(Soekarno dan Kartosuwiryo pernah mondok di rumah Tjokroaminoto dalam waktu yang berbeda. Soekarno lebih dahulu, tahun antara 1916 dan 1921 dalam usia 14 tahun, dan Kartosuwiryo pada tahun 1927-1929. Soekarno bahkan menjadi mantu pemimpin Sarekat Islam yang paling berpengaruh Tjokroaminoto setelah menikah dengan putrinya Siti Utari. Soekarno kemudian pindah ke Bandung setelah cerai dengan Utari, dan dan bersama Sartono dll. mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) di Bandung (4-7-1927). Sedang Karto-suwiryo aktif dalam PSII. Soekarno dan Kartosuwiryo mendapat didikan ber-organisasi, berpolitik, di bawah didikan Tjokroaminoto. (CVD.14; Pusaka Indo-nesia, Orang2 Besar Tanah Air: 153).
Pihak militer menghendaki tindakan militer diambil terhadap Darul Islam. Seruan untuk melakukan aksi militer tidak hanya ditimbulkan oleh pihak militer, tetapi juga oleh partai-partai sekuler seperti PNI nasionalis, PKI komunis dan Murba sosialis. Di samping itu, Soekarno mereka desak untuk mengeluarkan pernyataan resmi dan mencap pemberontak Darul Islam pengacau Negara. (CVD:DI.107).
PKI (Partai Komunis Indonesia) ketika itu baru bangkit kembali setelah melakukan pemberontakan di Madiun (PKI-Muso: 18 September 1948) yang menelan banyak korban jiwa, baik di pihak TNI, PKI maupun penduduk. Tetapi Pemerintah RIS waktu itu tidak melarang golongan komunis Atheis (Anti Tuhan) itu. Setelah pemberonta-kan itu ditumpas TNI, terjadi peristiwa Clash II (19 Desember 1948), ibukota Yogya diserbu pasukan Belanda.
Kartosuwiryo telah menganjurkan Pemerintah RIS melarang PKI di Indonesia, sebab menurutnya pada suatu saat PKI akan menyerang RIS.
Penyelesaian Darul Islam
Di bawah Menteri Pertahanan Hamengku Buwono IX, T.N.I. melaku-kan tindakan militer, memerangi D.I. Pertempuran terjadi antara TII dan TNI.
Menghadapi Kartosuwiryo, Pemerin-tah selain melakukan tindakan militer, juga menempuh jalan lain untuk menyelesaikan masalah Darul Islam dengan N.I.I.nya. Dalam menyelesai-kan masalah Darul Islam dan N.I.I. ini, Pemerintah RIS membentuk sebuah panitia Interdepartemental Penyelesaian Darul Islam, “terdiri dari Zainul Arifin (Departemen Agama), Makmun Sumadi-pradja (Departemen Dalam Negeri) dan Kolonel Sadikin (Pertahanan). Di samping itu didirikan dua panitia lain, yang satu diketuai Wachid Hasyim, yang lain diketuai Raden Wali al-Fatah.” (C. Van Dijk (CVD), Darul Islam, 102, 103).
Ke Cakrabuwana
Dalam menyelesaikan masalah Darul Islam tersebut, para pemuka Muslimin menghendaki cara damai, seperti halnya Wali Al-Fattaah dan Mohammad Natsir serta pemimpin Islam lainnya. Dalam usaha damai itu, Wali Al- Fattaah naik gunung ke Cakrabuwana untuk menemui Kartosuwiryo yang dahulu pernah berada dalam PSII, kemudian berpisah karena politik hijrah Kartosuwiryo, dan kembali lagi bersama ketika Indonesia merdeka dan bersama lagi dalam Masyumi, tetapi berpisah lagi karena Kartosuwiryo naik gunung mendirikan Darul Islam dan N.I.I.
Perbedaan pendapat dan keyakinan tentang “hijrah” inilah yang memisahkan mereka. Wali Al Fattaah, yang berjuang bagi kemerdekaan Indonesia bersama tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin Muslim lainnya, lebih menitikberatkan pada persatuan dan kesatuan Muslimin di bawah pimpinan ALLAH dan Rasulnya yang bersifat rahmatan lil ‘alamin dalam beribadah kepada ALLAH. Bukan Negara Islam. Tidak ada Negara di dalam Islam. Karena Islam itu bersifat universal, rahmatan lil ‘alamin, menyebarkan rahmat untuk seru sekalian alam, tidak terbatas pada territorial atau batas-batas wilayah. Sedangkan Negara adalah ciptaan karya pikir otak kuffar dan musyrik Barat, kapitalis maupun komunis yang memecah belah ummat Islam di negeri-negeri Muslim menjadi negara-negara kecil dengan kefanatikan nasionalisme- nya (ashobiyah) hingga mudah dikuasai dan diperbudak kuffar Salabis dan Komunis.
“Salahlah pendapat yang mengatakan, bahwa Agama (Islam) itu mempunyai batas-batas negara,” kata Wali Al Fattaah menegaskan dalam suatu wawancara dengan wartawan. (APB,30-6-1958).
Islam rahmatan lil ‘alamin, tidak bisa dipaksa menjadi suatu negara yang kerdil. Negara itu sendiri berasal dari ciptaan orang-orang musyrik, dimulai dari zaman Yunani Purba (Socrates, Plato, Aristoteles) 500-400 sM, diikuti oleh kuffar Barat (Eropa) berikut dengan perangkat kepartaian politik mulai dari Inggris (abad ke-17) dan seterusnya.
ALLAH berfirman: “…dan janganlah kamu termasuk orang-orang musyrik (yang mempersekutukan ALLAH), yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Al-Qur’an, surah Ar-Ruum, ayat 31-32). Ayat ini menunjukkan larangan berfirqah-firqah, sekaligus menunjukkan bahwa Muslimin itu harus bersatu dalam satu pimpinan, pimpinan ALLAH dan Rasul-Nya, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an, Surah Ali Imran, ayat 103.
Inilah perbedaan yang pokok antara Wali Al-Fattah dan Kartosuwiryo.
Meskipun demikian, Wali Al-Fattaah berusaha menemui Kartosuwiryo untuk memberikan nasehat kepadanya agar kembali. Tidak melakukan sesuatu yang menyebabkan ummat menjadi korban.
Wali Al-Fattaaah tidak menginginkan adanya pertikaian dan permusuhan di kalangan para pemimpin Muslim dan ummat Islam. Ia ingin ummat Islam itu bersatu, bersaudara, saling kasih sayang sebagaimana diperintahkan ALLAH dan dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Wali Al Fattaah bersama Syaikh Muhammad Ma’sum, Ustadz Abdul Djabar, Ustadz Mohammad Djauzi (penerjemah Al-Qur’an ke bahasa Jawa), Ustadz Soebadi dll., telah mewujudkan kehidupan di bawah pimpinan ALLAH dan Rasul dengan sebutan mereka itu adalah Hizbullah, kaum yang berpihak kepada ALLAH sejak akhir dari zaman Belanda di Yogyakarta (1940-1941).
C. Vand Dijk dalam Rebellion Under The Banner of Islam (terjemahan Grafiti Pers, Cetakan I, 1983: Darul Islam, sebuah pemberontakan, 103-104), mengungkapkan usaha Wali Al-Fattaah menemui Kartosuwiryo itu dalam suatu usaha damai tanpa melakukan kekerasan.
“Wali al-Fatah … merasa lebih kerasan dalam kalangan Islam modernis, dan selama bertahun-tahun adalah tokoh penting Muhammadiyah. Dalam perjuangan-perjuang-an kekuasaan dalam PSII sebelum Perang, pendiriannya sangat berbeda dari pendirian Kartosuwirjo dan rekan-rekannya, walau-pun…keduanya telah meninggalkan PSII, Wali al-Fatah dua kali malahan, hal yang demikian mereka lakukan pada tahun yang berbeda-beda.”
“Peristiwa kedua menyebabkan Wali al-Fatah meninggalkan PSII pada Desember 1938, dan menjadi salah seorang pendiri bersama partai Islam baru yang kecil, Partai Islam Indonesia atau PII, politik hijrah-lah yang memisahkan. Berbeda dengan Karto-suwirjo yang didepak dari PSII kira-kira setahun kemudian karena menolak mengubah sikapnya tentang hijrah, Wali al-Fatah dan kawan-kawannya (Dr. Sukiman, K.H.Mas Manshur dll.) meninggalkan PSII justru karena mereka merasa partai ini masih terlalu banyak menekankan pada prinsip hijrah pada waktu itu.” (Pluvier 1953:116-117).
“Bagaimanapun, pada tahun 1950 Wali Al Fattaah yakin, ia dapat membujuk Kartosuwirjo, kata van Dijk. Usahanya menemui Kartosuwirjo barangkali adalah atas prakarsanya sendiri, tetapi dengan persetujuan diam-diam dari Pemerintah. Seperti juga kebanyakan anggota Masyumi, termasuk Perdana Menteri Natsir kemudian, dia yakin bahwa segala-galanya harus dilakukan untuk mengakhiri pemberontakan Darul Islam melalui perundingan.” (Van Dijk, D.I.:103)
Di Cakrabuwana
Dari Jakarta, Wali Al-Fattaah berangkat ditemani pembantu-pem-bantunya. Tujuan ke Cakrabuwana menemui Kartosuwiryo, agar ia turun gunung dan insaf. Bagi mereka yang menyerah dan insaf akan diberi pengampunan. Tetapi ketika tempat perundingan di setujui, komandan TII Oni Qital dan pasukannya membawa Wali Al-Fattaah dan pembantunya ke tempat lain. Di puncak Gunung Cakrabuwana itu Wali Al-Fattaah terserang sakit malaria. Ia ditandu turun dari gunung itu. Media-media pers menceritakan tentang peristiwa itu.
Berbagai versi laporan mengekpose berita tentang misi Wali Al Fattah itu. Dalam Seri Batjaan Pradjurit 405-JA-7 berjudul Darah tersimbah di Djawa-Barat, Gerakan Operasi Militer V, cetakan ke-2, 1968, disusun oleh Anne Marie The, halaman 9-10, menyebutkan:
“Sebuah missi Pemerintah (waktu kabinet Natsir) pimpinan Wali Alfattah dikirim untuk berunding dengan S.M. Kartosuwirjo. Dijelaskan oleh missi bahwa bagi mereka jang menjerah dan insaf akan panggilan Revolusi 1945 akan diberikan pengampunan. Tempat penampungan akan disediakan. Tetapi dengan sombong Kartosuwrjo menolak missi Pemerintah tersebut. Dikatakan olehnja bahwa: “ia hanja mau berunding dengan pedjabat Pemerintah jang tinggi, tidak dengan jang lain.”
Van Dijk mengatakan:
“Wali al-Fatah (setelah mengusahakan pertemuan dengan pemimpin2 utama Islam pada 14 Mei 1950) bersama dengan tiga orang pembantunya yang menyertainya — Tasik Wira, Muslich (Muslikh) dan Zainuddin – berhasil mengadakan hubungan
dengan Darul Islam, ketika mereka diantar ke Cipamuruyan, di Gunung Cakrabuwana, sebelah utara Ciawi, salah sebuah benteng Darul Islam. Mereka disambut dengan segala kehormatan dan diperlakukan sebagai tamu penting. Para utusan dikawal pasukan TII, dengan pengertian bahwa keamanan mereka tidak dapat dijamin bila pasukan Pemerintah menyerang pangkalan itu. Berikutnya dilaporkan dari Cipamuruyan, dari sini rombongan itu akan menuju ke Selawi, dekat Amtralina, tempat yang disetujui Kartosuwrjo untuk menemui mereka.”
“Sesudah itu tak ada suatu berita pun yang terdengar tentang Wali al-Fatah untuk sementara. Sebelumnya telah diatur bahwa apa pun yang terjadi, ia akan kembali 27 Mei (1950). Tetapi ketika tanggal itu tiba masih tidak ada juga berita tentang dia. Akhirnya ada berita dua minggu kemudian tentang dia, pada 14 Juli Palang Merah Darul Islam menyampaikan sepucuk surat dari Kartosuwirjo kepada para pejabat yang menyatakan Wali al-Fatah mendapat serangan malaria dan minta dijemput. Dia diselamatkan pasukan Pemerintah sesudah dilakukan serangan atas posisi-posisi Darul Islam pada 19 Juli (M 24-6-1958, 1-7-1950).
“Pada akhir 1950 sebenarnya Karto-suwirjo memberitahukan kepada Wali al-Fatah bahwa ia bersedia berunding hanyalah berdasarkan pengakuan sebelumnya atas Negara Islam (N 13-12-1950).
Gagal
Selama 66 hari (14 Mei-19 Juli) Wali Al-Fattaah terkatung-katung berada di gunung Cakrabuwana tanpa hasil karena antara lain hal-hal sebagaimana tersebut di atas. Laporan-laporan menyebutkan ia menderita kekurangan makan, tubuh lemah dan terserang malaria. Ia menderita selama dua bulan dalam missi maksud baiknya itu.
Van Dijk menyebutkan, “kegagalan misi Wali al-Fatah dan sikap keras Kartosuwirjo mungkin sebagian disebabkan tingkah Tentara Republik Indonesia Serikat. Pada saat Wali al-Fatah berusaha utama Islam pada 14 Mei 1950) bersama mengadakan hubungan dengan pemimpin-pemimin Darul Islam, Tentara ini melanjutkan serangan atas Kartosuwirjo, serta anak buahnya.”
“Menurut seorang tokoh terkemuka Islam, Affandi Ridhwan, ketua GPII daerah Jawa Barat, bahkan Tentara menyerang pasukan-pasukan Darul Islam dua jam sebelum Kartosuwirjo dan penasehat utamanya ketika itu, Sanusi Partawidjaja, akan berangkat ke tempat pertemuan dengan Wali al-Fatah.
“Dalam pertempuran berikutnya beberapa orang tewas, di antaranya Toha Arsjad, Menteri Penerangan Negara Islam Indonesia (PR 26-2-1953).
Informasi yang bertalian diungkapkan Affandi Ridhwan selama persidangan perkaranya pada tahun 1953, sesudah dia ditangkap dengan tuduhan menyokong Darul Islam. Demikian Van Dijk (h.105). ”
Kemudian ia (Wali Al Fattaah), kata Van Dijk, menduga bahwa Kartosuwiryo dulu bersedia berjumpa degan dia mengingat kekalahan yang diderita Darul Islam, tetapi Oni, panglima TII, telah mengacaukan rencana yang demikian (damai/pen.) dengan menyuruh pasukannya membawanya ke tempat lain dari semula, tempt dia diharapkan akan berjumpa dengan Kartosuwirjo. Dia (Wali Al-Fattaah/pen.) hilang selama beberapa waktu karena ini (M 24-6-1958, 1-7-1950/CVD.104).
Setelah peristiwa itu, pada 24 Agustus 1950 Wali Al Fattaah ditunjuk sebagai Ketua Interdepartemental Penyelesaian Darul Islam. (SK Mendagri. No.585, 25-8-1950, Hr Kedaulatan Rakyat 24-8-1950; Nasional 25-8-1950).
D.I. tandingan
D.I. rupanya tidak sendirian. Ada D.I.-D.I. lainnya yang meruwetkan situasi. Orang tidak tahu mana yang asli dan mana yang gadungan. D.I.-D.I. gadungan inilah, menurut laporan, yang melakukan penggarongan dan terror terhadap penduduk hingga D.I. asli terkena getahnya sehingga berita-berita yang tersiar berat sebelah.
“Tindakan militer terhadap Darul Islam dilakukan sesudah sultan Hamengkubuwono IX menjadi menteri pertahanan. Peristiwa itu menjadi ruwet, pertama, disamping D.I. yang sebenarnya, terdapat pula gerombolan-gerombolan yang sebagian terdiri dari kaum petualang dan penjahat-penjahat dan sebagian lagi terdiri dari orang-orang yang didorong oleh ideologi politik dan semuanya ini melakukan perbuatan-perbuatan terror dengan berkedok D.I. (PM. Pasaribu, Encyclopaedia Politica (EP) I (AG), Tintamas Djakarta, 1960: 111).
Menurut P.M. Pasaribu, ada tiga (3) D.I. waktu itu. Pertama D.I. Karto-suwiryo (asli), kedua D.I. gerombolan petualang dan penjahat, ketiga D.I. Ideologi Politik. Dua yang terakhir ini yang membuat terror berkedok D.I. sebenarnya. Di samping itu menurut laporan lainnya, juga ada D.I. buatan Belanda. Mungkin juga PKI mengambil bagian dalam kekacau-balauan itu, karena PKI pernah menyelusup ke Sarekat Islam, kemudian diusir oleh Sarekat Islam yang berjuang menentang golongan Atheis itu. Setelah mem-berontak terhadap Pemerintah R.I. di Madiun (1948) dimana banyak kyai dan ulama serta Ummat Islam menurut laporan dibunuh oleh komunis pimpinan Muso itu, PKI bangkit lagi dan tidak dilarang oleh Pemerintah, malah menyeru Pemerintah untuk melakukan aksi militer terhadap D.I. Kartosuwiryo bersama PNI dan Murba mendesak Presiden Soekarno untuk mencap D.I. sebagai pengacau negara.
Bagaimanapun Kartosuwiryo adalah seorang Muslim, ia sholat, puasa, sejak dididik oleh Haji Oemar Said Tjokro-aminoto di Surabaya seperti juga Soekarno.Keduanya mempunyai mentor politik yang sama, yang paling terkemu-ka pada masanya, pemimpin Sarekat Islam Haji Oemar Said Tjokroaminoto. (VD.DI.13). Kesalahan Kartosuwiryo dalam pandangan Pemerintah adalah dia membuat negara baru setelah berdirinya Negara Republik Indonesia. ***
PERWUJUDAN
Jama’ah Muslimin (Hizbullah)
Penelitian kembali
Sesudah Muktamar Masyumi IV di Yogyakarta, disusul dengan Kongres Muslimin Seluruh Indonesia (1369 H /1949 M), Wali Al Fattaah berkumpul bersama sejumlah Muslimin di ke-diamannya di Margo Kridonggo, No.16, Yogyakarta, membicarakan penyatuan Muslimin.
“Kami berkumpul di Margo Kridonggo, No. 16, di kediaman kami di Yogyakarta waktu itu. Ikhwan-ikhwan kami datangkan untuk membicarakan penyatuan Muslimin secara apa yang kita lihat pada sistem kepartaian,” katanya.
Kata-kata “Ikhwan,” dimaksudkan oleh Wali Al Fattaah adalah shahabat-shahabatnya dalam perjuangan Islam dan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ia biasa menyebut kata “ikhwan” itu terhadap sesama Muslim, terutama sahabat-sahabat seperjuangan.
Dalam pertemuan itu hadir antara lain Wali Al Fattaah, Syeikh Muhammad Ma’sum, M. Saleh Suaedy, dan dari kalangan pemuda Mirza Sidharta.
Wali Al Fattaah mengatakan, “Kami membicarakan masalah penyatuan Muslimin secara mendalam, akan tetapi belum menemukan bagaimana caranya menghimpun Ummat Islam menurut contoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami sebelumnya mengatakan, bahwa partai-partai politik Islam, yang ada pada waktu itu, pengambilannya bukan dari Islam, tetapi dari Barat (Eropa).”
“Sebagian dari mereka mengatakan, “Kita dirikan saja partai politik.” Kami jawab: “Kalau mendirikan partai politik buat apa? Ini namanya cuma mencari kedudukan saja melewati jalan lain. Tidak apa artinya itu dalam agama.”
“Kalau mendirikan partai politik sesudah ada partai politik Islam waktu itu, kami anggap hanya soal kursi, bukan soal prinsip lagi. Maka kami tolak sama sekali usul tersebut.”
“Kami terus mencari yang Haq, meneliti secara cermat dan mendalam bagaimana caranya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghimpun Muslimin dalam memperhambakan diri kepada ALLAH Subhanahu wa Ta’ala dengan ikhlas dan bersih dari dorongan-dorongan atau pengaruh-pengaruh politik.”
“Ini untuk persaksian sejarah, lain tidak. ALLAH mengetahuinya dan para ikhwan (rekan-rekan seperjuangan Wali Al Fattaah dalam pergerakan Islam dan kemerdekaan R.I.) yang masih hidup juga bisa menyaksikan jalan sejarahnya,” kata Wali Al-Fattaah dalam ceramahnya pada Musyawarah Alim Ulama dan Zu’ama, Organisasi-Organisasi Islam Tingkat Puncak Seluruh Indonesia di Aula Masjid Agung Sunda Kelapa, Jakarta, 25-27 Jumadil Awwal 1394 H (15-17 Juni 1974 M).
Al Jama’ah diwujudkan
Wali Al-Fattaah bersama Syaikh Muhammad Ma’sum (ahli hadits), Kyai Sulaiman Masulili dan lain-lainnya memfokuskan diri menyimak dan mendalami dalil-dalil qath-iy dari Al- Qur’an dan Al-Hadits serta tarikh perihidup Rasulullah, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Secara terus menerus beliau-beliau itu mengkaji, menela’ah dan mendalami dalil-dalil menyangkut Ijtimaiyah, kemasyarakatan Islam, masyarakat Wahyu, yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Ternyata banyak hadits-hadits yang menyebutkan wajibnya Muslimin hidup berjama’ah, berkhilafah dan bai’at untuk menegak-kan Syariat Islam itu
“Alhamdulillah, dengan pertolongan ALLAH Subhanahu wa Ta’ala sampailah pada tahun 1372 H. (1953 M.), yang pada
awal tahun itu sudah mulai nampak bintik-bintik terang dimana ALLAH mengurnia-kan pengertian bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama-sama ummat beliau berhimpun mengamalkan Wahyu-wahyu ALLAH, dan bagaimana bentuk kesatuan serta wujud kemasyarakatan Islam itu,” kata Wali Al-Fattaah dan menambahkan bahwa bentuk kemasya-rakatan Islam itu adalah AL-JAMA’AH, mereka itulah kaum yang berpihak kepada ALLAH atau HIZBULLAH.
Akhirnya dengan taqdir serta idzin dan pertolongan ALLAH semata-mata, setelah berulangkali dimusyawarahkan, pada awal tahun 1372 H (1953 M) Wali Al-Fattaah bersama Hadimus Sunnnah Syaikh Muhammad Ma’sum dan sejumlah kaum Muslimin lainnya MENETAPI AL-JAMA’AH dengan sebutan pada waktu itu ialah HIZBULLAH berbentuk JAMA’AH, JAMA’AH MUSLIMIN.
Adapun dalil mendasari ditetapi Al Jama’ah itu antara lain adalah (teks terjemah dikutip sesuai aslinya pada waktu itu, yang disiarkan suratkabar Abadi/pen.):
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ. (القران سورة ال عمران : 102 – 103 )
“Hai orang2 jang beriman, takutlah
kamu kepada Allah dengan sebenar2 nja. Kamu djangan mati hendaknya, melainkan di dalam Islam”.
“Berpeganglah kamu sekalian kuat2 pada tali Allah, djanganlah bertjerai-berai; ingatlah kerunia Allah jang dilimpahkan atasmu ketika kamu ber-musuh2an dahulunja, maka dipersatu-kan-Nja hatimu memeluk agama Islam, dan djadi bersaudaralah kamu dengan ni’mat jang tersebut, ketika kamu sudah dekat ditepi lobang neraka, maka Allah melepaskan kamu dari padanja; demikianlah Allah menerang-kan ajat2Nja kepada kamu, mudah2an kamu mendapat petundjuk”. (Al-Qur’an, Surah Ali Imran: 102-103)
(Abdullah bin Mas’ud rodliallahu ‘anhu, ia berkata: “Yang dimaksud dengan kalimat “jami’an” dalam firman ALLAH: وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا adalah ا لجـما عـة “Jama’ah.” * “Sesungguhnya ALLAH memerintahkan menjalin kasih sayang dan melarang berfirqah-firqah, karena firqah itu menimbulkan kerusakan, sedang Jama’ah itu membawa keselamatan.”
(Al-Jami’ li ahkamil Qur’an, Muhammad Ibnu Ahmad Al-Anshary Al-Qurtuby, Daru Ihya it-turatsi Al-Araby Beirut: Juz 4: 159.
Telah menceritakan kepada kami Al-Mutsanna, ia berkata telah menceritakan kepada kami Amr bin ‘Am, ia berkata telah menceritakan kepada kami Hasyim dari ‘Awam dari Sya’bi dari Abdullah tentang Firman ALLAH Ta’ala: وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا beliau berkata حَبْلِ اللهِ adalah اَلْجَمَاعَةُ . “JAMA’AH”. (Tafsir Jamiul Bayan, Ibnu Jarir At-Thobari, Juz 4 halaman 21).
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الجَمَاعَةَ ثَمَّ مَاتَ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَةً.(رواه البخارى و ميلم).
“Hadits dikeluarkan oleh Sjaichani dari Abi Hurairah r.a.: “Barang siapa keluar dari ketha’atan dan mentjeraikan Djama’ah Muslimin lalu ia mati, matinya itu mati djahilijah”.
Adapun nama HIZBULLAH itu sendiri merupakan nama sifat dan sikap Mu’minin yang termaktub di dalam Kitab Suci Al-Qur’an, Surah Al-Maidah ayat 55-56 dan Al-Mujadalah, ayat 22 sebagaimana tersebut di atas.
Wali Al Fattaah dan Syaikh Muhammad Ma’sum menggunakan kalimat MENETAPI AL-JAMA’AH, karena JAMA’AH itu sudah ada sejak masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dimana beliau dan kaum Muslimin dahulu hidup ber-Jama’ah. Jadi AL-JAMA’AH itu bukan suatu nama yang dikarang-karang, tetapi nama yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sendiri melalui hadits-hadits beliau. Jadi JAMA’AH itu bukan didirikan, karena JAMA’AH itu bukan organisasi ciptaan manusia.
Wali Al Fattaah pada waktu itu dibai’at oleh sejumlah kaum Muslimin sebagai Imaam Jama’ah Muslimin (Hizbullah). Sebelumnya Wali Al Fattaah meminta Syaikh Mohammad Ma’sum menjadi Imaam. “Pak Wali ketika itu minta Syaikh Mohd. Ma’sum menjadi Imaam. Tetapi beliau menolak dan membai’at pak Wali menjadi Imaam. “Wali saja jadi Imaam, karena lebih banyak tahu (tentang medan). Saya mendukung,” kata Muhyiddin Hamidy kepada penulis. (Waktu itu bapak Muhyiddin Hamidy, yang belakangan menjadi Imaam, berusia 19 tahun. Beliau termasuk salah seorang Muslim yang awwal menetapi Al-Jama’ah). (Keterangan beliau ini dikonfirmasi kembali oleh penulis pada beliau di Masid At Taqwa, Shuffah, Awal Dzulhijjah 1430 H.).
Pada hari Jum’at pagi 8 Rabiul Akhir 1372 H (23 Januari 1953 M), di kediaman Wali Al-Fattaah di Cideng Timur No.53, Jakarta, berlangsung mubayaah lima (5) Muslimin membai’at Wali Al-Fattaah sebagai Imaam Jama’ah Muslimin (Hizbullah). Mereka adalah: Al-Ustadz Ilyas Datuk Madjoindo (Sumatera Barat), Kyai Sulaiman Masulili (Sulawesi Selatan), Ustadz S. Machmud (Jakarta), Hartono dan Wardiman (Jawa Tengah). (Wali Al-Fattaah, Catatan Harian, 1372 H/1953 M).
Kongres Alim Ulama di Medan
Kerinduan Wali Al-Fattaah bagi terwujudnya satu kesatuan Ummat Islam dengan satu pimpinan di bawah pimpinan ALLAH dan Rasul-Nya, disampaikannya dalam seruannya kepada para pemuka ummat dalam Kongres Alim Ulama dan Muballighin Seluruh Indonesia di Aula Universitas Islam Sumatera Utara, Medan, 27-28 Jumadil Akhir 1372 (14-21 Maret 1953 M).
Dalam kongres tersebut, Wali Al-Fattaah menyerukan agar Ummat Islam kembali kepada pimpinan ALLAH dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Majalah AL-ISLAM Medan,No. 16 Tahun ke-I, Djumadil Achir 1374/ Pebruari 1955, halaman 16-17 (bundle halaman 272-273) mengutip seruan Wali Al-Fattaah itu. Berikut kutipannya dalam ejaan lama bahasa Indonesia (j=y, j=dj, kh=ch, c=tj).
Ia berkata: “…Kami tegaskan, apabila organisasi-organisasi Islam, baik jang berpolitik ataupun tidak, kembali kepada pimpinan ALLAH dan Sunnah Rasul, Insja ALLAH, mereka itu sendirinja akan bersatu. Akan tetapi kalau perdjuangan mereka itu hanya dengan mengutamakan pendapat daripada hukum Agama, sekalipun katanja ichlas, djuga tidak ichlas, sehingga gelap gulita di keliling ummat, menjebabkan mereka mentjari djalannja sendiri-sendiri, mentjoba mentjari pendapat-pendapat lain jang lebih baik. Oleh karenanja untuk dapat memperlengkap soal ini, saja harap marilah kita bersatu dengan berpegang pada Tali ALLAH dan Sunnah Rasul. Kalau hanja dengan pendapat sadja, kita tidak akan mentjapai persatuan itu.”
Dalam kongres di Aula Universitas Islam Sumatera Utara, Medan itu, hadir para pemuka, ulama dan muballigh, antara lain: Menteri Agama R.I. K.H. Fakih Usman, Sjafi’i Tgk. Sutan, H. Mohd. Ali Nurdin (Sumatera Barat), H. Mohd. Abduh (Makassar), H. Darwis Djambek (Sumatera Tengah), H. Abd. Halim Hasan (Sumatera Timur), H. Abu Bakar Bestari (Palembang), Jahja Badin (Atjeh Utara), H. Zainuddin Hamidi (Pajakumbuh), Ahmad Jusuf (Kaliman-tan Timur), H.S. Muntu (Makassar), Abd. Manan Malik (Labuan Batu), A. Husin Al-Mudjahid (Atjeh), M. Arsjad Thalib Lubis (Medan), Rangkajo Rahmah el-Junusijah (Sumatera Tengah), H. Adnan Lubis, Kjai H. Imam Gazali (Solo), Syeikh Suleiman Arrasuli (Bukittinggi), Isa Anshary (Djawa Barat), Tgk. Abd. Wahab (Atjeh), Muhammad El Habsji (Sunda Kecil), Kjai H. Ramli (Sulawesi), M. Hanafi Goebed (Kalimantan), H.M. Saleh Suaedy dan Wali Al-Fattaah (Djakarta).
Pembicara lainnya dalam kongres itu adalah Menteri Agama R.I. K.H. Fakih Usman, Sjafi’i Tgk. Sutan, H. Mohd. Ali Nurdin (Sumatera Barat), H. Mohd. Abduh(Makassar), Wali Alfatah (Wali Al Fattaah) (Jakarta), Hadji Darwis Djambak (Sumatera Tengah), H. Abd. Halim Hasan (Sumatera Timur), H. Abu Bakar Bestari (Palembang) dan Yahya Badin (Atjeh Utara).
Perilah Khilafah, dalam kongres yang membahas tentang Pemilihan Umum (Pemilu) itu, disinggung dengan contoh memilih khalifah dalam konteks Pemilu 1955.
Wali Al-Fattaah mengatakan, “Ini lain. Memilih chalifah ini di kalangan Muslimin sendiri. Dengan sekadar agama dapat ini diselesaikan. Djadi ini saja rasa bukan tempatnja contoh ini dikenakan kepada pemilihan umum”.
“Djuga mengenai pimpinan jang satu… itu tidak mungkin selama mereka berpedoman kepada pendapat-pendapat sadja dan tidak dikembalikan kepada Qur’an dan Hadits.” (Al-Islam, No.6 Tahun ke-1, Jumadil Akhir 1374, Februari 1955 M, halaman 16-17, bundle halaman 272-273: Kongrees Alim Ulama/ Muballighin seluruh Indonesia di Medan (III).
Sambutan Muslimin
Wali Al-Fattaah dan sejumlah Muslimin yang telah menetapi Jama’ah Muslimin (Hizbullah) pada 8 Rabiul Akhir 1372 H (23 Januari 1953 M) secara runtin mengadakan pengajian di Cideng Timur 53 Jakarta dan Tanah Abang, Jakarta.
Jama’ah didakwahkan kepada kaum Muslimin. Ustadz Buchori, seorang pemuka dan Takmirul Masjid At-Taqwa di Petojo Sabangan, Jakarta, berbai’at menetapi Jama’ah Muslimin (Hizbullah) di Cideng Timur.
Kaum Muslimin lainnya yang telah menetapi Jama’ah adalah Ustadz Zainul Maliki, Ustadz Amin Basha, dan Ustadz M. Bakri Qomar (Jakarta), Ustadz Sa’daman (tokoh Persis Jakarta), Mirza Sidharta (Yogyakarta), Ustadz Dahlan Lanisi (Ternate, Maluku Utara), Ustadz Gaffar Ismail (Sumatera Barat), Abdullah bin Buchori, Abdurrahman bin Buchori, Muhyiddin Hamidy bin Abdul Hamid (Jakarta), Ustadz Muhammad Ali Muhammad (Banda Aceh/terakir rektor IAIN Banda Aceh), Darsono (Jakarta), Ustadz Sulaiman Mahmud (Aceh), Ustadz Mohammad Amin, Ustadz Amir Husin O.S. (Jakarta), Kyai Haji Mohammad Noor (Jakarta), Ustadz SS Jam’an (Senen, Jakarta), Ustadz Ahmad Makarusu (Makassar), K.H. Munawar Khalil (Jawa Tengah), Ustadz Musthafa Sasradasmita (Jakarta), Ustadz Zubeir Hadid (wartawan Pers Biro (PIA) Jakarta dan AFP (kantor berita Perancis di Jakarta). Ustadz Abdul Malik (Sumatera Barat/bai’at setelah dimaklumkan, September 1953). Demikian antara lain nama-nama yang telah menetapi Al-Jama’ah yang diperoleh penulis melalui bapak Muhyiddin Hamidy dan sejumlah ikhwan lainnya dari angkatan pertama (sabiquna awwalun) itu seperti Ustadz Buchori, Abdullah bin Buchori, Ustadz Sa’daman dan lain-lainnya. Selain bapak Muhyiddin Hamidy dan Darsono, semuanya beliau-beliau itu telah pulang ke rahmatullah. Semoga ALLAH Subhanahu wa Ta’ala menempatkan beliau-beliau itu di Jannah di Akhirat kelak. Allaahumma amiin.
Menjelang akan dimaklumkannya Al-Jama’ah ini secara terbuka ke Dunia Islam secara luas, Ustadz Buchori mengirim surat kepada Wali Al-Fattaah daftar nama kaum Muslimin di Petojo Sabangan II dan III tertanggal 15 Agustus 1953 M (5 Dzulhijjah 1372 H.) sebanyak 19 orang Muslimin dari Petojo Sabangan, Jakarta, yang akan diundang dalam acara tersebut. Ustadz Buchori dan Abdullah bin Buchori mengatakan di kediamannya di Petojo Sabangan III/52 Jakarta (1977), dari jumlah tersebut, 11 orang telah berbai’at kepada Wali Al-Fattaah.
Mereka adalah, Supardi, Said, Hashim Siregar, Dasimin, Moh. Isah, Taseri, Moh. Ali, Sahbudin (Saud), Sudjaei, Surija dan Awil.
Demikian nama-nama kaum Muslimin yang telah berbai’at menetapi Al-Jama’ah, Jama’ah Muslimin (Hizbullah) dari 8 Rabiul Akhir 1372 H (23 Januari 1953 M) hingga menjelang dimaklumkan di Jakarta.
Konperensi Pers
Persiapan untuk memaklumkan Jama’ah Hizbullah ini ke Dunia Islam telah dilakukan oleh Imaam Wali Al-Fattaah dan seluruh makmumnya. Dalam musyawarah di Cideng Timur 53, Jakarta, Imaam Wali Al-Fattaah menentukan hari, tanggal dan bulan yang tepat, Insya ALLAH, pada Hari Raya Kurban atau Iedul Adha 10 Dzulhijjah 1372 H bertepatan dengan 20 Agustus 1953 M.
Undangan-undangan telah disampai-kan kepada para ‘alim ‘ulama, zu’ama, pemuka-pemuka masyarakat, organisasi-organisasi maupun kepada para pejabat pemerintah serta pemimpin-pemimpin media massa (media-media pers).
Delapan hari menjelang akan dimaklumkan, Jama’ah Muslimin (Hizbullah) mengadakan konperensi pers di Jakarta. Kepada Pers. Hadir wartawan-wartawan dari berbagai massmedia, antara lain dari Kantor Berita Nasional ANTARA dan kantor berita asing.
Dalam konperensi pers itu Imaam Wali Al Fattaah menjelaskan tentang Al- Jama’ah sebagai bentuk kemasyarakatan Islam dan Hizbullah sebagai nama sifat dan sikap dari Jama’ah itu, yaitu Jama’ah Muslimin, dan tentang sejarah timbul tenggelamnya Jama’ah itu hingga ditetapi kembali pada awal tahun 1372 H/1953 M. dan pemaklumannya secara luas pada Hari Raya Iedul Adha 1372 H.
Tanya jawab antara Wali Al Fattaah dan wartawan-wartawan berlangsung seputar bentuk kemasyarakatan Islam itu, dihadiri oleh amir-amir majelis Kutab (Kyai Sulaiman Masulili), majelis Ukhuwwah (Amin Basha), majelis Da’wah dan Tabligh (Zainul Maliki), majelis Maaliyah (M. Bakri Qamar), serta Dewan Imaamah dan ikhwan lainnya.
Berikut berita yang disiarkan oleh ANTARA, Suara Merdeka Semarang, Kedaulatan Rakjat, Kengpo, dll.
SUARA MERDEKA SMG., REBO 12 AGUST.1953. TAHUN KE VIII No. 148:
Lain Dulu Lain Sekarang. “Hizbullah” Jg Didirikan Sekarang Berlainan Dgn Organisasi Bersendjata “Hizbullah” Dulu. Hizbullah Adalah Organisasi Islam Jang Lebih Prinsipieel: Keterangan Wali Al Fatah.
SEBAGAI PENDJELASAN mengenai berita tentang akan didirikannja organisasi Islam “Hizbullah”, diterangkan oleh Wali Alfatah sebagai salah seorang pengambil inisiatif dari pembentukan organisasi tsb., bahwa organisasi “Hizbullah”jang akan didirikan itu adalah merupakan suatu organisasi agama Islam, dan berlainan dengan organisasi bersendjata diwaktu djaman Republik dulu. Organisasi tsb. tidak akan menjebut dirinja sebagai suatu partai politik. Menurut Wali Alfatah sebagai tudjuan usaha dari organisasi ini, ialah terutama untuk menindjau dan menjelesaikan segala sesuatu dari sudut agama Islam.
Penindjauan dan penjelesaian masalah tadi akan bersifat lebih prinsipieel (dari sudut Islam) daripada apa jang sampai sekarang dilakukan oleh organisasi2 lainnja. Organisasi “Hizbullah” ini dalam usaha2-nja akan sangat mengutamakan soal2 ber- hubungan dengan tudjuan2 sutji, kata Wali Alfatah. Nama “Hizbullah” diambil karena maknanja jang baik ditindjau dari sudut Agama.
“Hizbullah” berarti: golongan atau partai Allah.
Selandjutnja diterangkannja, bahwa “Hizbullah” tak akan dapat menjetudjui adanja pertengkaran antara partai2 Islam. “Hizbullah” didalam lingkungan Muslimin akan berdiri ditengah2 antara lain2 golongan. Segala sesuatunja mengenai “Hizbullah” akan dijelaskan lebih mendalam dlm rapat pertemuan pembentukan organisasi ini dengan resmi, pada tg.19/20 Agustus nanti di Adhuc stad, Djakarta. Demikian Wali Alfatah. (Antara).
Harian Umum KENGPO Djakarta, 12 Agustus 1953:
Tudjuan Hizbullah
WALI AL-FATTAH, Imam Gerakan Islam “HIZBULLAH”, organiasi jang berdirinja akan diresmikan pada hari Rebo malam Kamis tg. 19/20 bulan ini di Adhuc Stat Djakarta, mendjawab pertanjaan kita, menerangkan: bahwa “HIZBULLAH” bukanlah organisasi bersendjata jang dahulu pernah didirikan jang kemudian disatukan didalam TNI, bukan pula sebuah Partai Politik, melainkan sebuah Gerakan Islam jang bermaksud mengamalkan adjaran2 Islam itu di dalam peri kehidupan, sebagaimana pedomannja telah djelas termaktub didalam Al-Qur’an dan ditjontohkan oleh Muhammad Rasulullah s.a.w. Mengingat arti “HIZBULLAH”, jalah golongan atau partai ALLAH, jang djuga nama itu termaktub didalam Al-Quraan, maka sendirinja didalam menghadapi pelbagai kehidupan dan persoalan wadjiblah setjara principieel.
Dalam menghadapi masjarakat Islam misalnja, “HIZBULLAH” dengan pedoman Agamanja tidak nanti dapat menjetudjui pertengkaran-pertengkaran diantara mereka sendiri, demikian rupa hingga kesatuan Ummat menjadi retak,berpetjah-belah, hingga dengan mudahnja mereka dapat di-adu-dombakan oleh lain2 pihak.
Demikianlah keterangan Wali Al-Fattah didalam kata penutupnja, dan pendjelasan2 jang lebih mendalam dan luas akan diuraikan pada pertemuan peresmian berdirinja Gerakan tsb. Sebagaimana waktu dan tempatnja telah diterangkan diatas. (Kengpo)
Demikian antara lain berita yang disuarakan oleh media pers tentang akan dimaklumkannya Jama’ah Muslimin (Hizbullah). Kalimat didirikannja organisasi Islam “Hizbullah”, berdirinja, adalah dari pihak media-media pers tersebut.
Dalam pada itu, kaum Muslimin yang telah menetapi Al-jama’ah tersebut mempersiapkan segala sesuatunya untuk acara pemakluman di Adhuc Stat, Jalan Taman Suropati, Jakarta, yang belakangan menjadi gedung Bapenas.
Persiapan-persiapan dilakukan dengan sebaik-baiknya, dan undangan-undangan dikirimkan kepada para pemuka dan ulama serta para pejabat Pemerintah di Jakarta khususnya dan mereka yang berada di daerah-daerah lainnya. Undangan-undangan itu telah dikirimkan sebelum konperensi pers itu berlangsung dan setelahnya.
“Kita mempersiapkan acara itu dengan sebaik-baiknya,” kata Muhyiddin Hamidy yang pada tahun itu 1372 H (1953 M) berusia 19 tahun.
Sebagian besar kaum Muslimin yang berbai’at menetapi Al-Jama’ah itu terdiri atas pemuda-pemuda Muslimin antara 13-19 tahun. Sedang Imaam Wali Al-Fattaah berusia 45 tahun, lebih muda beberapa tahun daripada Syaikh Muhammad Ma’sum.
Dimaklumkan ke Dunia Islam
Dalam gema Takbir
اللهُ أَكْبَرُ، أَللهُ أَكْبَرُ، لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ هُوَ اللهُ أَكْبَرُ، أَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Pada Hari Raya Iedul Adha, Hari Nahar, Rabu, 10 Dzulhijjah 1372 H. (20-08-1953 M.), Jama’ah Muslimin (Hizbullah) dimaklumkan di Jakarta dan disiarkan ke Dunia Islam; kemudian diumumkan dalam suatu acara besar yang diselenggarakan di Adhuc Stat (sekarang Bappenas), Jalan Taman Suropati, No.1, Jakarta, Rabu malam, di hadapan para undangan yang terdiri dari wakil-wakil organisasi-organisasi dan orang-orang terkemuka di kalangan Ummat Islam, serta para wartawan dari berbagai massmedia, cetak maupun elektronik (RRI).
Ditetapinya Jama’ah Muslimin (Hizbullah) diberitakan oleh media-media Pers di Indonesia, antara lain RRI, Suara Medeka Semarang, Harian Umum Daulat Rakjat Yogyakarta, Kengpo Jakarta, Harian Umum Pedoman Jakarta, Mimbar Indonesia Jakarta, dan lain-lain. Berikut pemberitaan dari Mimbar Indonesia, Jum’at, 21 Agustus 1953 M. (dikutip sesuai ejaan lama yang dipakaipada waktu itu. Kalimat “berdirinya Hizbullah” dalam pemberitaan pers itu adalah dari media-media pers):
Mimbar Indonesia, Djum’at 21 AGUSTUS 1953. Hizbullah berpihak pada kaum jangdla’if :
Rabu malam bertempat digedung Adhuc Stat, Djakarta, Wali al Fattah selaku Imam telah mengumumkan berdirinja “Hizbullah” (Jama’ah Muslimin (Hizbullah)-pen-di Djakarta, dihadapan para undangan jang terdiri dari wakil2 oranisasi2 dan orang2 terkemuka dikalangan Islam. Diantara hadirin kelihatan anggota2 parlemen, Isa Anshary dan Nur Ibrahim. Sebelum pengumuman tersebut Wali al Fattah membentangkan dengan pandjang lebar kedudukan Islam dalam masjarakat semendjak Nabi Muhammad serta sifat2 dan keteguhan penganutnya.
Al Fattah menerangkan, bahwa kedjatuhan orang2 Islam jang tiada mendjalankan aturan2 agama Islam dengan sesungguhnja, bukanlah dapat dinamakan, bahwa golongan2 jang lain jang bukan Islam lebih berdjaja dari umat Islam jang besar takwanja. Pembitjara mengatakan selandjutnja, bahwa pahlawan2 Indonesia seperti Imam Bondjol, Diponegoro, Teuku Umar dll.,adalah penganut2 Islam jang sungguh2. Tauchidnja lebih tinggi dari kebanjakan orang dan beliau2 itu mengabdikan diri kepada Allah, segala tudjuan perdjoangannja diarahkan kepada Tuhan jang Satu.
Dengan demikian bangsanja, tanah airnja, malah dirinja sendiri terbawa ketingkat jang lebih tinggi, demikian Imam Hizbullah tersebut.
Pedoman dan pengurusnja.
Dalam pengumuman diterangkan, bahwa perkumpulan tersebut berpedoman pada Al Qur’an dan Sunnatu-rasulillah dan berdjoang karena Allah, dengan Allah, untuk Allah ber-sama2 segenap kaum Muslimin menudju kedjajaan dan kebahagiaan dunia dan achirat.
Lain dari pada itu diumumkan pula, bahwa Hizbullah berpihak pada kaum jg dla’if (yakni orang2 jang lapar, lemah, tertindas, teraniaja) guna menegakkan keadilan. Sikapnja terhadap golongan2 lain adalah tegak berdiri didalam lingkungan kaum Muslimin,di-tengah2 antara lain2 golongan.
Selandjutnja terhadap bangsa2 lain menolak tiap2 fitnah pendjadjahan dan kezaliman sesuatu bangsa atas bangsa jang lain dan mengusahakan ta’aruf (kedamaian) antara bangsa2.
Susunan pengurus pusat jang berkedudukan di Djakarta adalah:
Wali al Fattaah – Imam, S. Masulili – Madjelis Kuttaab, M. Bakri Qamar – Majelis Malijah, Amin Basha – Madjelis Uchuwwah dan Zainul Maliki – Madjelis Da’wah dan Tabligh.
Selandjutnja dapat diterangkan bahwa menurut keterangan jang didapat oleh PIA Wali al Fattah adalah residen jg. diperbantukan pada kementerian dalam negeri mengepalai bagian politik. ***
Harian Umum PEDOMAN, 21 Agustus 1953. “Hizbullah” berdiri
Djakarta, 20-8 (Pedoman).
Bertepatan dengan malam hari raja Idul Adha jl, bertempat di gedung Adhuc Stat telah diresmikan berdirinja gerakan Islam “Hizbullah” jang berpusat di Djakarta. Peresmian itu mendapat kunjungan jang memuaskan dari pemuka2 Islam.
Oleh Wali Alfattah dibentangkan dengan pandjang lebar arti Hizbullah jg tertera dalam Qur’an dan sedjarahnja dimasa2 jang lalu, dan menghubungkannja dengan keadaan di Indonesia. Penentangan terhadap imperialisme di Indonesia dilakukan
oleh ummat Islam sudah sedjak sebelum tahun 1945. Selandjutnja Wali Alfatah menudjukan kepada bakti kepada Allah.
Dalam maklumat jang dibatjakan a.l. dikatakan, bahwa Hizbullah berjuang karena Allah, dgn Allah dan untuk Allah dan menetapkan langkah asasi sbb.: 1. Pandangan, pendirian dan sikap: Jakin bahwa berpegang teguh dan ta’at melaksanakan Al-Qur’an dan Sunnatu-Rasulillah adalah sumber dari pada segala kedjajaan. 2. Uchuwah Islamijah: Kesatuan bulat bagi seluruh Muslimin jang tidak dapat dibagi2 dan diadudombakan. 3. Kemasjarakatan: Berpihak pada kaumjang dla’if (lapar, lemah, tertindas, teraniaja) dalam mempertegak
keadilan. 4. Terhadap golongan lain:Tegak berdiri didalam lingkungan kaum Muslimin, di tengah2 antara lain2 golongan, menjeru kepada kebaikan, menjuruh kepada kebadjikan dan menegah dari perbuatan mungkar. 5. Menolak tiap2 fitnah pendjadjahan dan kezaliman sesuatu bangsa atas bangsa jang lain dan mengusahakan ta’aruf antara bangsa2.
Susunan pengurus Hizbullah ialah: Imam Wali Alfatah dan selandjutnja duduk S. Masulili, M. Bakri Qamar, Amin Basha dan Zainul Maliki. ***
Harian Umum KENG PO Jakarta, 21 Agustus 1953: Berdirinja “Hizbullah”
Rabu malam bertempat di Adhuc Stat Wali Al Fatah selaku Imam telah mengumumkan berdirinja “Hizbullah” di Djakarta. Diantara hadirin kelihatan Kiai Isa Anshary dan Nur Ibrahim.
Wali Alfatah membentangkan dengan pandjang lebar kedudukan Islam dalam masjarakat semendjak Nabi Muhammad serta sifat2 dan keteguhan penganutnja.
Tentang berdirinja Hizbullah diterangkan perkumpulan tsb. berpedoman pada Al Qur’an dan Sunnatu-rasulillah dan berdjoang karena Allah, dengan Allah, untuk Allah bersama segenap kaum Muslimin menudju kedjajaan dan kebahagiaan dunia dan achirat. ***
Demikian pemberitaan-pemberitaan suratkabar-surat kabar di Jakarta tentang telah ditetapinya Al-Jama’ah sebagai bentuk kemasyarakatan Islam. Pada waktu itu secara umum dikenal dengan sebutan Hizbullah berbentuk Jama’ah. Pers menyebut Hizbullah, dan terkadang Jama’ah Hizbullah.
Berita tentang telah diwujudkannya Al Jama’ah telah menyebar ke seluruh penjuru Indonesia, dan bahkan ke Dunia Islam di luar Indonesia baik melalui radio maupun melalui kantor-kantor berita asing.
Dalam pada itu, Wali Al Fattaah beserta kaum Muslimin lainnya yang telah menetapi Jama’ah Muslimin (Hizbullah) bersyukur ke hadirat ALLAH Subhanahu wa Ta’ala dengan telah dimaklumkannya Al-Jama’ah itu
secara luas setelah ditetapi kembali pada awal tahun 1372 H (1953 M). Semuanya itu adalah karunia ALLAH Ta’ala.
Seterusnya Imaam Wali Al Fataah beserta makmumnya yang jumlahnya masih sedikit seperti tersebut di atas terus melakukan pengajian (ta’lim) di berbagai tempat di Jakarta dan mendakwahkan Al-Jama’ah kepada sanak keluarga, sahabat, rekan, dan kaum Muslimin lainnya, untuk sama-sama memenuhi panggilan ALLAH hidup berjama’ah yang rahmat dan menjauhi kehidupan berfirqah-firqah yang azab.
Mereka yang telah menetapi Jama’ah Muslimin (Hizbullah) itu hidup mesra dalam persaudaraan yang ruhama-u bainahum dan memiliki jiwa-jiwa dengan militansi yang tinggi meskipun jumlah mereka sedikit. Wali Al Fattaah sebagai Imaam sangat sayang kepada makmumnya, dan makmumnya pun sayang kepada beliau dan menghormatinya. ***
S e r u a n ( D a k w a h )
Lima puluh dua (52) hari setelah dimaklumkan ke Dunia Islam, Jama’ah Muslimin (Hizbullah) mengeluarkan seruan kepada Ummat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam agar lebih bertaqwa kepada ALLAH Subhanahu wa Ta’ala, berpegang pada Tali ALLAH dan menetapi Al-Jama’ah, Jama’ah Muslimin.
Seruan itu dikeluarkan setelah terjadi suatu peristiwa di Aceh (peristiwa “Tjot Djeumpa” dan “Peulot Leupang” (Aceh Besar) yang menelan banyak korban jiwa kaum Muslimin) dan peristiwa-peristiwa lain serupa dengan itu di Indonesia pada tahun 1372-1373 H (1953 M).
Berikut kutipan seruan itu yang disiarkan di Harian ABADI, No. 233, Tahun ke-III/Tahun Republik X, Senin, 4 Shafar 1373 H/12 Oktober 1953. Teks berita dalam ejaan lama.
Seruan “Hizbullah” dalam hadapi keadaan sekarang – Untuk Ummat Muhammad s.a.w.: ber-pegang pada “tali Allah”. Oleh koresponden “ABADI” sendiri.
Djakarta, 12-10. DALAM suatu seruannja jang ditanda-tangani oleh ketua Madjelis Da’wah dan Tabligh, Pimpinan Pusat “Hizbullah” menjata-kan, bahwa peristiwa Atjeh dan peristiwa2 lain serupa dengan itu “adalah satu titik di dalam rangkaian perkembangan sedjarah Nusa dan Bangsa Indonesia”. Dalam meng-hadapi keadaan sekarang ini kita diserukan agar lebih bertaqwa kepadaTuhan.
Chusus buat Ummat Muhammad dikatakan pegangan sebaik2nja ialah “tali Allah”.
Didalam menghadapi perkemba-ngan perkembangan sedjarah Nusa dan Bangsa selandjutnja, demikian seruan “Hizbullah” tsb., baik kiranya apabila dapat diwudjudkan suatu persatuan antara seluruh bangsa di atas dasar taqwa kehadirat Allah, menjeru kepada kebaikan, menjuruh pada perbuatan kebadjikan dan menolak kemungkaran”.
Adapun chusus bagi Ummat Muhammad s.a.w., segenap kaum Muslimin, djangan hendaknja kehilangan tongkat untuk berpegang, tali untuk bertambat. Dan sebaik2 pegangan itu, ialah “tali Allah” sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam Al-Qur’an surat Ali-Imran ajat 101-102:
“Hai orang2 jang beriman, takutlah kamu kepada Allah dengan sebenar2nja. Kamu djangan mati hendaknya, melainkan di dalam Islam”.
“Berpeganglah kamu sekalian kuat2 pada tali Allah, djanganlah bertjerai-berai; ingatlah kerunia Allah jang dilimpahkan atasmu ketika kamu bermusuh2an dahulunja, maka dipersatukannja hatimu memeluk agama Islam, dan djadi bersaudaralah kamu dengan ni’mat jang tersebut, ketika kamu sudah dekat ditepi lobang neraka, maka Allah melepaskan kamu dari padanja; demikianlah Allah menerangkan ajat2Nja kepada kamu, mudah2an kamu mendapat petundjuk”.
Sabda Rasulullah s.a.w.:
“Hadits dikeluarkan oleh Sjaichani (Buchary dan Muslim) dari Abi Hurairah r.a.: “Barang siapa keluar dari ketha’atan dan mentjeraikan Djama’ah Muslimin lalu ia mati, matinya itu mati djahilijah”.
Hadits diriwajatkan oleh Muslim dari Anas bin Malik r.a.:
“Djanganlah bentji membentji, dengki-mendengki dan bertjerai-berai, serta djadilah hamba2 Allah jang bersaudara.”
Hadist diriwajatkan oleh Abu Daud dan Annasa’i dari Abi Dardaa r.a.:
“Maka wadjib atas kamu menggalang Djama’atul Muslimin, karena semestinja andjing hutan (serigala) menerkam (memakan) domba jang djauh bertjerai.”
Semoga Allah Subhanahu wata’ala tetap melimpahkan keruniaNja, taufiq dan hidajahNya, pada mereka sekalian jang berbakti. Demikian seruan :Hizbullah” tsb. (Abadi).
Demikian seruan Jama’ah Muslimin (Hizbullah) secara terbuka untuk pertama kalinya setelah dimaklumkan, yang antara lain diekspose oleh Harian Abadi, Jakarta.
Kongres Pemuda Islam
Menanggapi Kongres Pemuda Islam Indonesia, Nopember 1953, Wali Al-Fattaah dalam percakapannya dengan wartawan kantor berita APB Jakarta mengatakan, agar para pemuda Islam harus dapat mengoreksi terhadap organisasi yang dianutnya masing-masing. Karena tidaklah mungkin mereka mendapat apa yang dinamakan “Mardhotillah” jika mereka tidak cepat-cepat kembali memegang teguh tuntunan Agamanya, ialah “Al-Qur’an ” dan “Sunnah” Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Dalam hubungan ini Wali Al-Fattaah meng-ingatkan, bahwa setiap perubahan kemasyarakatan senantiasa didahului dengan perubahan-perubahan cara berfikir.
Wali Al-Fattaah selanjutnya me-ngatakan bahwa sistem kemasyarakat-an yang dilaksanakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah mencukupi semua syarat-syarat yang dapat membawa Ummat pada ke-jayaan. Kesemuanya itu, menurut Wali Al-Fattaah, dapat dipahami, jika kita semua mau menelaah sejarah per-juangan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam semenjak beliau masih berada di Mekkah hingga hijrah ke Madinah.
Demikian kantor berita APB Jakarta dalam beritanya, 12 Nopember 1953 (No.257.th.ke.VIII). ***
Sejak saat itu dakwah secara terbuka pun terus dilakukan, baik melalui ta’lim-ta’lim maupun melalui massmedia untuk mengajak kaum Muslimin bermasyarakat Wahyu, melaksanakan Syariat Islam dalam kehidupan berjama’ah.
Dalam pada itu, Wali Al-Fattaah dan makmum memperhatikan dan masalah-masalah yang menyangkut nasib kaum Muslimin di dunia yang masih terjajah di bawah penjajahan kuffar Barat (Imprialisme, Kolonialisme) maupun Timur (Komunisme).
Jama’ah Muslimin (Hizbullah) pada awal-awal perwujudannya menjadi titik perhatian media-media pers karena dianggap sangat memperhatikan per-kembangan Muslimin baik di Indonesia maupun di luar Indonesia.
Perhatian yang besar dari Pers itu juga dzahirnya karena figur Wali Al-Fattaah sebagai salah seorang tokoh pemimpin Ummat Islam dan tokoh perjuangan kemerdekaan di Indonesia sejak zaman penjajahan Kolonial Belanda maupun setelah kemerdekaan. Lebih dari itu, semuanya itu adalah karena ALLAH menghendaki demikian untuk bersinarnya “Nur Islam” (cahaya Islam) dengan telah diwujudkannya AL-JAMA’AH yang diperintahkan
ALLAH dan Rasul-Nya kepada orang-orang yang beriman untuk menetapinya. Sendirinya, Insya ALLAH, dengan hidup berjama’ah yang rahmat itu ALLAH memberikan pertolongan dan kekuatan.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَدُ اللهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ . (الحديث رواه الترمذى جزء 4 صفحة 466، والنسائى جزء 3 صفحه 84 – 85 )
Dari Ibnu ‘Abbas rodliallahu ‘anhu, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Tangan ALLAH itu beserta Jama’ah.” (Hadits Riwayat At-Turmudzi, Juz 4, halaman 466; An-Nasa’i, juz 3, halaman 84-85)
Wali Al Fattaah mengatakan: “Jadi, ALLAH memberikan kekuatan atau kesentausaan kepada kaum Muslimin itu, apabila kaum Muslimin itu ber-“JAMA’AH”, bukan kalau masih berkelompok, bersyerikat dan lain-lain. Tangan ALLAH atau Kekuatan ALLAH beserta Al-JAMA’AH itu mengandung rupa-rupa di sana, yang di antaranya adalah Ridha ALLAH dan Rahmat ALLAH hanya akan disertakan kepada “AL-JAMA’AH”, lain tidak.” (Wali Al-Fattaah, Al-Jama’ah Sebagai Bentuk Kemasyarakatan Islam). ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar