Oleh Abu Wihdan Hidayatullah
Setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, empat khalifah utama yaitu Abu Bakar, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib r.a., melanjut-kan sistem kepemimpinan dan perwujudan masyarakat wahyu yang telah di awali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam selama 23 Tahun. Karena sebagai pelanjut, tentu tidak sama konsekwensinya dengan yang mengawali, yakni Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Lagi pula keempat khalifah tersebut tidak maksum sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Masa khilafah merupakan “Golden Age” (Abad Keemasan), saat
itulah syari’at atau hukum-hukum islam sepenuhnya berkembang dan diimplementasikan (diwujudkan) secara
sempurna. Mereka adalah para khalifah ideal yang membimbing umat diatas jalan
yang benar dan telah menunaikan amanah mereka dengan penuh keimanan dan
keikhlasan. Karena alasan inilah mereka dikenal sebagai Khulafaur Rasyidin
yakni para khalifah penunjuk jalan kebenaran. Dan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda :
فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ
Artinya : “Maka hendaklah kamu berpegang teguh dengan
sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin al Mahdiyin” (Musnad Ahmad juz 4 hal 126
–127)
Pembenahan dan pembangunan umat di masa khulafaur rasyidin
berlangsung selama 30 tahun. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam :
الْخِلاَ
فَةُ فِي أُمَّتِي ثَلَاثُونَ
سَنَةً ثُمَّ مُلْكٌ بَعْدَ
ذَلِكَ
Artinya : “Kekhilafahan pada umatku tiga puluh tahun
kemudian kerajaan setelah itu.” (HR. At Tirmidzi juz 4 hal 503 no. 2226,
Kitabul Fitan, Abu Daud Kitabussunah juz 4 hal 221 no. 4646-4647)
Kejayaan dan kebahagiaan muslimin di masa awal adalah potret
paling ideal sepanjang sejarah. Islam benar-benar telah menjadi cahaya dan
rahmat bagi alam semesta. Karena itulah kita yakin hanya dengan berpola kepada
mereka Insya Allah kejayaan dan kebahagiaan bisa kembali kita nikmati. Imam
Malik r.a. berkata :
لاَ يَصْلُحُ اَمُرُ هَذِهِ اْلأُمَّةِ
إِلاَ بِمَا صَلُحَ بِهِ
أَوَلُّهَا
Artinya : “Tidak akan selamat atau maslahat urusan umat ini
kecuali dengan apa-apa yang telah menyelamatkannya generasi awalnya”
Atas dasar inilah Islam hanya dapat ditegakkan dengan
cara-cara terdahulu, yakni sunnah Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin. Tidak
mungkin Islam ditegakkan dengan cara diluar Islam, baik dengan pola barat
maupun pola timur.
Berbagai usaha yang diperjuangkan kaum muslimin dalam
mengembalikan khilafah dengan versinya antara lain adalah :
Ikhwaanul Muslimin
Didirikan pada tahun 1928 M. di Mesir oleh Syaikh Hasan
Al-Banna (1324-1368 H/1906-1949 M).
Berawal dengan sistem usroh
(keluarga) beberapa orang tokoh dan ulama Mesir yang menentang kekuasaan Rezim
Gamal Abdul Nasher. Secara pesat berkembang di Mesir dan meluas ke berbagai
negeri muslim lainnya, hingga ke Indonesia. Sistem perjuangan untuk menuju
khilafah melalui tahapan pembinaan sebagai berikut :
a. Pembentukan
individu Islami
b. Pembentukan
keluarga Islami
c. Pembentukan
masyarakat Islami
d. Pembentukan
Negara / Pemerintahan Islami
e. Penegakkan
khilafah dengan memilih dari perwakilan tiap negara, dengan kriteria Imaamah
atau Khilafah ; al-Alamah, al-Adalah, al-Kifayah
Hizbut Tahrir
Didirikan pada tahun 1953 di
Yordania oleh Syaikh Taqyuddin An Nabhani (1909-1979 M). Seiring dengan
keruntuhan Turki Utsmani 1924, khilafah wajib ditegakkan kembali di
tengah-tengah kaum muslimin. Maka 29 tahun kemudian Hizbut Tahrir berdiri
sebagai Partai Politik Islam Internasional yang berjuang untuk mengembalikan
Khilafah Islamiyah pasca runtuhnya Turki Utsmani. Khilafah baru bisa berdiri
apabila ada daulah Islamiyah. Dengan demikian memiliki kekuasaan menjadi syarat
mutlak tegaknya khilafah islamiyah. Apabila di suatu daerah telah menjadi
dominan dan berkuasa, maka dibai’atlah seorang khalifah. Selanjutnya seluruh
muslimin wajib membai’atnya. Syarat-syarat terbagi menjadi dua, yakni syarat
in’iqad dan syarat afdlaliyah. Syarat in’iqad (sahnya) khalifah ada tujuh ;
Muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, mampu melaksanakan amanah
khilafah. Syarat afdlaliyah (keutamaan) ; mujtahid, pemberani dan politikus,
keturunan (Quraisy, Bany Hasyim dll).
Mujahidin
Gerakan ini diawali dengan peristiwa perang teluk di Timur
Tengah tahun 1980-an, kemudian menyusul Jihad Afghanistan, Chechnya, Palestina
dan lain-lain. Para tokoh gerakan ini antara lain ; Syaikh Abdullah ‘Azzam,
Syaikh Usamah bin Ladin, Syaikh Ahmad Yasin dll. Prinsip-prinsipnya tentang
khilafah, antara lain ;
Tidak benar, untuk jihad harus ada khilafah dulu.
Tidak ada sahabat atau ulama mu’tabar yang berkata bahwa;
tidak ada jihad kecuali bersama khilafah.
Nash tentang jihad adalah qath’i, jihad akan terus
berlangsung sampai hari kiamat. Sama saja keadaannya ada khalifah atau Imaam
‘Aam atau tidak adanya khalifah atau Imaam ‘Aam.
Tidak ada dalil yang shahih, yang mensyaratkan harus dengan
adanya Imaam ‘Aam pada jihad thalabi (offensive), selain pada jihad difa’i
(defensive)
Khilafah Islamiyah yang runtuh tahun 1924, harus ditegakkan
kembali dengan melalui i’dad dan jihad
fii sabiililah.
4. Khilafatul
Muslimin
Dimaklumatkan di Lampung – Indonesia pada tahun 1997 oleh
Ust. Abdul Qadir Hasan Baraja. Menurutnya, sejak runtuhnya Turki Utsmani 1924,
tidak ada satupun gerakan yang menegakkan khilafah. Maka diba’iatlah Ust. Abdul
Qadir Hasan Baraja sebagai Amiirul Mu’minin sementara. Kemudian menyebarkan
formulir pendaftaran untuk menjadi anggota. Selanjutnya secara bertahap akan
diselenggarakan musyawarah dunia dan menetapkan Khalifah yang tetap / permanen.
III. KEMBALI KEPADA
SISTEM “KHILAFAH ‘ALA MINHAAJIN NUBUWWAH
Menjelang runtuhnya Turki Utsmani dan sesudahnya hingga
tahun 1952 muslimin di berbagai dunia termasuk di Indonesia mengadakan
musyawarah/konferensi untuk mengembalikan sistem khilafah. Akan tetapi semua
usaha ini belum berhasil mewujudkan khilafah.
Ketidak berhasilan ini lebih banyak disebabkan karena faktor
nasionalisme masing–masing pihak yang dibawa ke majelis musyawarah.
Konferensi Khilafah di berbagai negara, pra dan pasca keruntuhan Utsmaniyyah (1924)
All India Khilafat Conference, 1919 M di India
Konferensi Islam International, 1921 M. di Karachi
Pakistan
Dewan Khilafah, 1924 di Mekkah ( dibentuk Syarif Husein
Amir)—tidak berlanjut
Kongres Kekhilafahan Islam, 1926 di Kairo
Kongres Muslim Dunia, 1926 di Mekkah
Konferensi Islam Al-Aqsha, Desember 1931 di Yerussalem
Konferensi Islam International kedua, 1949 di Karachi
Konferensi Islam International ketiga, 1951 di Karachi
Pertemuan Puncak Islam, Agustus 1954 di Mekkah
Konferensi Muslim Dunia 1964 di Mogadishu
Konferensi Muslim Dunia 1969 di Rabat Maroko —– melahirkan
OKI
Konferensi Tingkat Tinggi Islam, Pebruari 1974 di Lahore
Pakistan.
Setelah mengalami perjalanan yang panjang, sampai dengan
tahun 1953 muncullah tiga pertanyaan dalam pemikiran Dr. Syaikh Wali Al–Fattaah
:
Mengapa kaum muslimin senantiasa gagal dalam memperjuangkan Islam?
Mungkinkah Islam dapat ditegakkan dengan cara di luar Islam?
Mustahil dalam Islam tidak ada sistem untuk memperjuangkan
Islam?
Dari tiga pertanyaan itulah Wali Al-Fattaah terus-menerus
melakukan kajian bersama para ulama saat itu, untuk mencari solusi permasalahan
tersebut. Maka beliau menarik kesimpulan; bahwa Islam tidak mungkin ditegakkan
dengan cara-cara diluar Islam, termasuk melalui jalur politik parlementer. Hal
ini pula yang menjadi dasar beliau mengundurkan diri dari Masyumi.
Yang memilih keluar dari Masyumi ternyata tidak hanya Wali
Al-Fattaah, tapi juga tokoh-tokoh lain yang kecewa dengan keberadaan Masyumi,
antara lain : H. Agus Salim, Abdul Gaffar Ismail dan Al-Ustadz H.S.S. Djamaan
Djamil. 1
Dari tahun ke tahun Wali Al-Fattaah mengumpulkan dalil-dalil
tentang Khilafah, Jama’ah dan Imaamah. Beliau berhubungan dengan Kyai Maksum
(Khadimus Sunnah), KH. Munawwar Khalil, Ust. A. Hasan dll.
Suatu hari, di akhir
tahun 1952 Wali Al-Fattaah mendapat hadiah satu paket buku dari KH. Munawwar
Khalil yang berjudul “Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.”.
Buku ini menambah keyakinan Wali Al-Fattaah akan penting dan
wajibnya Muslimin kembali kepada
Khilafah, ‘alaa Minhaajin Nubuwwah. Setelah berkali-kali diadakan musyawarah
dengan para ulama, maka terjadilah pembai’atan beberapa orang ulama dan tokoh saat itu, kemudian pada hari Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah 1372 H/20 Agustus 1953 diumumkan
pembai’atan tersebut di gedung Aducstaat (Bapenas sekarang) Jakarta.
Diantara para ulama yang membai’at awal Wali Al-Fattaah
generasi awal adalah :
– Kyai
Muhammad Maksum (Khadimus Sunnah, ahli
hadits asal Yogyakarta- Muhammadiyah)
– Ust. Sadaman (Persis-Jakarta)
– KH. Sulaeman Masulili (Sulawesi)
– Ust. Hasyim Siregar (Tapanuli)
– Datuk Ilyas Mujaindo, dll.
Kemudian disiarkan melalui media cetak: Harian Keng Po,
Pedoman dan Daulat Rakyat, serta media elektronik : melalui Radio Australia dalam bahasa Inggris 22
Agustus 1953 oleh Zubeir Hadid dan di RRI Pusat (1956) oleh Ust. Abdullah bin
Nuh dalam bahasa Arab.2 Inilah awal ditetapinya kembali Jama’ah Muslimin dan
Imaamnya. 1972 mendapat tanggapan positif dan do’a serta gelar Syaikh kepada Wali Al-Fattaah,
dari Raja Feisal –Saudi Arabia
Sepeninggal Wali Al-Fattaah, 19 Nopember 1976, dibai’atlah
H. Muhyiddin Hamidy sebagai Imaam yang
kedua dalam Jama’ah Muslimin (Hizbullah). Alhamdulillah dari waktu ke
waktu kaum muslimin makin menyadari akan pentingnya kesatuan dan persatuan
umat, sehingga secara berangsur muslimin di berbagai daerah dan negeri
bergabung dalam satu wadah yang disyari’atkan Allah dan Rasul-Nya, yakni Jama’ah
Muslimin dan Imaamnya. MASYAA ALLAH
Wali Al-Fattaah menegaskan, “Kalau memang telah ada yang
lebih dulu muslimin menetapi Jama’ah Muslimin dan Imaamnya, kita makmum. Kami
menyadari bahwa Imaam itu tidak boleh dua, kami menyadari bahwa Jama’ah itu
tidak boleh dua. Jama’ahnya harus satu dan Imaamnya pun harus satu.”
Sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin
Al-Mahdiyyin. (pen)
Wallahu a'lam Bisshowwab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar