Kamis, 09 April 2015

Usaha Penyatuan Muslimin Setelah Keruntuhan Turky Utsmaniyyah



Dipublikasikan Oleh: Agus Zainal Asikin

Usaha penyatuan muslimin kembali setelah keruntuhan Utsmaniyyah, yaitu setelah Perang Dunia I, pernah dilakukan oleh kaum muslimin. Di India, Syaukat Ali dan saudaranya, Muhammad Ali, berusaha untuk mengisi kevakuman kepemimpinan muslimin, yang disebut oleh pihak Barat sebagai, “Gerakan mendirikan khilafah kembali (Khilafah Movement)*.” Akan tetapi, karena pemahamannya politik, usaha tersebut menemui jalan buntu. 

Di Indonesia, usaha gerakan penyatuan muslimin dilakukan oleh pemuka kaum muslimin bersama Wali Al Fattaah. Akan tetapi bersifat temporer. Inisiatif dari H Oemar Said Tjokroaminoto (1299-1352 H/1882-1934 M), dalam satu kongres yang bersifat Nasional di Surabaya pada bulan Jumadil Awal 1343 H/Desember 1924 M. Hal ini menunjukkan adanya satu rasa penyatuan muslimin. Usaha tersebut diikuti dengan pengiriman utusan muslimin Indonesia ke Kongres Islam sedunia di Mekkah, Saudi Arabia, pada bulan Dzulqa’dah 1334 H (Juni 1926) atas prakarsa Raja Ibnu Sa’ud**. Utusan dari Indonesia adalah Oemar Said Tjokroaminoto dari Syarekat Islam dan K. H. Mas Mansur dari Muhammadiyah. Keduanya menghadiri kongres tersebut bersama peserta muslimin dari berbagai negeri Islam dan hadir pula saat itu Abdul Karim Amrullah, ayah Hamka*. Akan tetapi, usaha kongres tersebut lagi-lagi mengalami kebuntuan karena para peserta terkesan memusyawarahkan masalah politik. Hal ini ditolak Saudi Arabia yang menegaskan bahwa kongres tersebut hanya membicarakan masalah Islam dan muslimin, bukan politik. Akhirnya, para peserta kongres pun pulang ke tanah airnya masing-masing dengan tidak berhasil mewujudkan apa yang menjadi cita-cita mereka. 

Segala usaha tersebut sebenarnya ditujukan untuk mengisi kevakuman kepemimpinan setelah berakhirnya Mulkan Utsmaniyah. Hal yang menunjukkan, bahwa ummat Islam lazimnya memiliki pimpinan dalam menghadapi dunia Barat atau Timur dan tujuan politik lainnya. Akan tetapi alasan-alasan itu tidaklah kuat. Alasan yang kuat adalah kehendak untuk melaksanakan Islam secara kaaffah dalam memenuhi perintah Allah berdasarkan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang terlepas sama sekali dari ikatan dan tujuan politik.

Ditetapinya Kembali Wadah Kesatuan Muslimin
Jama’ah Muslimin Ditetapi Kembali Setelah Muktamar Masyumi IV di Yogyakarta dan Kongres Muslimin Seluruh Indonesia (1-5 Rabiul Awal 1369 H/20-25 Desember 1949 M), kami mengadakan pertemuan di kediaman kami di Margo Kridonggo No.16 Yogyakarta. Pertemuan itu antara lain dihadiri oleh Kyai Muhammad Ma’sum, seorang ‘alim ahli hadits, M. Saleh Suaedy, dan Mirza Sidharta dari kalangan pemuda, serta para ikhwan lainnya.

Masalah yang dibicarakan adalah penyatuan muslimin secara apa yang tampak pada sistem kepartaian. Namun, pertemuan tersebut, belum mampu menghasilkan cara terbaik untuk menghimpun umat Islam sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Sebagian ikhwan yang hadir mengusulkan untuk mendirikan partai politik. Namun, usul tersebut tidak dapat kami terima, sebab pendirian partai politik hanyalah mencari kedudukan melalui jalan lain, dan ini tidak ada artinya dalam ad-Dien. Dan jika mendirikan partai politik sesudah ada partai politik Islam, ini bukan lagi masalah prinsip, tetapi masalah kursi.

Kami terus mencari serta meneliti tentang cara Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menghimpun muslimin dalam memperhambakan diri kepada Allah subhanahu wa ta'ala dengan ikhlas dan bersih dari dorongan atau pengaruh politik. Hal ini ditujukan untuk persaksian sejarah, tidak ada maksud lain. Allah mengetahuinya. Demikian juga para ikhwan (rekan seperjuangan Wali Al Fattaah dalam pergerakan Islam dan kemerdekaan/pen) yang masih hidup pun dapat menyaksikan jalan sejarahnya.

Alhamdulillah, dengan pertolongan Allah subhanahu wa ta'ala, pada awal tahun 1372 H (1953 M), mulai tampak bintik-bintik terang. Allah menunjukkan pengertian kepada kami tentang bagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam  bersama-sama umatnya berhimpun mengamalkan wahyu-wahyu Allah dan bentuk kesatuan serta wujud kemasyarakatan Islam.

Dengan takdir serta izin Allah semata, setelah berulang kali didiskusikan dan dimusyawarahkan, pada tanggal 10 Dzulhijjah 1372 H. (20 Agustus 1953 M), ditetapilah Jama'ah Muslimin (Hizbullah) yang sebelumnya bernama Gerakan Islam “Hizbullah”. Ini bukan organisasi, partai, perserikatan dan bentuk lain yang sifatnya politis, melainkan berbentuk Jama’ah.

Ditetapinya kembali Jama'ah Muslimin (Hizbullah) ini merupakan perwujudan ketaatan dalam memenuhi perintah Allah subhanahu wa ta'ala, yang disebutkan dalam Al-Qur`an:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa, dan janganlah kamu mati, melainkan dalam keadaan kamu berserah diri (kepada Allah); Dan berpegang teguhlah kamu pada tali Allah (Al-Qur`an) seraya berjama’ah, dan janganlah kamu berfirqah-firqah. Dan ingatlah oleh kamu akan nikmat Allah, yaitu ketika kamu bermusuh-musuhan, lalu Allah melunakkan hati-hati kamu; kemudian dengan nikmat itu kamu menjadi bersaudara, padahal kamu telah berada di tepi jurang Neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu sekalian, mudah-mudahan kamu mendapat petunjuk.” (Q.S. Ali ‘Imran: 102-103)

Juga hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyebutkan, “…Tetaplah engkau pada Jama'ah Muslimin dan Imam mereka!" Sebagaimana hadits Nabi yang lengkapnya sbb:

“Dari Hudzaifah bin Al-Yaman radliallahu 'anhu, ia berkata, ”Orang-orang bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau dari hal keburukan karena aku khawatir keburukan itu akan menimpa diriku. Aku bertanya: ”Ya Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu berada dalam kejahiliyahan dan keburukan, lalu Allah mendatangkan kebaikan ini (Islam) kepada kami. Apakah sesudah kebaikan ini, akan ada lagi keburukan?” Rasul menjawab: “Ya!” Aku bertanya: “Dan apakah sesudah keburukan itu ada lagi kebaikan?” Rasul menjawab: “Ya, dan di dalamnya ada kekeruhan (dakhan).”Aku bertanya: “Apakah kekeruhan itu?” Rasul menjawab: “Yaitu orang-orang yang mengambil petunjuk bukan dengan petunjukku. Dalam Riwayat Muslim, ”Kaum yang berperilaku bukan dari sunnahku dan orang-orang yang mengambil petunjuk bukan dengan petunjukku, engkau ketahui dari mereka itu dan engkau ingkari.” Aku bertanya: “Apakah sesudah kebaikan itu akan ada lagi keburukan?” Rasul menjawab: “Ya, yaitu adanya penyeru-penyeru yang mengajak ke pintu-pintu Jahannam. Barang siapa mengikuti ajakan mereka, maka mereka melemparkannya ke dalam Jahannam itu” Aku bertanya: “Ya Rasulullah, tunjukkanlah sifat mereka itu kepada kami.” Rasul menjawab: “Mereka itu dari kulit-kulit kita dan berbicara menurut lidah-lidah (bahasa) kita.” Aku bertanya: “Apakah yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menjumpai keadaan seperti itu?” Rasul bersabda: “Tetaplah engkau pada Jama'ah Muslimin dan Imam mereka!” Aku bertanya: “Jika tidak ada bagi mereka Jama’ah dan Imam?” Rasul bersabda: “Hendaklah engkau keluar menjauhi firqah-firqah itu semuanya, walaupun engkau harus  menggigit akar kayu hingga kematian mendatangimu, engkau tetap demikian.”(HR. Bukhari dan Muslim. Shahih Bukhari, Kitabul Fitan, bab Kaifa Amru Idza lam Takun Jama’atun, juz 4 halaman 225. Shahih Muslim, Kitabul Imarah, Bab Amr biluzumil Jama’ah Inda Zhuhuril Fitan, juz 2 halaman 134-135. Sunan Ibnu Majah, Kitabul Fitan, juz 2 halaman 1317, hadits nomor 3979).

Surat Ali ‘Imran ayat 103:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

Japat dijadikan suatu pegangan bahwa Allah sendiri yang memperingatkan kepada muslimin, sejak diturunkannya ayat tersebut sampai hari kiamat. Peringatan tersebut ialah agar muslimin berpegang teguh pada tali Allah, yaitu Al-Qur`an, dalam keadaan “Jami’an” dan jangan berpecah belah.

Sebagian mufasirin dengan tegas menjelaskan jami’an dengan berjama’ah. Itulah sebabnya kata jami’an diikuti kalimat walaa tafarraquu yang artinya, “Jangan kamu berpecah belah.” Namun, sekarang ini jami’an hanya diartikan kamu sekalian, bukan dalam arti keadaan berjama’ah, sehingga pengertian kalimat walaa tafarraquu menjadi keliru. Jadi, ada kata-kata, “Janganlah berpecah belah, bergolong-golongan, atau terpisah satu sama lain, berfirqah-firqah (yang merupakan mahfum mukhallafah atau larangan sebaliknya dari perintah wajibnya berjama’ah).” 

Jama’ah tidak hanya jama’ah shalat atau jama’ah haji saja, melainkan kebersamaan kaum muslimin dengan satu Imamnya. Kebersamaan kaum muslimin secara berkelompok-kelompok bukan merupakan Jama’ah yang dicontohkan  Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

Surat Ali Imran ayat 102-103 dan hadits Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam di atas mengandung satu kesatuan muslimin dengan satu pimpinan pula. Kalau menurut teori umum, ini berarti menyatupadukan muslimin sebagaimana yang dikehendaki Allah, seperti yang digambarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam haditsnya: 
Perumpamaan mukminin dalam belas kasih dan hubungan mereka bagaikan satu tubuh. Apabila satu     anggota tubuh menderita, menjalarlah penderitaan itu ke seluruh tubuh sehingga tidak bisa tidur dan (merasa) panas.” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Nu’man bin Basyir radliallahu 'anhu; Shahih Bukhari, Darul Ma’rifah, Beirut, 1978 bab Rahmatunnasi wal Baha-im, juz 4 halaman 53. Shahih Muslim, bab Tarahumul mu’minin wa ta’athufihim wa ta’adlu dzihim, juz 2 halaman 431)
Rasulullah pun menyatakan bahwa ikatan muslimin itu bagaikan bangunan yang saling menguatkan. Beliau bersabda: “Seorang mukmin pada sesama mukmin itu bagaikan bangunan yang sebagian menguatkan bagian lainnya.” (HR.. Bukhari dan Muslim dari Abu Musa radliallahu 'anhu. Shahih Bukhari, bab Ta’awanul mu’minin ba’dhuhum ba’dha, juz 4 halaman 55, Shahih Muslim, bab Tarahumul mu’minin wa ta’athufihim wa ta’adlu dihim, juz 2 halaman 431).

Hadits ini menunjukkan bahwa Jama’ah Muslimin adalah bersatunya kaum muslimin laksana satu tubuh. Jika sebagian muslimin menderita, akan dirasakan penderitaannya itu oleh seluruh kaum muslimin.

Firman Allah subhanahu wa ta'ala dan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yang memerintahkan kaum muslimin untuk menetapi satu Jama’ah dengan satu Imamnya juga mengandung satu arti konsolidasi. Kaum muslimin yang kini telah terpecah-belah menjadi firqah-firqah -dengan berbagai corak, seperti politik, sosial, dan ubudiyah-, agar menjadi satu ummat. Satu Jama’ah dengan motif mencari rahmat Allah, ridla Allah, memenuhi perintah Allah dan Rasul-Nya, serta melaksanakan Kitab-Nya, Al-Qur`an. Bukan bermotif ekonomi, sosial, politik, dan lain-lainnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Bahwasanya dari hamba-hamba Allah, ada orang-orang yang mereka itu bukan Nabi bukan pula syuhada. Mereka menyerupai Nabi-Nabi dan syuhada-syuhada dalam kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah mereka itu? ”Rasulullah bersabda, “Mereka adalah suatu kaum yang berkasih-kasihan karena rahmat Allah, bukan karena hubungan kekeluargaan dan bukan pula karena harta benda yang saling memberikan di antara mereka. Maka demi Allah, sesungguhnya wajah-wajah mereka itu nur dan bahwa mereka itu di atas nur dan tidaklah mereka gentar tatkala orang-orang merasa takut, dan tidaklah mereka bersedih hati ketika manusia bersedih hati.” Kemudian Rasulullah membaca ayat, “Ketahuilah bahwa kekasih-kekasih Allah itu tidak gentar dan tidak pula mereka itu bersedih.” (HR.. Abu Dawud dari Umar bin Khaththab, Sunan Abu Dawud, bab Rahn, juz 3 halaman 288 hadits nomor 3527).

Menetapi Jama’ah Muslimin dan Imamnya adalah sesuai dengan wajibnya ada pimpinan bagi umat Islam sedunia dan wajib adanya Jama’ah yang menyertainya. Dimana Muslimin Kini Berada?
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Masa kenabian itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia menghendaki untuk mengangkatnya. Selanjutnya adalah masa Khilafah yang mengikuti jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah), adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia menghendaki untuk mengangkatnya. Selanjutnya masa kerajaan yang menggigit (Mulkan Adlan), adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia menghendaki untuk mengangkatnya. Setelah itu,  masa kerajaan yang menyombong (Mulkan Jabariyyah), adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia menghendaki untuk mengangkatnya. Selanjutnya adalah masa Khilafah yang mengikuti jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah). Kemudian beliau (Nabi) diam.” (H.R. Ahmad dan Baihaqi dari Nu’man bin Basyir dari Hudzaifah. Misykatul Mashabih: Bab Al-Indzar wa Tahdzir, Al Maktabah Ar Rahimiah, Delhi, India, halaman 461. Musnad Ahmad, Juz 4 halaman

Dalam hadits ini disebutkan keadaan yang timbal balik, yaitu keadaan yang paling baik dan keadaan yang paling buruk, kemudian kembali dalam keadaan baik. Perubahan dari keadaan buruk menjadi keadaan baik kembali memerlukan  perubahan yang bersifat mental, moral, dan ilmu. Apabila zaman kerajaan yang menyombong (Mulkan Jabariyyah), zaman yang paling buruk itu telah hilang, menurut hadis tersebut akan datang satu zaman yang disebut Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, kekhalifahan yang menempuh jejak kenabian.

Mengenai situasi perubahan dan peningkatan dari keadaan buruk sampai terwujudnya kembali zaman Khilafah, tergambar dengan jelas pada hadits yang diriwayatkan oleh Hudzaifah bin Al-Yaman radhiallahu 'anhu. Hadits ini menunjukkan, bahwa satu-satunya jalan untuk mewujudkan Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah adalah dengan melaksanakan perintah Rasulullah: 
Tetaplah engkau pada Jama’ah Muslimin dan Imam bagi mereka.”
Kecuali, bila peningkatan maksimal itu sudah tidak memungkinkan lagi -karena arus kejabariyyahan masih menderas, baik yang langsung melanda fisik, maupun yang melanda mental, yaitu meliputi bidang ilmu dan cara berpikir-, maka muslimin diperintah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk: “Tinggalkan semua cara-cara (firqah-firqah), yang mencerai-beraikan umat itu! ”Berdasarkan akhir dari dua hadits:
sehingga tidak ada lagi ciri-ciri muslimin dalam masyarakat. Ini artinya manusia akan menghadapi kerusakan secara total, atau tegasnya Kiamat (wallahu ‘alam bish shawwab).

Sekarang timbul pertanyaan, “Dalam fase manakah kita dewasa ini?”Secara historis, dewasa ini kita berada dalam fase Khilafah dan Jama’ah. Karena itu, janganlah kita melewatkan fase tersebut, walau zaman yang sedang kita hadapi di dalamnya terjadi berbagai kerusakan dan hal-hal lainnya yang merugikan kaum muslimin di seluruh dunia. Insya Allah, kita belum sampai pada fase terakhir, yakni fase i’tizal.

Dengan memperhatikan sungguh-sungguh peredaran tarikh Islam sejalan dengan peredaran sejarah dunia, Insya Allah, kenyataan menunjukkan mulkan-mulkan itu telah berlalu. Di kalangan muslimin, mulkan-mulkan itu berakhir pada zaman ‘Utsmaniyyah di Turki dan Insya Allah, sesudah itu tidak ada lagi fungsi semacam kerajaan dalam memimpin ummat Islam. Di dunia Barat pun kita jumpai satu demi satu kerajaan atau monarki tumbang dan beralih pada demokrasi.

Mulkan-mulkan atau kerajaan Islam yang ada pada saat ini hanya tinggal beberapa buah saja. Dan lagi, bila ditinjau dari peredaran tarikh Islam itu sendiri, kerajaan-kerajaan itu hanyalah sisa-sisa dari mulkan-mulkan yang disabdakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian beralih ke zaman Khilafah, yaitu Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Zaman ini adalah zaman furqan, pemisah. 

Kalau muslimin cenderung pada sistem Barat, mereka beralih pada demokrasi. Sebaliknya, bila cenderung pada Islam, mereka  akan kembali pada apa yang dikehendaki Allah subhanahu wa ta'ala dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu pada sistem kenabian atau Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah

Tarikh Ditetapinya Kembali Jama’ah Muslimin (Hizbullah) 
Pada awal tahun 1950-an, kubu-kubu masyarakat di Indonesia, baik muslim maupun nonmuslim, gemar mendirikan banyak partai, sebagai pelaksanaan teori kepartaian yang disebut sistem banyak partai (multipartai stelsel). Para pemuka muslimin umumnya beranggapan bahwa satu-satunya alat untuk menghimpun muslimin dalam usaha meraih cita-cita mereka, hanyalah dengan penerapan sistem kepartaian, yang bayi pertamanya lahir dari pangkuan masyarakat Inggris.

Adapun menghimpun masyarakat Islam dengan sistem Jama’ah dan Imamah masih terpendam dan dilupakan dari alam pikiran mereka. Orang dapat meletakkan segala kesalahan itu di atas pundak para ulama karena tidak mengungkapkan pengertian Jama’ah dan Imamah menurut syari’at Islam kepada khalayak ramai, terutama kepada para santrinya yang kelak akan menjadi pemuka ummat. Akan tetapi, kalau diselidiki secara lebih mendalam, ada beberapa sebab yang menghalanginya sehingga mereka menganggap bahwa hal itu tak mungkin dapat dilaksanakan, yaitu: 
- Adanya guru ordonansi pada zaman Hindia Belanda yang mewajibkan ulama untuk minta izin dulu kepada penguasa sebelum mereka memberikan pelajaran agama kepada muridnya.
- Adanya penyaringan dalam menentukan pelajaran-pelajaran yang boleh dan tidak boleh diajarkan.
- Adanya pengertian, terutama dari golongan orientalis, bahwa masalah Jama’ah dan Imamah tergolong satu bab dalam bidang politik. Akibatnya, apabila bab tersebut diajarkan kepada para pelajar di pondok pesantren, pondok pesantren yang bersangkutan akan ditutup oleh pihak penjajah.
- Ada dalam genggaman Allah subhanahu wa ta'ala semata, segala qudrat dan iradat yang Allah miliki.

Keempat sebab tersebutlah yang menjadi alasan utama para ‘alim merasa terbelenggu untuk memberikan pelajaran tentang beberapa bab dienul Islam, termasuk bab Jama’ah dan Imarah atau Imamah, bab jinayat, dan babul jihad. Juga beberapa kitab tentang Islam yang dicetak di luar negeri yang dapat membuka mata hati kaum muslimin dan membangkitkan roh Islam untuk melawan kezhaliman serta menyingkirkan fitnah penjajah. Itulah sebabnya pemerintah Hindia Belanda tidak segan-segan untuk melarangnya. 

Iklim kolonial yang dirasakan sangat mencekam jiwa para alim itu pula yang akhirnya menghasilkan suatu akibat besar yang merugikan kaum muslimin. Sebab, para pemuka ummat waktu itu, bahkan setelah Indonesia merdeka, diliputi kabut gelap yang cukup kelam dalam memahami arti Jama’ah dan Imamnya sepanjang syari’at Islam, yang berlandaskan dalil-dalil qath’iy dari Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah.

Ketika kami perdengarkan gerakan Islam yang disebut Hizbullah berbentuk Jama’ah dan Imamnya pada 10 Dzulhijjah 1372 H. (20 Agustus 1953 M), reaksi pertama yang muncul dari para alim itu ialah sikap acuh tak acuh dan secara sinis mereka berkata,  “Wah, apa-apaan pak Wali ini. Kita mau dibawanya kemana? masa kita mau dibawa kembali ke zaman unta?” Astaghfirullah. Seandainya sikap itu diucapkan oleh seorang ateis/komunis, bahkan dengan sikap yang lebih buruk daripada sikap itu, dapat kita pahami. Akan tetapi, reaksi tersebut justru muncul dari orang yang lidah dan bibirnya pernah digerakkan untuk mengucapkan kalimat syahadat, bahkan tergolong dalam barisan kader inti salah satu partai politik Islam. Sekalipun demikian, kalangan Hizbullah menyambut reaksi tersebut dengan senyum. Hizbullah sama sekali tidak marah, selain mengucapkan istighfar.

Bagaimana pula reaksi para kader inti tersebut apabila mendengar salah satu atsar dari Amirul Mukminin ‘Umar bin Khaththab, yang menegaskan bahwa:

إِنَّهُ لَا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ {رواه الدارمي: 1/79}

 “Sesungguhnya tidak ada Islam melainkan dengan Jama’ah, dan tiada Jama’ah melainkan dengan Imarah, dan tiada Imarah melainkan dengan taat.” (H.R. Ad Darimy dari Ad Daary. Sunan Ad Darimy, bab Fi Dzihabil ‘Ilmi, Darul Fikr, Kairo, Msir, 1398 H/1976 M. Juz 1 halaman 79).

Akankah ia membantah ucapan ‘Umar bin Khaththab radiallahu ‘anhu itu? Masihkah mereka bersikap acuh tak acuh serta melontarkan kata-kata sinis? Apakah tindakan ‘Umar bin Khaththab, seandainya beliau masih berada di tengah-tengah kita? Mudah-mudahan mereka akan mendapat maaf karena memang belum mengerti. 

Untuk lebih memantapkan pengetian tentang Jama’ah dan kepentingannya bagi ummat manusia, khususnya bagi muslimin, perhatikan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:

 أَنَا آمُرُكُمْ بِخَمْسٍ اللَّهُ أَمَرَنِي بِهِنَّ بِالْجَمَاعَةِ وَبِالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَالْهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ الْجَمَاعَةِ قِيدَ شِبْرٍ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الْإِسْلَامِ مِنْ عُنُقِهِ إِلَى أَنْ يَرْجِعَ وَمَنْ دَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ فَهُوَ مِنْ جُثَا جَهَنَّمَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى قَالَ وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى وَزَعَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ فَادْعُوا الْمُسْلِمِينَ بِمَا سَمَّاهُمُ الْمُسْلِمِينَ الْمُؤْمِنِينَ عِبَادَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ {رواه أحمد}

 “Aku perintahkan kepada kamu sekalian (kaum muslimin) dengan lima perkara, sebagaimana Allah telah memerintahkanku dengan lima perkara, yaitu berjama’ah, mendengar, taat, hijrah dan berjihad fie sabilillah. Barang siapa yang keluar dari Al Jama’ah sekadar sejengkal, sungguh terlepas ikatan Islam dari lehernya sampai ia kembali (tobat). Dan barang siapa yang menyeru dengan seruan jahiliyyah, ia termasuk orang yang bertekuk lutut dalam Jahanam.”Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, jika dia shaum dan shalat dan mengaku dirinya muslim? Sekalipun dia shaum dan shalat, serta mengaku dirinya seorang muslim. Maka panggilah olehmu orang-orang muslim itu dengan nama yang Allah telah berikan kepada mereka, “Al Muslimin, Al Mukminin, hamba-hamba Allah azza wa jalla.” (HR.. Ahmad dari Harits Al Asy’ari. Musnad Ahmad, juz 4 halaman 202, At Tirmidzi, Jami’ush Shahih, Kitabul  Amtsal, bab maa ja-a fi Matsalish Shalati wash-Shiyami wash-Shadaqati, juz 5 halaman 148-149 hadits nomor 2863).

Dan beliau bersabda :

مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً {رواه مسلم}

“Barang siapa yang keluar dari tha’at dan berpisah dari Al-Jama’ah, lalu mati, maka matinya itu laksana mati jahiliyyah.” (H.R. Muslim dari Abu Hurairah. Shahih Muslim, Babul ‘Amri bi luzumil Jama’ah inda Zhuhuril Fitan, juz 2 halaman 135).

Dalam Riwayat Bukhari disebutkan:
 فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً {رواه البخاري عن ابْنَ عَبَّاسٍ}

“Maka sesungguhnya barang siapa yang berpisah dari Al-Jama’ah sekadar sejengkal saja, kemudian ia mati, melainkan matinya seumpama mati jahiliyyah.” (HR. Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas. Shahih Bukhari, Kitabul Fitan, Bab Qaulin Nabi satarauna ba’di umurun tunkirunaha, juz 4 halaman 222).

Dari kedua hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam  ini saja, ditambah dengan atsar dari ‘Umar bin Khaththab, Insya Allah, telah cukup jelas betapa rapat, memadat, dan pentingnya hubungan antara Jama’ah dengan Al-Islam sebagai ad-dien dan muslimin.

Hubungan Jama’ah dengan nama Hizbullah
Sekilas penjelasan tentang hubungan antara Jama’ah dan Hizbullah adalah Gerakan Islam “Hizbullah” berbentuk Jama’ah. Hizbullah bukanlah partai, yang biangnya berasal dari masyarakat Inggris, kemudian berkembang biak ke seluruh Amerika Serikat lalu menyusup ke negeri-negeri jajahan Barat, termasuk Indonesia pada masa pejajahan Hindia Belanda.

Untuk menghindari kesalahpahaman pengertiannya, kami akan menjelaskan penggunaan kata Hizbullah oleh sebagian kaum muslimin di Indonesia, khususnya kaum muslimin yang berada di pulau Jawa, sekaligus untuk mengetahui waktu dan perjuangan yang tepat dari Hizbullah. Bagi mereka yang belum memahami arti Hizbullah, dalam benaknya akan terbayang laskar atau tentara. Sebab, kata atau sebutan Hizbullah pernah dipergunakan sebagaimana laskar dalam perjuangan secara fisik melawan serdadu penjajah Belanda dan Inggris. Bahkan, pada akhir kekuasaan bala tentara pendudukan Jepang di Indonesia di samping pasukan-pasukan Pembela Tanah Air (PETA), ada juga kader-kader inti yang mendapat latihan di Cibarusa, Bogor, khusus bagi para pemuda Muslimin, yang diberi nama Hizbullah. Seorang di antara pelatihnya, kalau kami tidak khilaf, adalah Mr. Kasman Singodimedjo dari PETA. Karena itulah, pengertian Hizbullah selalu dibayangkan sebagai laskar atau tentara. 

Hizbullah pada Akhir Masa Kolonial Belanda
Pada Perang Dunia I (1914-1918), Belanda lebih suka untuk tidak terlibat dalam kancah peperangan dan bersikap netral. Namun, dalam Perang Dunia II (1939 –1945), negeri ini ikut terlibat walaupun mereka lebih suka bersikap netral. 

Pada perang dunia II, strategi Jerman di bawah pimpinan kaum Nazi, Hitler, mempergunakan taktik perang kilat. Secara mendadak pasukan Jerman menyerbu teritorial kerajaan Belanda, kemudian meneruskan ke wilayah Belgia secara cepat, kemudian wilayah perang Perancis, dan bila mungkin, menyeberangi Selat Kanal untuk menyerbu wilayah Inggris.

Karena tidak siap berperang, lagi pula kalau dibanding dengan lawannya, negeri Belanda hanyalah merupakan satu negeri yang kerdil saja, dalam waktu lima hari saja, Belanda menyerah kalah. Kerajaan Belanda tidak lagi terdapat di daratan Eropa. Pemerintahnya lari ke sahabat kentalnya, yaitu Inggris. Kapal perang dan kapal dagangnya yang dapat diselamatkan, dilarikan ke perairan-perairan tetangganya. Selama berkecamuknya Perang Dunia ke-II, tenaga lautan Belanda itu berada di bawah komando Inggris. Wilayah Belanda  yang tertinggal hanya di negeri-negeri jajahannya, yaitu Hindia Belanda, Indonesia sekarang, dan Suriname.

Dalam situasi seperti itu ditambah bayangan menggelembungnya suasana perang di lautan Pasifik, karena Angkatan Darat Jepang telah berada di daratan Cina menuju Selatan, pemerintah Hindia Belanda semakin gelisah, cemas, dan diliputi banyak penyesalan. Mereka merasa sesak napas, tidak terkecuali orang-orang yang berada di Indonesia sebagai tanah jajahannya, bila Hindia Belanda terseret dalam kancah peperangan, dapatkah Hindia Belanda dipertahankan? Politik kolonial Belanda yang sangat kolot dan benar-benar reaksioner tidak memungkinkan mereka untuk merasa aman dan tenteram lahir dan batin, apalagi menghadapi perang dunia secara langsung. Selain itu, pribadi Belanda yang berkulit hitam maupun berkulit putih, tidak dibangun untuk menghadapi musuh luar negeri, melainkan hanyalah menumpas perlawanan penduduk belaka, sekiranya itu terjadi.

Jadi, Belanda sama sekali tidak memiliki kekuatan dan kemampuan untuk berhadapan dengan kekuatan bala tentara Jepang. Belanda dalam situasi sangat kritis. Rakyat Indonesia sendiri, yang sekian lama hidup dalam penindasan serta pemerasan Belanda, tidak dapat diandalkan untuk membantu mereka. 

Patut dicatat, bahwa setiap pemerintahan yang tidak pandai dan tidak memperhatikan nasib rakyat banyak, tidak mencerminkan ketulusan hati nurani, apalagi jika beritikad buruk dengan tindakan zhalim, kejam, kekerasan, dan menindas, lebih buruk lagi jika rakyat dianggap sebagai musuh, maka lambat atau cepat akan ditinggalkan oleh rakyatnya.

Karena itu menjelang runtuhnya kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan perintah untuk membekukan segala perjuangan rakyat, terutama dalam bidang politik, termasuk larangan mengadakan rapat-rapat atau pertemuan. Saat-saat akhir sejarah kolonial Belanda itulah, pengertian Hizbullah untuk pertama kalinya kami dengar, namun baru diberikan maknanya secara ringkas, yaitu kaum yang berpihak kepada Allah. Kami mengimani dan sekuat tenaga untuk mengamalkan maksud-maksudnya. (Hizbullah adalah kaum yang berpihak kepada Allah, termaktub dalam Al-Qur`an, surat Al-Mujadalah ayat 22 dan Al-Maidah ayat 56). Kami mendengar kata Hizbullah dari Syeikh Muhammad Ma’sum, ahli hadits di Yogyakarta, dalam suatu silaturrahmi di kediaman Ustadz Abdul Gaffar, yang ketika itu menjabat Direktur Madrasah Mu’alimin Wal Fajri di Karangkajen, Yogyakarta.  Selain ketiga orang tersebut (Wali Al-Fattaah, Muhammad Ma’sum dan Abdul Gaffar/pen), ada pula ikhwan lainnya, di antaranya ustadz Suhadi, ayah dr. R.H. Su’dan dan Muhammad Ma’sum seorang awam biasa yang sangat gigih berjuang untuk Islam.

Sekiranya pertemuan tersebut diketahui oleh pihak kepolisian Belanda, kemudian digerebeg karena dianggap melanggar peraturan (Belanda) yang melarang rapat atau pertemuan, walaupun pengajian yang termasuk tugas dien, kami sudah memiliki jawabannya, bahwa kami adalah Hizbullah, kaum yang berpihak kepada ALLAH subhanahu wa ta'ala. Pada waktu itu pengertian yang lebih luas atas kata Hizbullah belum diberikan, demikian juga tentang dalil-dalilnya. Akan tetapi, alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ketika kolonialisme Belanda mengakhiri sejarahnya di Indonesia, Hizbullah tidak mendapat kesulitan apa pun. Peraturan larangan mengadakan pertemuan-pertemuan oleh pihak Belanda tetap ada, tetapi karena Allah dan pertolongan-Nya, Hizbullah secara rutin mampu mengadakan pertemuan yang sifat serta isinya pengajian-pengajian.Itulah pokok perkenalan kita untuk pertama kalinya dengan kata Hizbullah, yang selanjutnya, Insya Allah kita termasuk pula di dalamnya. Masya Allah, la haula wa la quwwata illa billah!

Hizbullah pada Zaman Jepang
Perkenalan kedua kali dengan kata Hizbullah terjadi pada saat-saat akhir masa pembentukan bala tentara kerajaan Jepang yang bernama Hizbullah. Bala tentara ini mendapat latihan kemiliteran di Cibarusa Bogor. 

Kata Hizbullah pertama kalinya diusulkan kepada pemerintah pendudukan bala tentara Jepang di Jawa yang berkedudukan di Jakarta, gunsei kanbu. Pada saat itu, Hizbullah diusulkan sebagai nama pasukan beranggotakan para pemuda muslimin yang  hendak dibentuk. Tujuannya adalah setelah runtuhnya kekuasaan kerajaan Jepang dalam Perang Dunia II, dalam menghadapi negara-negara sekutu, khususnya Amerika Serikat, kaum muslimin hendaknya tidak tinggal diam, bahkan bila mungkin memelopori untuk mengangkat senjata. Pada saat itu mulai terbayang usaha meneruskan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Delegasi yang dikirim oleh Hizbullah untuk memajukan konsepsi serta gagasannya kepada gunsei kanbu ialah kami sendiri disertai Ustadz Sulaiman Masulili atau Penawi Tengah, yang kini masih berada di tengah-tengah kita dan  tinggal di Jakarta.*

Pada waktu itu kami tidak mengungkapkan maksud dibentuknya Hizbullah, sebab, bila maksud sepenting itu telah tercium oleh pihak Jepang, dapat diperkirakan, bahwa usulan itu bukan hanya ditolak, bahkan tidak mustahil kami akan dijebloskan ke dalam penjara. Hal ini karena rezim fasisme Jepang yang sangat agresif itu sedang kalap karena terjepit oleh pihak musuhnya, terutama pihak Amerika Serikat sehingga kami akan dianggap meremehkan kekuatan mereka. Di samping itu, mereka merasa khawatir bila kami akan meneruskan perjuangan kemerdekaan bagi nusa dan bangsa Indonesia yang umumnya terdiri dari kaum muslimin.

Alhamdulillah, selama pendudukan bala tentara Kerajaan Jepang di Indonesia, kami dalam keadaan aman dan usulan kami pun disetujui. ini terbukti dengan adanya latihan-latihan kader inti di Cibarusa, Bogor.

Hizbullah pada Masa Kemerdekaan
Perkenalan ketiga dengan kata Hizbullah terjadi beberapa bulan sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia, yakni dengan adanya hasil keputusan Muktamar Umat Islam di Aula Mu’alimin Karangkajen, Yogyakarta. Ketika itu diputuskan untuk membentuk organisasi Masyumi pada tanggal 7 November 1945 M, yang kemudian beralih menjadi partai politik. 

Kata Hizbullah dipergunakan sebagai nama laskar Masyumi, yang terdiri para pemuda muslimin, yang berniat mengusir fitnah penjajahan dengan mengangkat senjata secara fisik. Di samping itu, ada pula laskar lain dari berbagai golongan yang menggunakan nama Hizbullah. Kata Hizbullah sebagai nama laskar yang berjuang secara fisik terus berjalan, hingga terjadinya penyatuan semua laskar yang ada, dengan dibentuknya tentara resmi dari Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan satu ketentaraan saja. Hizbullah, Kaum yang Berpihak kepada ALLAH.

Setelah mengenal kata Hizbullah dengan makna, pertama sebagai suatu “kaum yang berpihak kepada Allah subhanahu wa ta'ala”. Kedua, sebagai “kader inti ketentaraan “ yang mendapat latihan Jepang di Cibarusa, Bogor. Ketiga, sebagai nama laskar dari pemuda-pemuda Muslimin yang berjuang secara fisik pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Kini tibalah saatnya untuk mengenal kalimat Hizbullah, yang sejak 10 Dzulhijjah 1372 H. (20 Agustus 1953 M.) hingga sekarang ini berada dalam suatu gerakan Islam dengan nama dan makna yang satu, yaitu suatu kaum yang berpihak kepada Allah sebagaimana disebutkan dalam kitab suci Al-Qur`an,

 يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ(54)إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ(55)وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ(56)

 “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu murtad dari dien-Nya, maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia ridlai mereka dan mereka pun ridla kepada-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap mukminin dan keras tegas terhadap kafirin. Mereka bersungguh-sungguh di jalan Allah dan tidak takut terhadap celaan manusia yang mencela, demikian itu ialah nikmat Allah, yang Dia berikan kepada siapa yang Dia kehendaki, karena Allah itu Mahaluas pemberian-Nya lagi Mahamengetahui. “Sesungguhnya pimpinan kamu adalah Allah, Rasul-Nya dan mukminin yang menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat dan mereka ruku, tunduk kepada perintah Allah. “Dan barang siapa menjadikan Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang beriman sebagai pimpinan, maka sesungguhnya itulah Hizbullah - Kaum yang berpihak kepada Allah - Hizbullah itulah yang jaya.’’ (QS. Al-Maidah: 54–56)

Selanjutnya kata Hizbullah juga disebutkan dalam surat Al-Mujadalah, ayat 21-22:
 كَتَبَ اللَّهُ لَأَغْلِبَنَّ أَنَا وَرُسُلِي إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ(21)لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ(22)         

  “Allah telah menetapkan, sesungguhnya kejayaan itu bagi-Ku dan Rasul-rasul-Ku. Sesungguhnya Allah itu Mahakuat lagi Mahaperkasa. Tidak engkau dapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian itu saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun mereka itu adalah bapak-bapak mereka atau anak-anak mereka, atau saudara-saudara mereka, atau keluarga mereka. Mereka (orang yang beriman) itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan iman ke dalam hati mereka, dan Allah menguatkan mereka dengan ruh daripada-Nya, dan memasukkan mereka itu ke dalam Jannah, yang mengalir air sungai di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya. Allah ridla kepada mereka dan mereka ridla kepada-Nya. Mereka itulah Hizbullah –kaum yang berpihak kepada Allah. Ketahuilah bahwasanya Hizbullah itulah yang mendapat kebahagiaan.” (QS. Al-Mujadalah: 21–22)
 

Adapun kebalikan Hizbullah disebutkan dalam surat Al-Mujadalah ayat 19 - 20:
 اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَأَنْسَاهُمْ ذِكْرَ اللَّهِ أُولَئِكَ حِزْبُ الشَّيْطَانِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ الشَّيْطَانِ هُمُ الْخَاسِرُون َ(19) إِنَّ الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ فِي الْأَذَلِّينَ(20)

“Setan telah berkuasa atas mereka, lalu ia jadikan mereka lupa mengingat Allah, mereka itu adalah Hizbusysyaithan. Ketahuilah sesungguhnya Hizbusysyaithan itulah orang-orang yang merugi. Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, mereka dalam golongan orang-orang yang sangat hina.” (QS. Al-Mujadalah: 19 – 20)

Semua dalil di atas telah menjelaskan arti atau makna Hizbullah dengan gamblang. Hizbullah bukanlah suatu laskar, bukan pula suatu partai politik atau perserikatan dan perkumpulan biasa, juga bukan semacam dewan-dewanan yang lahir dari karya pikir manusia. Hizbullah adalah suatu kaum atau umat yang berpihak,  tunduk, patuh kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah Al-Jama’ah, sebagaimana yang dimaksudkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka itulah Jama'ah Muslimin, Insya Allah. Allahumma Amin.

Untuk mengetahui bagaimana roh Hizbullah yang pertama kali diperkenalkan di gedung Adhuc Staat, Jalan Taman Surapati nomor 1. Menteng Raya Jakarta (sekarang gedung Bappenas), pada hari raya Iedul Adha, 10 Dzulhijjah 1372 H. (20 Agustus 1953 M), berikut ini dicantumkan ringkasnya: 
Hizbullah berpedoman pada Al-Qur`an dan Sunnatu Rasulillah. Hizbullah berjuang karena Allah, dengan Allah, untuk Allah, bersama-sama segenap kaum muslimin menuju mardlatillah.

Dalam menghadapi suasana yang makin bergolak, Hizbullah menetapkan langkah-langkah asasi (strategis) sebagai berikut:
Pandangan, pendirian, dan sikap hidup muslim: Yakin, bahwa berpegang teguh dan taat melaksanakan pedoman Al-Qur`an dan Sunnatu Rasulillah adalah sumber segala kejayaan dan kebahagiaan.

Ukhuwah islamiyyah: Kesatuan bulat bagi seluruh muslimin yang tidak dapat dibagi-bagi, dipisah-pisahkan, apalagi diadudombakan, sebagai perwujudan ukhuwah islamiyah, baik dalam kemudahan atau dalam kesukaran dan perjuangan. 

Kemasyarakatan: Berpihak pada kaum dlaif (lemah, tertindas, teraniaya), menegakkan keadilan.

Sikap terhadap lain-lain golongan: Tegak berdiri dalam lingkungan kaum muslimin di tengah-tengah antar golongan, menyeru kepada kebaikan, menyuruh  kepada kebajikan dan mencegah perbuatan munkar.

Antara bangsa-bangsa: Menolak setiap fitnah penjajahan dan kezhaliman suatu bangsa atas bangsa lain, dan mengusahakan ta’aruf antar bangsa.

* Ahmad Sulaiman Masulili wafat pada hari Selasa, 16 Dzulqa’dah 1409 H/Senin 19 Juni 1969 M. di Cempaka Putih, Jakarta, jam 16.15 wib. Beliau lahir di Luwuk, Sulawesi Selatan, 1 Juli 1916 M.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar