Dipublikasikan Oleh: Agus Zainal Asikin
Usaha penyatuan muslimin kembali setelah keruntuhan Utsmaniyyah, yaitu setelah Perang Dunia I, pernah dilakukan oleh kaum muslimin. Di India, Syaukat Ali dan saudaranya, Muhammad Ali, berusaha untuk mengisi kevakuman kepemimpinan muslimin, yang disebut oleh pihak Barat sebagai, “Gerakan mendirikan khilafah kembali (Khilafah Movement)*.” Akan tetapi, karena pemahamannya politik, usaha tersebut menemui jalan buntu.
Di
Indonesia, usaha gerakan penyatuan muslimin dilakukan oleh pemuka kaum muslimin
bersama Wali Al Fattaah. Akan tetapi bersifat temporer. Inisiatif dari H Oemar
Said Tjokroaminoto (1299-1352 H/1882-1934 M), dalam satu kongres yang bersifat
Nasional di Surabaya pada bulan Jumadil Awal 1343 H/Desember 1924 M. Hal ini
menunjukkan adanya satu rasa penyatuan muslimin. Usaha tersebut diikuti dengan
pengiriman utusan muslimin Indonesia ke Kongres Islam sedunia di Mekkah, Saudi
Arabia, pada bulan Dzulqa’dah 1334 H (Juni 1926) atas prakarsa Raja Ibnu
Sa’ud**. Utusan dari Indonesia adalah Oemar Said Tjokroaminoto dari Syarekat
Islam dan K. H. Mas Mansur dari Muhammadiyah. Keduanya menghadiri kongres
tersebut bersama peserta muslimin dari berbagai negeri Islam dan hadir pula
saat itu Abdul Karim Amrullah, ayah Hamka*. Akan tetapi, usaha kongres tersebut
lagi-lagi mengalami kebuntuan karena para peserta terkesan memusyawarahkan
masalah politik. Hal ini ditolak Saudi Arabia yang menegaskan bahwa kongres
tersebut hanya membicarakan masalah Islam dan muslimin, bukan politik.
Akhirnya, para peserta kongres pun pulang ke tanah airnya masing-masing dengan
tidak berhasil mewujudkan apa yang menjadi cita-cita mereka.
Segala
usaha tersebut sebenarnya ditujukan untuk mengisi kevakuman kepemimpinan
setelah berakhirnya Mulkan Utsmaniyah. Hal yang menunjukkan, bahwa ummat Islam
lazimnya memiliki pimpinan dalam menghadapi dunia Barat atau Timur dan tujuan
politik lainnya. Akan tetapi alasan-alasan itu tidaklah kuat. Alasan yang kuat
adalah kehendak untuk melaksanakan Islam secara kaaffah dalam memenuhi perintah
Allah berdasarkan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang terlepas
sama sekali dari ikatan dan tujuan politik.
Ditetapinya
Kembali Wadah Kesatuan Muslimin
Jama’ah
Muslimin Ditetapi Kembali Setelah Muktamar Masyumi IV di Yogyakarta dan Kongres
Muslimin Seluruh Indonesia (1-5 Rabiul Awal 1369 H/20-25 Desember 1949 M), kami
mengadakan pertemuan di kediaman kami di Margo Kridonggo No.16 Yogyakarta.
Pertemuan itu antara lain dihadiri oleh Kyai Muhammad Ma’sum, seorang ‘alim
ahli hadits, M. Saleh Suaedy, dan Mirza Sidharta dari kalangan pemuda, serta
para ikhwan lainnya.
Masalah
yang dibicarakan adalah penyatuan muslimin secara apa yang tampak pada sistem
kepartaian. Namun, pertemuan tersebut, belum mampu menghasilkan cara terbaik
untuk menghimpun umat Islam sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam.
Sebagian
ikhwan yang hadir mengusulkan untuk mendirikan partai politik. Namun, usul
tersebut tidak dapat kami terima, sebab pendirian partai politik hanyalah
mencari kedudukan melalui jalan lain, dan ini tidak ada artinya dalam ad-Dien.
Dan jika mendirikan partai politik sesudah ada partai politik Islam, ini bukan
lagi masalah prinsip, tetapi masalah kursi.
Kami
terus mencari serta meneliti tentang cara Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam menghimpun muslimin dalam memperhambakan diri kepada Allah subhanahu wa
ta'ala dengan ikhlas dan bersih dari dorongan atau pengaruh politik. Hal ini
ditujukan untuk persaksian sejarah, tidak ada maksud lain. Allah mengetahuinya.
Demikian juga para ikhwan (rekan seperjuangan Wali Al Fattaah dalam pergerakan
Islam dan kemerdekaan/pen) yang masih hidup pun dapat menyaksikan jalan
sejarahnya.
Alhamdulillah,
dengan pertolongan Allah subhanahu wa ta'ala, pada awal tahun 1372 H (1953 M),
mulai tampak bintik-bintik terang. Allah menunjukkan pengertian kepada kami
tentang bagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersama-sama umatnya berhimpun mengamalkan
wahyu-wahyu Allah dan bentuk kesatuan serta wujud kemasyarakatan Islam.
Dengan
takdir serta izin Allah semata, setelah berulang kali didiskusikan dan
dimusyawarahkan, pada tanggal 10 Dzulhijjah 1372 H. (20 Agustus 1953 M),
ditetapilah Jama'ah Muslimin (Hizbullah) yang sebelumnya bernama Gerakan Islam
“Hizbullah”. Ini bukan organisasi, partai, perserikatan dan bentuk lain yang
sifatnya politis, melainkan berbentuk Jama’ah.
Ditetapinya
kembali Jama'ah Muslimin (Hizbullah) ini merupakan perwujudan ketaatan dalam
memenuhi perintah Allah subhanahu wa ta'ala, yang disebutkan dalam Al-Qur`an:
“Hai orang-orang yang
beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa, dan
janganlah kamu mati, melainkan dalam keadaan kamu berserah diri (kepada Allah);
Dan berpegang teguhlah kamu pada tali Allah (Al-Qur`an) seraya berjama’ah, dan
janganlah kamu berfirqah-firqah. Dan ingatlah oleh kamu akan nikmat Allah,
yaitu ketika kamu bermusuh-musuhan, lalu Allah melunakkan hati-hati kamu;
kemudian dengan nikmat itu kamu menjadi bersaudara, padahal kamu telah berada
di tepi jurang Neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu sekalian, mudah-mudahan kamu
mendapat petunjuk.” (Q.S. Ali ‘Imran: 102-103)
Juga
hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyebutkan, “…Tetaplah
engkau pada Jama'ah Muslimin dan Imam mereka!" Sebagaimana hadits Nabi
yang lengkapnya sbb:
“Dari Hudzaifah bin Al-Yaman radliallahu 'anhu, ia berkata, ”Orang-orang bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau dari hal keburukan karena aku khawatir keburukan itu akan menimpa diriku. Aku bertanya: ”Ya Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu berada dalam kejahiliyahan dan keburukan, lalu Allah mendatangkan kebaikan ini (Islam) kepada kami. Apakah sesudah kebaikan ini, akan ada lagi keburukan?” Rasul menjawab: “Ya!” Aku bertanya: “Dan apakah sesudah keburukan itu ada lagi kebaikan?” Rasul menjawab: “Ya, dan di dalamnya ada kekeruhan (dakhan).”Aku bertanya: “Apakah kekeruhan itu?” Rasul menjawab: “Yaitu orang-orang yang mengambil petunjuk bukan dengan petunjukku. Dalam Riwayat Muslim, ”Kaum yang berperilaku bukan dari sunnahku dan orang-orang yang mengambil petunjuk bukan dengan petunjukku, engkau ketahui dari mereka itu dan engkau ingkari.” Aku bertanya: “Apakah sesudah kebaikan itu akan ada lagi keburukan?” Rasul menjawab: “Ya, yaitu adanya penyeru-penyeru yang mengajak ke pintu-pintu Jahannam. Barang siapa mengikuti ajakan mereka, maka mereka melemparkannya ke dalam Jahannam itu” Aku bertanya: “Ya Rasulullah, tunjukkanlah sifat mereka itu kepada kami.” Rasul menjawab: “Mereka itu dari kulit-kulit kita dan berbicara menurut lidah-lidah (bahasa) kita.” Aku bertanya: “Apakah yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menjumpai keadaan seperti itu?” Rasul bersabda: “Tetaplah engkau pada Jama'ah Muslimin dan Imam mereka!” Aku bertanya: “Jika tidak ada bagi mereka Jama’ah dan Imam?” Rasul bersabda: “Hendaklah engkau keluar menjauhi firqah-firqah itu semuanya, walaupun engkau harus menggigit akar kayu hingga kematian mendatangimu, engkau tetap demikian.”(HR. Bukhari dan Muslim. Shahih Bukhari, Kitabul Fitan, bab Kaifa Amru Idza lam Takun Jama’atun, juz 4 halaman 225. Shahih Muslim, Kitabul Imarah, Bab Amr biluzumil Jama’ah Inda Zhuhuril Fitan, juz 2 halaman 134-135. Sunan Ibnu Majah, Kitabul Fitan, juz 2 halaman 1317, hadits nomor 3979).
“Dari Hudzaifah bin Al-Yaman radliallahu 'anhu, ia berkata, ”Orang-orang bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau dari hal keburukan karena aku khawatir keburukan itu akan menimpa diriku. Aku bertanya: ”Ya Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu berada dalam kejahiliyahan dan keburukan, lalu Allah mendatangkan kebaikan ini (Islam) kepada kami. Apakah sesudah kebaikan ini, akan ada lagi keburukan?” Rasul menjawab: “Ya!” Aku bertanya: “Dan apakah sesudah keburukan itu ada lagi kebaikan?” Rasul menjawab: “Ya, dan di dalamnya ada kekeruhan (dakhan).”Aku bertanya: “Apakah kekeruhan itu?” Rasul menjawab: “Yaitu orang-orang yang mengambil petunjuk bukan dengan petunjukku. Dalam Riwayat Muslim, ”Kaum yang berperilaku bukan dari sunnahku dan orang-orang yang mengambil petunjuk bukan dengan petunjukku, engkau ketahui dari mereka itu dan engkau ingkari.” Aku bertanya: “Apakah sesudah kebaikan itu akan ada lagi keburukan?” Rasul menjawab: “Ya, yaitu adanya penyeru-penyeru yang mengajak ke pintu-pintu Jahannam. Barang siapa mengikuti ajakan mereka, maka mereka melemparkannya ke dalam Jahannam itu” Aku bertanya: “Ya Rasulullah, tunjukkanlah sifat mereka itu kepada kami.” Rasul menjawab: “Mereka itu dari kulit-kulit kita dan berbicara menurut lidah-lidah (bahasa) kita.” Aku bertanya: “Apakah yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menjumpai keadaan seperti itu?” Rasul bersabda: “Tetaplah engkau pada Jama'ah Muslimin dan Imam mereka!” Aku bertanya: “Jika tidak ada bagi mereka Jama’ah dan Imam?” Rasul bersabda: “Hendaklah engkau keluar menjauhi firqah-firqah itu semuanya, walaupun engkau harus menggigit akar kayu hingga kematian mendatangimu, engkau tetap demikian.”(HR. Bukhari dan Muslim. Shahih Bukhari, Kitabul Fitan, bab Kaifa Amru Idza lam Takun Jama’atun, juz 4 halaman 225. Shahih Muslim, Kitabul Imarah, Bab Amr biluzumil Jama’ah Inda Zhuhuril Fitan, juz 2 halaman 134-135. Sunan Ibnu Majah, Kitabul Fitan, juz 2 halaman 1317, hadits nomor 3979).
Surat Ali ‘Imran ayat 103:
وَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا
تَفَرَّقُوا
Japat
dijadikan suatu pegangan bahwa Allah sendiri yang memperingatkan kepada
muslimin, sejak diturunkannya ayat tersebut sampai hari kiamat. Peringatan
tersebut ialah agar muslimin berpegang teguh pada tali Allah, yaitu Al-Qur`an,
dalam keadaan “Jami’an” dan jangan berpecah belah.
Sebagian
mufasirin dengan tegas menjelaskan jami’an dengan berjama’ah. Itulah sebabnya
kata jami’an diikuti kalimat walaa tafarraquu yang artinya, “Jangan kamu
berpecah belah.” Namun, sekarang ini jami’an hanya diartikan kamu sekalian,
bukan dalam arti keadaan berjama’ah, sehingga pengertian kalimat walaa
tafarraquu menjadi keliru. Jadi, ada kata-kata, “Janganlah berpecah belah,
bergolong-golongan, atau terpisah satu sama lain, berfirqah-firqah (yang
merupakan mahfum mukhallafah atau larangan sebaliknya dari perintah wajibnya
berjama’ah).”
Jama’ah
tidak hanya jama’ah shalat atau jama’ah haji saja, melainkan kebersamaan kaum
muslimin dengan satu Imamnya. Kebersamaan kaum muslimin secara
berkelompok-kelompok bukan merupakan Jama’ah yang dicontohkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan
para sahabatnya.
Surat
Ali Imran ayat 102-103 dan hadits Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam
di atas mengandung satu kesatuan muslimin dengan satu pimpinan pula. Kalau
menurut teori umum, ini berarti menyatupadukan muslimin sebagaimana yang
dikehendaki Allah, seperti yang digambarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam dalam haditsnya:
“Perumpamaan mukminin dalam belas kasih
dan hubungan mereka bagaikan satu tubuh. Apabila satu anggota tubuh menderita, menjalarlah
penderitaan itu ke seluruh tubuh sehingga tidak bisa tidur dan (merasa) panas.”
(H.R. Bukhari dan Muslim dari Nu’man bin Basyir radliallahu 'anhu; Shahih
Bukhari, Darul Ma’rifah, Beirut, 1978 bab Rahmatunnasi wal Baha-im, juz 4
halaman 53. Shahih Muslim, bab Tarahumul mu’minin wa ta’athufihim wa ta’adlu
dzihim, juz 2 halaman 431)
Rasulullah pun
menyatakan bahwa ikatan muslimin itu bagaikan bangunan yang saling menguatkan.
Beliau bersabda: “Seorang mukmin pada sesama mukmin itu bagaikan bangunan yang
sebagian menguatkan bagian lainnya.” (HR.. Bukhari dan Muslim dari Abu Musa
radliallahu 'anhu. Shahih Bukhari, bab Ta’awanul mu’minin ba’dhuhum ba’dha, juz
4 halaman 55, Shahih Muslim, bab Tarahumul mu’minin wa ta’athufihim wa ta’adlu
dihim, juz 2 halaman 431).
Hadits
ini menunjukkan bahwa Jama’ah Muslimin adalah bersatunya kaum muslimin laksana
satu tubuh. Jika sebagian muslimin menderita, akan dirasakan penderitaannya itu
oleh seluruh kaum muslimin.
Firman
Allah subhanahu wa ta'ala dan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
yang memerintahkan kaum muslimin untuk menetapi satu Jama’ah dengan satu
Imamnya juga mengandung satu arti konsolidasi. Kaum muslimin yang kini telah
terpecah-belah menjadi firqah-firqah -dengan berbagai corak, seperti politik,
sosial, dan ubudiyah-, agar menjadi satu ummat. Satu Jama’ah dengan motif
mencari rahmat Allah, ridla Allah, memenuhi perintah Allah dan Rasul-Nya, serta
melaksanakan Kitab-Nya, Al-Qur`an. Bukan bermotif ekonomi, sosial, politik, dan
lain-lainnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Bahwasanya dari hamba-hamba Allah, ada
orang-orang yang mereka itu bukan Nabi bukan pula syuhada. Mereka menyerupai
Nabi-Nabi dan syuhada-syuhada dalam kedudukannya di sisi Allah pada hari
Kiamat.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah mereka itu?
”Rasulullah bersabda, “Mereka adalah suatu kaum yang berkasih-kasihan karena
rahmat Allah, bukan karena hubungan kekeluargaan dan bukan pula karena harta
benda yang saling memberikan di antara mereka. Maka demi Allah, sesungguhnya
wajah-wajah mereka itu nur dan bahwa mereka itu di atas nur dan tidaklah mereka
gentar tatkala orang-orang merasa takut, dan tidaklah mereka bersedih hati
ketika manusia bersedih hati.” Kemudian Rasulullah membaca ayat, “Ketahuilah
bahwa kekasih-kekasih Allah itu tidak gentar dan tidak pula mereka itu
bersedih.” (HR.. Abu Dawud dari Umar bin Khaththab, Sunan Abu Dawud, bab Rahn,
juz 3 halaman 288 hadits nomor 3527).
Menetapi
Jama’ah Muslimin dan Imamnya adalah sesuai dengan wajibnya ada pimpinan bagi
umat Islam sedunia dan wajib adanya Jama’ah yang menyertainya. Dimana Muslimin
Kini Berada?
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Masa kenabian itu ada di tengah-tengah
kamu sekalian, adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila
Dia menghendaki untuk mengangkatnya. Selanjutnya adalah masa Khilafah yang
mengikuti jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah), adanya atas
kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia menghendaki untuk
mengangkatnya. Selanjutnya masa kerajaan yang menggigit (Mulkan Adlan), adanya
atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia menghendaki untuk
mengangkatnya. Setelah itu, masa
kerajaan yang menyombong (Mulkan Jabariyyah), adanya atas kehendak Allah,
kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia menghendaki untuk mengangkatnya.
Selanjutnya adalah masa Khilafah yang mengikuti jejak kenabian (Khilafah ‘ala
minhajin nubuwwah). Kemudian beliau (Nabi) diam.” (H.R. Ahmad dan Baihaqi dari
Nu’man bin Basyir dari Hudzaifah. Misykatul Mashabih: Bab Al-Indzar wa Tahdzir,
Al Maktabah Ar Rahimiah, Delhi, India, halaman 461. Musnad Ahmad, Juz 4 halaman
Dalam hadits ini disebutkan keadaan yang timbal balik, yaitu keadaan yang paling baik dan keadaan yang paling buruk, kemudian kembali dalam keadaan baik. Perubahan dari keadaan buruk menjadi keadaan baik kembali memerlukan perubahan yang bersifat mental, moral, dan ilmu. Apabila zaman kerajaan yang menyombong (Mulkan Jabariyyah), zaman yang paling buruk itu telah hilang, menurut hadis tersebut akan datang satu zaman yang disebut Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, kekhalifahan yang menempuh jejak kenabian.
Dalam hadits ini disebutkan keadaan yang timbal balik, yaitu keadaan yang paling baik dan keadaan yang paling buruk, kemudian kembali dalam keadaan baik. Perubahan dari keadaan buruk menjadi keadaan baik kembali memerlukan perubahan yang bersifat mental, moral, dan ilmu. Apabila zaman kerajaan yang menyombong (Mulkan Jabariyyah), zaman yang paling buruk itu telah hilang, menurut hadis tersebut akan datang satu zaman yang disebut Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, kekhalifahan yang menempuh jejak kenabian.
Mengenai
situasi perubahan dan peningkatan dari keadaan buruk sampai terwujudnya kembali
zaman Khilafah, tergambar dengan jelas pada hadits yang diriwayatkan oleh
Hudzaifah bin Al-Yaman radhiallahu 'anhu. Hadits ini menunjukkan, bahwa
satu-satunya jalan untuk mewujudkan Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah adalah
dengan melaksanakan perintah Rasulullah:
“Tetaplah engkau pada Jama’ah Muslimin
dan Imam bagi mereka.”
Kecuali,
bila peningkatan maksimal itu sudah tidak memungkinkan lagi -karena arus
kejabariyyahan masih menderas, baik yang langsung melanda fisik, maupun yang
melanda mental, yaitu meliputi bidang ilmu dan cara berpikir-, maka muslimin
diperintah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk: “Tinggalkan semua
cara-cara (firqah-firqah), yang mencerai-beraikan umat itu! ”Berdasarkan akhir
dari dua hadits:
sehingga
tidak ada lagi ciri-ciri muslimin dalam masyarakat. Ini artinya manusia akan
menghadapi kerusakan secara total, atau tegasnya Kiamat (wallahu ‘alam bish
shawwab).
Sekarang
timbul pertanyaan, “Dalam fase manakah kita dewasa ini?”Secara historis, dewasa
ini kita berada dalam fase Khilafah dan Jama’ah. Karena itu, janganlah kita
melewatkan fase tersebut, walau zaman yang sedang kita hadapi di dalamnya
terjadi berbagai kerusakan dan hal-hal lainnya yang merugikan kaum muslimin di
seluruh dunia. Insya Allah, kita belum sampai pada fase terakhir, yakni fase
i’tizal.
Dengan
memperhatikan sungguh-sungguh peredaran tarikh Islam sejalan dengan peredaran
sejarah dunia, Insya Allah, kenyataan menunjukkan mulkan-mulkan itu telah
berlalu. Di kalangan muslimin, mulkan-mulkan itu berakhir pada zaman
‘Utsmaniyyah di Turki dan Insya Allah, sesudah itu tidak ada lagi fungsi
semacam kerajaan dalam memimpin ummat Islam. Di dunia Barat pun kita jumpai
satu demi satu kerajaan atau monarki tumbang dan beralih pada demokrasi.
Mulkan-mulkan
atau kerajaan Islam yang ada pada saat ini hanya tinggal beberapa buah saja.
Dan lagi, bila ditinjau dari peredaran tarikh Islam itu sendiri,
kerajaan-kerajaan itu hanyalah sisa-sisa dari mulkan-mulkan yang disabdakan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian beralih ke zaman Khilafah,
yaitu Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Zaman ini adalah zaman furqan, pemisah.
Kalau
muslimin cenderung pada sistem Barat, mereka beralih pada demokrasi. Sebaliknya,
bila cenderung pada Islam, mereka akan
kembali pada apa yang dikehendaki Allah subhanahu wa ta'ala dan dicontohkan
oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu pada sistem kenabian atau
Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah
Tarikh
Ditetapinya Kembali Jama’ah Muslimin (Hizbullah)
Pada
awal tahun 1950-an, kubu-kubu masyarakat di Indonesia, baik muslim maupun
nonmuslim, gemar mendirikan banyak partai, sebagai pelaksanaan teori kepartaian
yang disebut sistem banyak partai (multipartai stelsel). Para pemuka muslimin
umumnya beranggapan bahwa satu-satunya alat untuk menghimpun muslimin dalam
usaha meraih cita-cita mereka, hanyalah dengan penerapan sistem kepartaian,
yang bayi pertamanya lahir dari pangkuan masyarakat Inggris.
Adapun
menghimpun masyarakat Islam dengan sistem Jama’ah dan Imamah masih terpendam
dan dilupakan dari alam pikiran mereka. Orang dapat meletakkan segala kesalahan
itu di atas pundak para ulama karena tidak mengungkapkan pengertian Jama’ah dan
Imamah menurut syari’at Islam kepada khalayak ramai, terutama kepada para
santrinya yang kelak akan menjadi pemuka ummat. Akan tetapi, kalau diselidiki
secara lebih mendalam, ada beberapa sebab yang menghalanginya sehingga mereka
menganggap bahwa hal itu tak mungkin dapat dilaksanakan, yaitu:
- Adanya guru ordonansi pada zaman Hindia Belanda yang
mewajibkan ulama untuk minta izin dulu kepada penguasa sebelum mereka
memberikan pelajaran agama kepada muridnya.
- Adanya penyaringan dalam menentukan pelajaran-pelajaran
yang boleh dan tidak boleh diajarkan.
- Adanya pengertian, terutama dari golongan orientalis,
bahwa masalah Jama’ah dan Imamah tergolong satu bab dalam bidang politik.
Akibatnya, apabila bab tersebut diajarkan kepada para pelajar di pondok
pesantren, pondok pesantren yang bersangkutan akan ditutup oleh pihak penjajah.
- Ada dalam genggaman Allah subhanahu wa ta'ala semata,
segala qudrat dan iradat yang Allah miliki.
Keempat
sebab tersebutlah yang menjadi alasan utama para ‘alim merasa terbelenggu untuk
memberikan pelajaran tentang beberapa bab dienul Islam, termasuk bab Jama’ah
dan Imarah atau Imamah, bab jinayat, dan babul jihad. Juga beberapa kitab
tentang Islam yang dicetak di luar negeri yang dapat membuka mata hati kaum
muslimin dan membangkitkan roh Islam untuk melawan kezhaliman serta
menyingkirkan fitnah penjajah. Itulah sebabnya pemerintah Hindia Belanda tidak
segan-segan untuk melarangnya.
Iklim
kolonial yang dirasakan sangat mencekam jiwa para alim itu pula yang akhirnya
menghasilkan suatu akibat besar yang merugikan kaum muslimin. Sebab, para
pemuka ummat waktu itu, bahkan setelah Indonesia merdeka, diliputi kabut gelap
yang cukup kelam dalam memahami arti Jama’ah dan Imamnya sepanjang syari’at
Islam, yang berlandaskan dalil-dalil qath’iy dari Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah.
Ketika
kami perdengarkan gerakan Islam yang disebut Hizbullah berbentuk Jama’ah dan
Imamnya pada 10 Dzulhijjah 1372 H. (20 Agustus 1953 M), reaksi pertama yang
muncul dari para alim itu ialah sikap acuh tak acuh dan secara sinis mereka
berkata, “Wah, apa-apaan pak Wali ini.
Kita mau dibawanya kemana? masa kita mau dibawa kembali ke zaman unta?”
Astaghfirullah. Seandainya sikap itu diucapkan oleh seorang ateis/komunis,
bahkan dengan sikap yang lebih buruk daripada sikap itu, dapat kita pahami. Akan
tetapi, reaksi tersebut justru muncul dari orang yang lidah dan bibirnya pernah
digerakkan untuk mengucapkan kalimat syahadat, bahkan tergolong dalam barisan
kader inti salah satu partai politik Islam. Sekalipun demikian, kalangan
Hizbullah menyambut reaksi tersebut dengan senyum. Hizbullah sama sekali tidak
marah, selain mengucapkan istighfar.
Bagaimana
pula reaksi para kader inti tersebut apabila mendengar salah satu atsar dari
Amirul Mukminin ‘Umar bin Khaththab, yang menegaskan bahwa:
إِنَّهُ لَا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ {رواه الدارمي: 1/79}
“Sesungguhnya tidak ada Islam melainkan dengan Jama’ah, dan tiada Jama’ah melainkan dengan Imarah, dan tiada Imarah melainkan dengan taat.” (H.R. Ad Darimy dari Ad Daary. Sunan Ad Darimy, bab Fi Dzihabil ‘Ilmi, Darul Fikr, Kairo, Msir, 1398 H/1976 M. Juz 1 halaman 79).
Akankah ia membantah ucapan ‘Umar bin Khaththab radiallahu ‘anhu itu? Masihkah mereka bersikap acuh tak acuh serta melontarkan kata-kata sinis? Apakah tindakan ‘Umar bin Khaththab, seandainya beliau masih berada di tengah-tengah kita? Mudah-mudahan mereka akan mendapat maaf karena memang belum mengerti.
إِنَّهُ لَا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ {رواه الدارمي: 1/79}
“Sesungguhnya tidak ada Islam melainkan dengan Jama’ah, dan tiada Jama’ah melainkan dengan Imarah, dan tiada Imarah melainkan dengan taat.” (H.R. Ad Darimy dari Ad Daary. Sunan Ad Darimy, bab Fi Dzihabil ‘Ilmi, Darul Fikr, Kairo, Msir, 1398 H/1976 M. Juz 1 halaman 79).
Akankah ia membantah ucapan ‘Umar bin Khaththab radiallahu ‘anhu itu? Masihkah mereka bersikap acuh tak acuh serta melontarkan kata-kata sinis? Apakah tindakan ‘Umar bin Khaththab, seandainya beliau masih berada di tengah-tengah kita? Mudah-mudahan mereka akan mendapat maaf karena memang belum mengerti.
Untuk
lebih memantapkan pengetian tentang Jama’ah dan kepentingannya bagi ummat
manusia, khususnya bagi muslimin, perhatikan sabda Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam berikut:
أَنَا آمُرُكُمْ بِخَمْسٍ اللَّهُ أَمَرَنِي بِهِنَّ بِالْجَمَاعَةِ وَبِالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَالْهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ الْجَمَاعَةِ قِيدَ شِبْرٍ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الْإِسْلَامِ مِنْ عُنُقِهِ إِلَى أَنْ يَرْجِعَ وَمَنْ دَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ فَهُوَ مِنْ جُثَا جَهَنَّمَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى قَالَ وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى وَزَعَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ فَادْعُوا الْمُسْلِمِينَ بِمَا سَمَّاهُمُ الْمُسْلِمِينَ الْمُؤْمِنِينَ عِبَادَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ {رواه أحمد}
“Aku perintahkan kepada kamu sekalian (kaum muslimin) dengan lima perkara, sebagaimana Allah telah memerintahkanku dengan lima perkara, yaitu berjama’ah, mendengar, taat, hijrah dan berjihad fie sabilillah. Barang siapa yang keluar dari Al Jama’ah sekadar sejengkal, sungguh terlepas ikatan Islam dari lehernya sampai ia kembali (tobat). Dan barang siapa yang menyeru dengan seruan jahiliyyah, ia termasuk orang yang bertekuk lutut dalam Jahanam.”Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, jika dia shaum dan shalat dan mengaku dirinya muslim? Sekalipun dia shaum dan shalat, serta mengaku dirinya seorang muslim. Maka panggilah olehmu orang-orang muslim itu dengan nama yang Allah telah berikan kepada mereka, “Al Muslimin, Al Mukminin, hamba-hamba Allah azza wa jalla.” (HR.. Ahmad dari Harits Al Asy’ari. Musnad Ahmad, juz 4 halaman 202, At Tirmidzi, Jami’ush Shahih, Kitabul Amtsal, bab maa ja-a fi Matsalish Shalati wash-Shiyami wash-Shadaqati, juz 5 halaman 148-149 hadits nomor 2863).
Dan beliau bersabda :
مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً {رواه مسلم}
“Barang siapa yang keluar dari tha’at dan berpisah dari Al-Jama’ah, lalu mati, maka matinya itu laksana mati jahiliyyah.” (H.R. Muslim dari Abu Hurairah. Shahih Muslim, Babul ‘Amri bi luzumil Jama’ah inda Zhuhuril Fitan, juz 2 halaman 135).
Dalam Riwayat Bukhari disebutkan:
فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً {رواه البخاري عن ابْنَ عَبَّاسٍ}
“Maka sesungguhnya barang siapa yang berpisah dari Al-Jama’ah sekadar sejengkal saja, kemudian ia mati, melainkan matinya seumpama mati jahiliyyah.” (HR. Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas. Shahih Bukhari, Kitabul Fitan, Bab Qaulin Nabi satarauna ba’di umurun tunkirunaha, juz 4 halaman 222).
Dari kedua hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ini saja, ditambah dengan atsar dari ‘Umar bin Khaththab, Insya Allah, telah cukup jelas betapa rapat, memadat, dan pentingnya hubungan antara Jama’ah dengan Al-Islam sebagai ad-dien dan muslimin.
أَنَا آمُرُكُمْ بِخَمْسٍ اللَّهُ أَمَرَنِي بِهِنَّ بِالْجَمَاعَةِ وَبِالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَالْهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ الْجَمَاعَةِ قِيدَ شِبْرٍ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الْإِسْلَامِ مِنْ عُنُقِهِ إِلَى أَنْ يَرْجِعَ وَمَنْ دَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ فَهُوَ مِنْ جُثَا جَهَنَّمَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى قَالَ وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى وَزَعَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ فَادْعُوا الْمُسْلِمِينَ بِمَا سَمَّاهُمُ الْمُسْلِمِينَ الْمُؤْمِنِينَ عِبَادَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ {رواه أحمد}
“Aku perintahkan kepada kamu sekalian (kaum muslimin) dengan lima perkara, sebagaimana Allah telah memerintahkanku dengan lima perkara, yaitu berjama’ah, mendengar, taat, hijrah dan berjihad fie sabilillah. Barang siapa yang keluar dari Al Jama’ah sekadar sejengkal, sungguh terlepas ikatan Islam dari lehernya sampai ia kembali (tobat). Dan barang siapa yang menyeru dengan seruan jahiliyyah, ia termasuk orang yang bertekuk lutut dalam Jahanam.”Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, jika dia shaum dan shalat dan mengaku dirinya muslim? Sekalipun dia shaum dan shalat, serta mengaku dirinya seorang muslim. Maka panggilah olehmu orang-orang muslim itu dengan nama yang Allah telah berikan kepada mereka, “Al Muslimin, Al Mukminin, hamba-hamba Allah azza wa jalla.” (HR.. Ahmad dari Harits Al Asy’ari. Musnad Ahmad, juz 4 halaman 202, At Tirmidzi, Jami’ush Shahih, Kitabul Amtsal, bab maa ja-a fi Matsalish Shalati wash-Shiyami wash-Shadaqati, juz 5 halaman 148-149 hadits nomor 2863).
Dan beliau bersabda :
مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً {رواه مسلم}
“Barang siapa yang keluar dari tha’at dan berpisah dari Al-Jama’ah, lalu mati, maka matinya itu laksana mati jahiliyyah.” (H.R. Muslim dari Abu Hurairah. Shahih Muslim, Babul ‘Amri bi luzumil Jama’ah inda Zhuhuril Fitan, juz 2 halaman 135).
Dalam Riwayat Bukhari disebutkan:
فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً {رواه البخاري عن ابْنَ عَبَّاسٍ}
“Maka sesungguhnya barang siapa yang berpisah dari Al-Jama’ah sekadar sejengkal saja, kemudian ia mati, melainkan matinya seumpama mati jahiliyyah.” (HR. Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas. Shahih Bukhari, Kitabul Fitan, Bab Qaulin Nabi satarauna ba’di umurun tunkirunaha, juz 4 halaman 222).
Dari kedua hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ini saja, ditambah dengan atsar dari ‘Umar bin Khaththab, Insya Allah, telah cukup jelas betapa rapat, memadat, dan pentingnya hubungan antara Jama’ah dengan Al-Islam sebagai ad-dien dan muslimin.
Hubungan
Jama’ah dengan nama Hizbullah
Sekilas
penjelasan tentang hubungan antara Jama’ah dan Hizbullah adalah Gerakan Islam
“Hizbullah” berbentuk Jama’ah. Hizbullah bukanlah partai, yang biangnya berasal
dari masyarakat Inggris, kemudian berkembang biak ke seluruh Amerika Serikat
lalu menyusup ke negeri-negeri jajahan Barat, termasuk Indonesia pada masa
pejajahan Hindia Belanda.
Untuk
menghindari kesalahpahaman pengertiannya, kami akan menjelaskan penggunaan kata
Hizbullah oleh sebagian kaum muslimin di Indonesia, khususnya kaum muslimin
yang berada di pulau Jawa, sekaligus untuk mengetahui waktu dan perjuangan yang
tepat dari Hizbullah. Bagi mereka yang belum memahami arti Hizbullah, dalam
benaknya akan terbayang laskar atau tentara. Sebab, kata atau sebutan Hizbullah
pernah dipergunakan sebagaimana laskar dalam perjuangan secara fisik melawan
serdadu penjajah Belanda dan Inggris. Bahkan, pada akhir kekuasaan bala tentara
pendudukan Jepang di Indonesia di samping pasukan-pasukan Pembela Tanah Air (PETA),
ada juga kader-kader inti yang mendapat latihan di Cibarusa, Bogor, khusus bagi
para pemuda Muslimin, yang diberi nama Hizbullah. Seorang di antara pelatihnya,
kalau kami tidak khilaf, adalah Mr. Kasman Singodimedjo dari PETA. Karena
itulah, pengertian Hizbullah selalu dibayangkan sebagai laskar atau tentara.
Hizbullah
pada Akhir Masa Kolonial Belanda
Pada
Perang Dunia I (1914-1918), Belanda lebih suka untuk tidak terlibat dalam
kancah peperangan dan bersikap netral. Namun, dalam Perang Dunia II (1939
–1945), negeri ini ikut terlibat walaupun mereka lebih suka bersikap netral.
Pada
perang dunia II, strategi Jerman di bawah pimpinan kaum Nazi, Hitler,
mempergunakan taktik perang kilat. Secara mendadak pasukan Jerman menyerbu
teritorial kerajaan Belanda, kemudian meneruskan ke wilayah Belgia secara
cepat, kemudian wilayah perang Perancis, dan bila mungkin, menyeberangi Selat
Kanal untuk menyerbu wilayah Inggris.
Karena
tidak siap berperang, lagi pula kalau dibanding dengan lawannya, negeri Belanda
hanyalah merupakan satu negeri yang kerdil saja, dalam waktu lima hari saja,
Belanda menyerah kalah. Kerajaan Belanda tidak lagi terdapat di daratan Eropa.
Pemerintahnya lari ke sahabat kentalnya, yaitu Inggris. Kapal perang dan kapal
dagangnya yang dapat diselamatkan, dilarikan ke perairan-perairan tetangganya.
Selama berkecamuknya Perang Dunia ke-II, tenaga lautan Belanda itu berada di
bawah komando Inggris. Wilayah Belanda
yang tertinggal hanya di negeri-negeri jajahannya, yaitu Hindia Belanda,
Indonesia sekarang, dan Suriname.
Dalam
situasi seperti itu ditambah bayangan menggelembungnya suasana perang di lautan
Pasifik, karena Angkatan Darat Jepang telah berada di daratan Cina menuju
Selatan, pemerintah Hindia Belanda semakin gelisah, cemas, dan diliputi banyak
penyesalan. Mereka merasa sesak napas, tidak terkecuali orang-orang yang berada
di Indonesia sebagai tanah jajahannya, bila Hindia Belanda terseret dalam
kancah peperangan, dapatkah Hindia Belanda dipertahankan? Politik kolonial
Belanda yang sangat kolot dan benar-benar reaksioner tidak memungkinkan mereka
untuk merasa aman dan tenteram lahir dan batin, apalagi menghadapi perang dunia
secara langsung. Selain itu, pribadi Belanda yang berkulit hitam maupun
berkulit putih, tidak dibangun untuk menghadapi musuh luar negeri, melainkan
hanyalah menumpas perlawanan penduduk belaka, sekiranya itu terjadi.
Jadi,
Belanda sama sekali tidak memiliki kekuatan dan kemampuan untuk berhadapan
dengan kekuatan bala tentara Jepang. Belanda dalam situasi sangat kritis.
Rakyat Indonesia sendiri, yang sekian lama hidup dalam penindasan serta
pemerasan Belanda, tidak dapat diandalkan untuk membantu mereka.
Patut
dicatat, bahwa setiap pemerintahan yang tidak pandai dan tidak memperhatikan
nasib rakyat banyak, tidak mencerminkan ketulusan hati nurani, apalagi jika
beritikad buruk dengan tindakan zhalim, kejam, kekerasan, dan menindas, lebih
buruk lagi jika rakyat dianggap sebagai musuh, maka lambat atau cepat akan
ditinggalkan oleh rakyatnya.
Karena
itu menjelang runtuhnya kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia, pemerintah
Hindia Belanda mengeluarkan perintah untuk membekukan segala perjuangan rakyat,
terutama dalam bidang politik, termasuk larangan mengadakan rapat-rapat atau
pertemuan. Saat-saat akhir sejarah kolonial Belanda itulah, pengertian
Hizbullah untuk pertama kalinya kami dengar, namun baru diberikan maknanya
secara ringkas, yaitu kaum yang berpihak kepada Allah. Kami mengimani dan sekuat tenaga untuk mengamalkan
maksud-maksudnya. (Hizbullah adalah kaum yang berpihak kepada Allah, termaktub
dalam Al-Qur`an, surat Al-Mujadalah ayat 22 dan Al-Maidah ayat 56). Kami
mendengar kata Hizbullah dari Syeikh Muhammad Ma’sum, ahli hadits di
Yogyakarta, dalam suatu silaturrahmi di kediaman Ustadz Abdul Gaffar, yang ketika
itu menjabat Direktur Madrasah Mu’alimin Wal Fajri di Karangkajen,
Yogyakarta. Selain ketiga orang tersebut
(Wali Al-Fattaah, Muhammad Ma’sum dan Abdul Gaffar/pen), ada pula ikhwan
lainnya, di antaranya ustadz Suhadi, ayah dr. R.H. Su’dan dan Muhammad Ma’sum
seorang awam biasa yang sangat gigih berjuang untuk Islam.
Sekiranya
pertemuan tersebut diketahui oleh pihak kepolisian Belanda, kemudian digerebeg
karena dianggap melanggar peraturan (Belanda) yang melarang rapat atau
pertemuan, walaupun pengajian yang termasuk tugas dien, kami sudah memiliki
jawabannya, bahwa kami adalah Hizbullah, kaum yang berpihak kepada ALLAH
subhanahu wa ta'ala. Pada waktu itu pengertian yang lebih luas atas kata
Hizbullah belum diberikan, demikian juga tentang dalil-dalilnya. Akan tetapi,
alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ketika kolonialisme Belanda mengakhiri
sejarahnya di Indonesia, Hizbullah tidak mendapat kesulitan apa pun. Peraturan
larangan mengadakan pertemuan-pertemuan oleh pihak Belanda tetap ada, tetapi
karena Allah dan pertolongan-Nya, Hizbullah secara rutin mampu mengadakan
pertemuan yang sifat serta isinya pengajian-pengajian.Itulah pokok perkenalan
kita untuk pertama kalinya dengan kata Hizbullah, yang selanjutnya, Insya Allah
kita termasuk pula di dalamnya. Masya Allah, la haula wa la quwwata illa
billah!
Hizbullah
pada Zaman Jepang
Perkenalan
kedua kali dengan kata Hizbullah terjadi pada saat-saat akhir masa pembentukan
bala tentara kerajaan Jepang yang bernama Hizbullah. Bala tentara ini mendapat
latihan kemiliteran di Cibarusa Bogor.
Kata
Hizbullah pertama kalinya diusulkan kepada pemerintah pendudukan bala tentara
Jepang di Jawa yang berkedudukan di Jakarta, gunsei kanbu. Pada saat itu,
Hizbullah diusulkan sebagai nama pasukan beranggotakan para pemuda muslimin
yang hendak dibentuk. Tujuannya adalah
setelah runtuhnya kekuasaan kerajaan Jepang dalam Perang Dunia II, dalam
menghadapi negara-negara sekutu, khususnya Amerika Serikat, kaum muslimin
hendaknya tidak tinggal diam, bahkan bila mungkin memelopori untuk mengangkat
senjata. Pada saat itu mulai terbayang usaha meneruskan perjuangan kemerdekaan
Indonesia. Delegasi yang dikirim oleh Hizbullah untuk memajukan konsepsi serta
gagasannya kepada gunsei kanbu ialah kami sendiri disertai Ustadz Sulaiman
Masulili atau Penawi Tengah, yang kini masih berada di tengah-tengah kita
dan tinggal di Jakarta.*
Pada
waktu itu kami tidak mengungkapkan maksud dibentuknya Hizbullah, sebab, bila
maksud sepenting itu telah tercium oleh pihak Jepang, dapat diperkirakan, bahwa
usulan itu bukan hanya ditolak, bahkan tidak mustahil kami akan dijebloskan ke
dalam penjara. Hal ini karena rezim fasisme Jepang yang sangat agresif itu
sedang kalap karena terjepit oleh pihak musuhnya, terutama pihak Amerika
Serikat sehingga kami akan dianggap meremehkan kekuatan mereka. Di samping itu,
mereka merasa khawatir bila kami akan meneruskan perjuangan kemerdekaan bagi
nusa dan bangsa Indonesia yang umumnya terdiri dari kaum muslimin.
Alhamdulillah,
selama pendudukan bala tentara Kerajaan Jepang di Indonesia, kami dalam keadaan
aman dan usulan kami pun disetujui. ini terbukti dengan adanya latihan-latihan
kader inti di Cibarusa, Bogor.
Hizbullah
pada Masa Kemerdekaan
Perkenalan
ketiga dengan kata Hizbullah terjadi beberapa bulan sesudah proklamasi kemerdekaan
Indonesia, yakni dengan adanya hasil keputusan Muktamar Umat Islam di Aula
Mu’alimin Karangkajen, Yogyakarta. Ketika itu diputuskan untuk membentuk
organisasi Masyumi pada tanggal 7 November 1945 M, yang kemudian beralih
menjadi partai politik.
Kata
Hizbullah dipergunakan sebagai nama laskar Masyumi, yang terdiri para pemuda
muslimin, yang berniat mengusir fitnah penjajahan dengan mengangkat senjata
secara fisik. Di samping itu, ada pula laskar lain dari berbagai golongan yang
menggunakan nama Hizbullah. Kata Hizbullah sebagai nama laskar yang berjuang
secara fisik terus berjalan, hingga terjadinya penyatuan semua laskar yang ada,
dengan dibentuknya tentara resmi dari Republik Indonesia dalam rangka
mewujudkan satu ketentaraan saja. Hizbullah, Kaum yang Berpihak kepada ALLAH.
Setelah
mengenal kata Hizbullah dengan makna, pertama sebagai suatu “kaum yang berpihak
kepada Allah subhanahu wa ta'ala”. Kedua, sebagai “kader inti ketentaraan “
yang mendapat latihan Jepang di Cibarusa, Bogor. Ketiga, sebagai nama laskar
dari pemuda-pemuda Muslimin yang berjuang secara fisik pada masa revolusi
kemerdekaan Indonesia. Kini tibalah saatnya untuk mengenal kalimat Hizbullah,
yang sejak 10 Dzulhijjah 1372 H. (20 Agustus 1953 M.) hingga sekarang ini
berada dalam suatu gerakan Islam dengan nama dan makna yang satu, yaitu suatu
kaum yang berpihak kepada Allah sebagaimana disebutkan dalam kitab suci
Al-Qur`an,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ(54)إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ(55)وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ(56)
“Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu murtad dari dien-Nya, maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia ridlai mereka dan mereka pun ridla kepada-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap mukminin dan keras tegas terhadap kafirin. Mereka bersungguh-sungguh di jalan Allah dan tidak takut terhadap celaan manusia yang mencela, demikian itu ialah nikmat Allah, yang Dia berikan kepada siapa yang Dia kehendaki, karena Allah itu Mahaluas pemberian-Nya lagi Mahamengetahui. “Sesungguhnya pimpinan kamu adalah Allah, Rasul-Nya dan mukminin yang menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat dan mereka ruku, tunduk kepada perintah Allah. “Dan barang siapa menjadikan Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang beriman sebagai pimpinan, maka sesungguhnya itulah Hizbullah - Kaum yang berpihak kepada Allah - Hizbullah itulah yang jaya.’’ (QS. Al-Maidah: 54–56)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ(54)إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ(55)وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ(56)
“Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu murtad dari dien-Nya, maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia ridlai mereka dan mereka pun ridla kepada-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap mukminin dan keras tegas terhadap kafirin. Mereka bersungguh-sungguh di jalan Allah dan tidak takut terhadap celaan manusia yang mencela, demikian itu ialah nikmat Allah, yang Dia berikan kepada siapa yang Dia kehendaki, karena Allah itu Mahaluas pemberian-Nya lagi Mahamengetahui. “Sesungguhnya pimpinan kamu adalah Allah, Rasul-Nya dan mukminin yang menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat dan mereka ruku, tunduk kepada perintah Allah. “Dan barang siapa menjadikan Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang beriman sebagai pimpinan, maka sesungguhnya itulah Hizbullah - Kaum yang berpihak kepada Allah - Hizbullah itulah yang jaya.’’ (QS. Al-Maidah: 54–56)
Selanjutnya
kata Hizbullah juga disebutkan dalam surat Al-Mujadalah, ayat 21-22:
كَتَبَ اللَّهُ لَأَغْلِبَنَّ أَنَا وَرُسُلِي إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ(21)لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ(22)
“Allah telah menetapkan, sesungguhnya kejayaan itu bagi-Ku dan Rasul-rasul-Ku. Sesungguhnya Allah itu Mahakuat lagi Mahaperkasa. Tidak engkau dapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian itu saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun mereka itu adalah bapak-bapak mereka atau anak-anak mereka, atau saudara-saudara mereka, atau keluarga mereka. Mereka (orang yang beriman) itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan iman ke dalam hati mereka, dan Allah menguatkan mereka dengan ruh daripada-Nya, dan memasukkan mereka itu ke dalam Jannah, yang mengalir air sungai di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya. Allah ridla kepada mereka dan mereka ridla kepada-Nya. Mereka itulah Hizbullah –kaum yang berpihak kepada Allah. Ketahuilah bahwasanya Hizbullah itulah yang mendapat kebahagiaan.” (QS. Al-Mujadalah: 21–22)
Adapun kebalikan Hizbullah disebutkan dalam surat Al-Mujadalah ayat 19 - 20:
اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَأَنْسَاهُمْ ذِكْرَ اللَّهِ أُولَئِكَ حِزْبُ الشَّيْطَانِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ الشَّيْطَانِ هُمُ الْخَاسِرُون َ(19) إِنَّ الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ فِي الْأَذَلِّينَ(20)
“Setan telah berkuasa atas mereka, lalu ia jadikan mereka lupa mengingat Allah, mereka itu adalah Hizbusysyaithan. Ketahuilah sesungguhnya Hizbusysyaithan itulah orang-orang yang merugi. Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, mereka dalam golongan orang-orang yang sangat hina.” (QS. Al-Mujadalah: 19 – 20)
كَتَبَ اللَّهُ لَأَغْلِبَنَّ أَنَا وَرُسُلِي إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ(21)لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ(22)
“Allah telah menetapkan, sesungguhnya kejayaan itu bagi-Ku dan Rasul-rasul-Ku. Sesungguhnya Allah itu Mahakuat lagi Mahaperkasa. Tidak engkau dapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian itu saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun mereka itu adalah bapak-bapak mereka atau anak-anak mereka, atau saudara-saudara mereka, atau keluarga mereka. Mereka (orang yang beriman) itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan iman ke dalam hati mereka, dan Allah menguatkan mereka dengan ruh daripada-Nya, dan memasukkan mereka itu ke dalam Jannah, yang mengalir air sungai di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya. Allah ridla kepada mereka dan mereka ridla kepada-Nya. Mereka itulah Hizbullah –kaum yang berpihak kepada Allah. Ketahuilah bahwasanya Hizbullah itulah yang mendapat kebahagiaan.” (QS. Al-Mujadalah: 21–22)
Adapun kebalikan Hizbullah disebutkan dalam surat Al-Mujadalah ayat 19 - 20:
اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَأَنْسَاهُمْ ذِكْرَ اللَّهِ أُولَئِكَ حِزْبُ الشَّيْطَانِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ الشَّيْطَانِ هُمُ الْخَاسِرُون َ(19) إِنَّ الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ فِي الْأَذَلِّينَ(20)
“Setan telah berkuasa atas mereka, lalu ia jadikan mereka lupa mengingat Allah, mereka itu adalah Hizbusysyaithan. Ketahuilah sesungguhnya Hizbusysyaithan itulah orang-orang yang merugi. Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, mereka dalam golongan orang-orang yang sangat hina.” (QS. Al-Mujadalah: 19 – 20)
Semua
dalil di atas telah menjelaskan arti atau makna Hizbullah dengan gamblang.
Hizbullah bukanlah suatu laskar, bukan pula suatu partai politik atau
perserikatan dan perkumpulan biasa, juga bukan semacam dewan-dewanan yang lahir
dari karya pikir manusia. Hizbullah adalah suatu kaum atau umat yang
berpihak, tunduk, patuh kepada Allah dan
Rasul-Nya. Mereka itulah Al-Jama’ah, sebagaimana yang dimaksudkan oleh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka itulah Jama'ah Muslimin, Insya
Allah. Allahumma Amin.
Untuk
mengetahui bagaimana roh Hizbullah yang pertama kali diperkenalkan di gedung
Adhuc Staat, Jalan Taman Surapati nomor 1. Menteng Raya Jakarta (sekarang
gedung Bappenas), pada hari raya Iedul Adha, 10 Dzulhijjah 1372 H. (20 Agustus
1953 M), berikut ini dicantumkan ringkasnya:
Hizbullah
berpedoman pada Al-Qur`an dan Sunnatu Rasulillah. Hizbullah berjuang karena
Allah, dengan Allah, untuk Allah, bersama-sama segenap kaum muslimin menuju
mardlatillah.
Dalam
menghadapi suasana yang makin bergolak, Hizbullah menetapkan langkah-langkah
asasi (strategis) sebagai berikut:
Pandangan,
pendirian, dan sikap hidup muslim: Yakin, bahwa berpegang teguh dan taat
melaksanakan pedoman Al-Qur`an dan Sunnatu Rasulillah adalah sumber segala
kejayaan dan kebahagiaan.
Ukhuwah
islamiyyah: Kesatuan bulat bagi seluruh muslimin yang tidak dapat dibagi-bagi,
dipisah-pisahkan, apalagi diadudombakan, sebagai perwujudan ukhuwah islamiyah,
baik dalam kemudahan atau dalam kesukaran dan perjuangan.
Kemasyarakatan:
Berpihak pada kaum dlaif (lemah, tertindas, teraniaya), menegakkan keadilan.
Sikap
terhadap lain-lain golongan: Tegak berdiri dalam lingkungan kaum muslimin di
tengah-tengah antar golongan, menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada kebajikan dan mencegah perbuatan
munkar.
Antara
bangsa-bangsa: Menolak setiap fitnah penjajahan dan kezhaliman suatu bangsa
atas bangsa lain, dan mengusahakan ta’aruf antar bangsa.
* Ahmad Sulaiman
Masulili wafat pada hari Selasa, 16 Dzulqa’dah 1409 H/Senin 19 Juni 1969 M. di
Cempaka Putih, Jakarta, jam 16.15 wib. Beliau lahir di Luwuk, Sulawesi Selatan,
1 Juli 1916 M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar