Selasa, 14 April 2015

Du'at Ala Abwabi Jahannam

Sebuah catatan: By Agus Zainal Asikin


Hampir lima tahun diskusi lewat Internet Medsos Face Book terutama dengan ikhwan Jama’ah Khilafatul Muslimin dsb membahas tentang Al Jama’ah atau Khilafah,Bahwa Al Jama’ah atau Khilafah itu sudah terwujud kembali tahun 1953 sejak di bae’atnya Imaam Wali Al Fattah, tinggal bagaimana kita memperbaiki dan menyempurnakan kekurangannya, Namun dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal serta dibuat-buat dan dicari kekurangan dari Jama’ah Muslimin (Hizbullah), Bahwasanya Jama’ah Khilafatul Muslimin  menolak keberadaan Jama’ah Muslimin (Hizbullah) sebagi wujud “Khilafah ‘Alaa Minhajin Nubuwwah”, karna Imaam pertama Bapak Wali Al Fattah pernah bekerja sebagai Biro Politik di masa Soekarno,Dan ikhwan Jama’ah Khilafatul Muslimin menganggap saya dari  Jama’ah Muslimin (Hizbullah) itu ngotot,ngeyel dsb, Sebenarnya yang ngotot,ngeyel dsb itu bukan saya atau Jama’ah Muslimin (Hizbullah), Melainkan ikhwan dari Jama’ah Khilafatul Muslimin,yang keras merasa apa yang telah mereka usahakan adalah di dalam Manhaj kebenaran,walaupun sebenarnya dalam Manhaj yang salah dan  keliru karna tidak ada dalil perintah Iltizam di dalam Khilafatul Muslimin.


B
agaimana mungkin saya akan meninggalkan Al Jama’ah ini atau Jama’ah Muslimin (Hizbullah) setelah Hidayah dan keterangan itu datang?, Ini masalah aqidah yang sangat prinsif dan seandainya saya meninggalkan Jama’ah Muslimin (Hizbullah) dan menyambut seruan organisasi seperti Khilafatul Muslimin dsb itu sama halnya mereka mengajak saya masuk “kepintu-pintu Jahannam”  dan saya bertekuk lutut didalam Neraka Jahannam, padahal saya sudah mendapati keterangan bahwa tidak ada dalil perintah Iltizam baik fii Khilafatul Muslimin dsb, walaupun Khilafatul Muslimin mengklaim sebagai “Khilafah ‘Alaa Minhajin Nubuwwah” karna di belakangnya memakai kalimat “Khilafatul” dan pemimpinnya dengan sebutan “Khalifah/Amirul Mu’minin” karna baik berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah maupun Ijma para Shahabat tidak di dapati keterangan perintah Iltizam fii Khilafatul Muslimin maupun organisasi lainnya, selain Jama’atul Muslimin wa Imamahum ini fitrah dan Sunnah.


Sebagaimana percakapan Hudzaifah Ibnul Yaman dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, yang mana Hudzaifah ini sangat Khawatir apa yang akan di alami Ummat Islam kelak setelah berakhirnya masa kenabian, Padahal Hudzaifah Ibnul Yaman hidup di zaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, Namun kekhawatirannya mendorong ia bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan Hudzaifah Ibnul Yaman Radliallahu ‘anhu berkata:

كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ قَالَ نَعَمْ وَفِيهِ دَخَنٌ قُلْتُ وَمَا دَخَنُهُ قَالَ قَوْمٌ يَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ قُلْتُ فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوْهُ فِيهَا قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا قَالَ هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ قَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ .
 “Adalah orang-orang (para sahabat) bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan dan adalah saya bertanya kepada Rasulullah tentang kejahatan, khawatir kejahatan itu menimpa diriku, maka

- saya bertanya:“Ya Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu berada di dalam Jahiliyah dan kejahatan, maka Allah mendatangkan kepada kami dengan kebaikan ini (Islam). Apakah sesudah kebaikan ini timbul kejahatan?
- Rasulullah menjawab: “Benar!”  
- Saya bertanya: Apakah sesudah kejahatan itu datang kebaikan?
- Rasulullah menjawab: Benar, tetapi di dalamnya ada kekeruhan (dakhon).”
- Saya bertanya: “Apakah kekeruhannya itu?”
- Rasulullah menjawab: “Yaitu orang-orang yang mengambil petunjuk bukan dengan petunjukku. (dalam riwayat Muslim) “Kaum yang berperilaku bukan dari Sunnahku dan orang-orang yang mengambil petunjuk bukan dengan petunjukku, engkau ketahui dari mereka itu dan engkau ingkari.” - Aku bertanya: “Apakah sesudah kebaikan itu akan ada lagi keburukan?”
- Rasulullah menjawab: “Ya, yaitu adanya penyeru-penyeru yang mengajak ke pintu-pintu Jahannam. Barangsiapa mengikuti ajakan mereka, maka mereka melemparkannya ke dalam Jahannam itu.”
- Aku bertanya: “Ya Rasulullah, tunjukkanlah sifat-sifat mereka itu kepada kami.”
- Rasululah menjawab: “Mereka itu dari kulit-kulit kita dan berbicara menurut lidah-lidah (bahasa) kita.”
- Aku bertanya: “Apakah yang eng kau perintahkan kepadaku jika aku menjumpai keadaan yang demikian?”
- Rasulullah bersabda: “Tetaplah engkau pada Jama’ah Muslimin dan Imaam mereka !”
- Aku bertanya: “Jika tidak ada bagi mereka Jama’ah dan Imaam?”
- Rasulullah bersabda: “Hendaklah engkau keluar menjauhi firqoh-firqoh itu semuanya, walaupun engkau sampai menggigit akar kayu hingga kematian menjum paimu, engkau tetap demikian.”

(HR.Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari dalam Kitabul Fitan: IX/65, Muslim, Shahih Muslim: II/134-135 dan Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah:II/475. Lafadz Al-Bukhari).


S
ebagaimana keterangan Hadits diatas bahwa yang dimaksud dengan “Mereka itu dari kulit-kulit kita dan berbicara menurut lidah-lidah (bahasa) kita.”, Mereka beragama Islam,mereka mengerjakan sholat,shaum,zakat,menunaikan haji dan mereka juga membaca Al Qur’an,namun hakekatnya mereka sudah bergeser dari ketentuan Allah dan Rasul-Nya, yaitu  membuat-buat nama organisasi yang tidak ada contoh dari Allah dan Rasul-Nya yang sekilas mirip syari’at padahal bukan. Sehingga ketika tidak di dapati Jama’ah Muslimin dan Imam Mereka maka wajib “fa’tazil tilqal firaqa kullaha,,,!” Namun apabila sudah ada Jama’ah Muslimin dan Imam Mereka maka wajib iltizam di dalamnya seraya “istiqomah”


I
nilah sebabnya saya, khususnya Jama’ah Muslimin (Hizbullah) bertahan dan mempertahankan bai’at yang pertama bukan karena ego maupun ambisi melainkan karena  mengikuti yang dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Jama’ah Muslimin” penjelasannya dari lisan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga dengan “Khilafah ‘Alaa Minhajin Nubuwwah” penjelasannya juga dari lisan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam,  Jika kita masih mengakui Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabi akhir zaman yang kita harap syafa’atnya di hari kiamat kelak kenapa kita enggan menerima penjelasan dari lisan Rasulullah dan bahkan membantah serta mencelanya?


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ تَكْثُرُ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
 “Dahulu bani Israil selalu dipimpin oleh para Nabi, setiap meninggal seorang Nabi diganti oleh Nabi lainnya, sesungguhnya setelahku ini tidak ada Nabi dan akan ada setelahku beberapa khalifah bahkan akan bertambah banyak, sahabat bertanya: ”Apa yang tuan perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab: ”Tepatilah bai’atmu pada yang pertama, maka untuk yang pertama dan berikan pada mereka haknya. Maka sesungguhnya Allah akan menanya mereka tentang hal apa yang diamanatkan dalam kepemimpinannya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah, Shahih Muslim dalam Kitabul Imaroh: II/132, Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah II/204. Lafadz Muslim)


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنِ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ
“Dan barangsipa membai’at imam dengan berjabat tangan dan kesungguhan hati, maka haruslah ia mentaatinya semampunya. Maka jika datang orang lain akan merebutnya, maka pukul lah leher orang tersebut.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash, Shahih Muslim dalam Kitabul Imaroh: II/132, Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah II/467, An-Nasai, Sunan An-Nasai VII/153-154. Lafadz Muslim)


Sebagaimana penjelasan dua Hadits diatas, Sangat jelas dan tegas apabila terjadi banyak Khalifah maka yang datang belakangan wajib untuk “Menepati bai’at Yang Pertama” ,Dan apabila kita enggan untuk menepatinya,Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala kelak yang akan menanyakan hal apa yang di amanatkan dalam kepemimpinannya,Karena tidak di benarkan dalam satu masa atau zaman ada dua kepemimpinan Muslimin secara bersamaan, lain halnya dengan kepala Negara atau Perdana Mentri yang boleh banyak  karena ia mempunyai batas-batas Negara, Sementara Islam atau Al Jama’ah itu tidak mempunyai batas teritorial  ia Sifatnya Universal “Rahmatan Lil Alamin”


 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا
 “Apabila dibai’at dua khalifah (dalam satu masa), maka bunuhlah yang lain dari keduanya. (yaitu yang terakhir).” (HR. Muslim dari Abi Sa’id Al Khudri, Shahih Muslim dalam Kitabul Imaroh: II/137)

kata bunuh Hadits diatas adalah bunuh dengan “Hujjah”, Adapun bai’at yang  sudah di amalkan oleh Jama’ah Muslimin (Hizbullah) “tidak dapat dibatalkan !” terkecuali sudah ada yang lebih dahulu mengamalkan Syari’at  Jama’ah dan Imamah, Apabila sudah ada yang mengamalkan Syari’at Jama’ah dan Imamah sebelum Jama’ah Muslimin (Hizbullah) yang di tetapi kembali pada tahun 1953, Maka Imaam dan seluruh Ma’mum Jama’ah Muslimin (Hizbullah) siap Masbuk bergabung dengan Jama’ah Muslimin yang lebih awal diamalkan, Hal ini sudah dijelaskan dan di tegaskan oleh Imaam pertama Jama’ah Muslimin (Hizbullah) Wali Al Fattah (alm) “Jama’ahnya harus satu dan Imaam-khalifahnya juga harus satu”


Lalu bagaimana dengan Organisasi Khilafatul Muslimin Abdul Qadir Hasan Baraja, Daulatul Ismiyyah Melayu (DIM) Muhammad Daudi Sulaiman ,dan Islamic State of Iraq dan Syam (ISIS) Abu Bakar Al bagdady tentang penjelasan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut?

 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا
“Dan katakanlah kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barang siapa yang ingin (beriman) maka hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin kafir maka biarkanlah ia kafir. Sesungguhnya telah kami sediakan bagi orang-orang yang zholim itu neraka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih, yang menghanguskan muka; itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek”. (3. Q.S. Al-Kahfi : 29)



Senin, 13 April 2015

Saling Mengklaim Sebagai Khilafah 'Alaa Minhajin Nubuwwah



Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ
”Adalah masa Kenabian itu ada di tengah tengah kamu sekalian, adanya atas kehendaki Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang menempuh jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah), adanya atas kehandak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya (menghentikannya) apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menggigit (Mulkan ‘Adldlon), adanya atas kehendak Allah. Kemu- dian Allah mengangkatnya apabila Ia meng hendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menyom bong (Mulkan Jabariyah), adanya atas kehendak Allah. Kemu dian Allah mengangkatnya, apabila Ia menghen daki untuk mengang katnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang menempuh jejak Kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah).” Kemudian beliau (Nabi) diam.” (HR.Ahmad dari Nu’man bin Basyir, Musnad Ahmad:IV/273, Al-Baihaqi, Misykatul Mashobih hal 461. Lafadz Ahmad).

Di Tetapinya kembali Al Jama’ah atau Jama’ah Muslimin (Hizbullah) sebagai wujud Khilafah ‘Alaa Minhajin Nubuwwah merupakan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala atas seruan-Nya yang terdapat pada QS Ali-Imran 103 dan Hadits dari Hudzaifah Ibnul Yaman bukan karna akibat dari “gejolak politik” , Yang mana awal proses terwujudnya kembali Al Jama’ah atau Khilafah yang merupakan kehendak Allah Azza Wajalla itu melibatkan para ‘Alim ‘Ulama dan Zu’ama pada zamannya di antaranya adalah Muhammad Ma’sum (ahli hadits), Kyai Sulaiman Masulili dan lain-lainnya, Diwujudkannya kembali Al Jama’ah atau Khilafah Bukanlah “Ijtihad” diri pribadi Wali Al Fattah karna Jama’ah Muslimin bukan milik Wali Al Fattah, Karna Jama’ah Muslimin adalah wadah tempat berhimpunnya kaum Muslimin yang di sediakan oleh Allah untuk hambanya untuk bermasyarakat Islam bermasyarakat wahyu untuk menghambakan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui system “Khilafah ‘Alaa Minhajin Nubuwwah”


Namun ternyata di kemudian hari setelah diwujudkannya kembali Al Jama’ah atau Jama’atul Muslimin atau Hizbullah atau Khilafah ‘Alaa Minhajin Nubuwwah banyak bermunculan lembaga-lembaga Khilafah yang “super Instan bak Mie Instan”  baik yang tujuannya karna kekuasaan maupun akibat gejolak politik dsb, Begitu pula walau tanpa Syari’at bai’at, tanpa Musyawarah “Ahlul Ahli Wal Aqdi” dan tanpa melalui proses cukup dengan “bim salabim” maka sudah menjadi Khalifah di dalam Khilafah mengacu kepada ucapan Umar bin Al-Khattab:

إِنَّهُ لاَ إِسْلاَمَ إِلاَّ بِجَمَاعَةٍ وَلاَ جَمَاعَةَ إِلاَّ بِإِمَارَةٍ وَلاَ إِمَارَةَ إِلاَّ بِطَاعَةٍ فَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى الْفِقْهِ كَانَ حَيَاةً لَهُ وَلَهُمْ وَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ كَانَ هَلاَكًا لَهُ وَلَهُمْ

 “Sesungguhnya tidak ada Islam kecuali dengan berjama’ah, dan tidak ada Jama’ah kecuali dengan kepemimpinan, dan tidak ada kepe mimpinan kecuali dengan ditaati, maka barang siapa yang kaum itu mengangkatnya sebagai pimpinan atas dasar kefahaman, maka kesejahte raan baginya dan bagi kaum tersebut tetapi barangsiapa yang kaum itu mengangkatnya bukan atas dasar kefahaman, maka kerusakan baginya dan bagi mereka.” (HR.Ad-Darimi Sunan Ad-Darimi dalam bab Dzihabul ‘ilmi: I/79)


Di sadari atau tidak ini menunjukan cara berfikir Ummat Islam yang maju, Yang mana awalnya Ummat Islam itu mencibir mencemooh bahkan menolak namun kemudian akhirnya membenarkan dan kemudian meniru mempraktekan dengan menggunakan landasan dalil yang sama lantas kemudian di klaim, Padahal jauh sebelumnya sudah terlebih dahulu diamalkan  oleh Jama’ah Muslimin (Hizbullah) yang diwujudkan kembali pada tahun 1953 M setelah berakhirnya sentral kepemimpinan Muslimin yang berpusat di Turky yang dihapus oleh Mustafa Kamal Attaturk pada tahun 1924 M, Bahkan apabila disampaikan justru mereka balik bertanya “Apakah  Al Qur’an dan  Hadits milik Wali Al Fattah ?” Jika takut kepada Allah tentunya mereka tidak akan bertanya demikian, Sesungguhnya Wali Al Fattah pun hanya mengamalkan apa yang menjadi perintah Allah dan Rasul-Nya.


Adapun lembaga-lembaga Khilafah yang datang belakangan setelah Jama’ah Muslimin (Hizbullah) diantaranya  adalah:

-  Khilafatul Muslimin yang didirikan oleh  Abdul Qadir Hasan Baraja pada tahun 1997 yang bermarkas di Teluk Betung Bandar Lampung adalah organisasi politik Islam yang mengusung Khilafah dengan system politik !, Jadi tidak mengherankan jika Khilafatul Muslimin menggunakan atribut papan plang dan seragam, Menurut Abdul Qadir Hasan Baraja bahwa Khilafatul Muslimin adalah kelanjutan dari perjuangan Sekar Marijan Kartosuwiryo yang berupaya menegakkan Khilafah dengan terlebih dahulu mendirikan Negara Islam ditiap-tiap Negara baru kemudian mengangkat seorang Khalifah, Maka dalam maklumatnya Abdul Qadir Hasan Baraja hanya sebagai “Khalifah sementara” sampai diadakannya Musyawarah tingkat Dunia, Namun Musyawarah tingkat Dunia tersebut tidak kunjung terealisasi sehingga kemudian akhirnya Khilafatul Muslimin mengklaim sebagai “Khilafah Islamiyyah”, Organisasi Khilafatul Muslimin inipun membenarkan apa yang di deklarasikan oleh Islamic State of Iraq dan Syam (ISIS) dan menurut Khilafatul Muslimin bahwa Islamic State of Iraq dan Syam itu juga Khilafatul Muslimin, Sehingga menurut Khilafatul Muslimin saat ini ada dua Khalifah satunya di Indonesia dan satunya lagi di Syam.


- Ad Daulatul Islamiyyah Melayu (DIM) yang diproklamasikan oleh Muhammad Daudi Sulaiman pada tahun 2012 bermarkas di Malaysia ini juga mengklaim sebagai kelanjutan dari perjuangan Negara Islam Indonesia (NII) Pengaruh Khalifah Muhammad Daudi Sulaiman terhadap kehidupan politik alam Melayu sudah terasa sejak masa-masa awal berdirinya Khilafah (Daulah Islamiyah).
Pengakuan terhadap kebesaran khalifah dibuktikan dengan adanya Dua pucuk surat yang dikirim oleh Maharaja Srivijaya kepada Khalifah di zaman Bani Umayyah. Surat pertama dikirim kepada Muawiyyah, dan surat kedua dikirim kepada Umar bin Abdul Aziz. Surat pertama ditemui dalam sebuah diwan (arkib) Bani Umayyah oleh Abdul Malik bin Umayr yang disampaikan melalui Abu Ya’yub Ats-Tsaqofi, yang kemudian disampaikan melalui Al-Haytsam bin Adi. Al-Jahizh yang mendengar surat itu dari Al-Haytsam menceritakan pendahuluan surat itu sebagai berikut:

“Dari Raja Al-Hind yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, (dan) yang istananya dibuat dari emas dan perak, yang dilayani putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar yang mengairi pohon gaharu, kepada Muawiyah………”

Surat kedua didokumentasikan oleh Abd Rabbih (246-329 H/860-940 M) dalam karyanya Al-Iqd Al-Farid. Petikan surat tersebut adalah seperti berikut:

“Dari Raja di Raja…; yang adalah keturunan seribu raja … kepada Raja Arab (Umar bin Abdul Aziz) yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya.”

Selain itu, Farooqi menemui sebuah arkib Utsmani yang mengandungi sebuah petisi dari Sultan Ala Al-Din Riayat Syah kepada Sultan Sulayman Al-Qanuni yang dibawa oleh Huseyn Effendi. Dalam surat ini, Aceh mengakui pemimpin Utsmani sebagai Khalifah Islam. Selain itu, surat ini juga mengandungi laporan tentang kegiatan askar Portugis yang menimbulkan masalah besar terhadap pedagang muslim dan jamaah haji dalam perjalanan ke Mekah. Oleh itu, bantuan Utsmani amat diperlukan untuk menyelamatkan kaum Muslim yang terus di serang oleh Farangi (Portugis) kafir.
Sulayman Al-Qanuni wafat pada tahun 974 H/1566 M tetapi permintaan Aceh mendapat sokongan Sultan Selim II (974-982 H/1566-1574 M), dengan mengeluarkan perintah kesultanan untuk menghantar sepasukan besar tentera ke Aceh.

Sekitar September 975 H/1567 M, Laksamana Turki di Suez, Kurtoglu Hizir Reis, diperintahkan berlayar menuju Aceh dengan sejumlah pakar senjata, tentera dan meriam. Pasukan ini diperintahkan berada di Aceh selama mana yang diperlukan oleh Sultan. Namun dalam perjalanan, hanya sebahagian armada besar ini yang sampai ke Aceh kerana dialihkan untuk memadamkan pemberontakan di Yaman yang berakhir tahun 979 H/1571 M. Menurut catatan sejarah, pasukan Turki yang tiba di Aceh pada tahun 1566-1577 M sebanyak 500 orang, termasuk pakar senjata, penembak, dan pakar teknikal. Dengan bantuan ini, Aceh menyerang Portugis di Melaka pada tahun 1568 M.

Kehadiran armada tentera Kurtoglu Hizir Reis disambut dengan sukacita oleh umat Islam Aceh. Mereka disambut dengan upacara besar. Kurtoglu Hizir Reis kemudian digelar sebagai gabenor (wali) Aceh yang merupakan utusan rasmi khalifah yang ditempatkan di daerah tersebut. Ini menunjukkan bahawa hubungan Nusantara dengan Khilafah Utsmaniyah bukanlah hanya hubungan persaudaraan melainkan hubungan politik kenegaraan. Adanya wali Turki di Aceh lebih mengisyaratkan bahawa Aceh merupakan sebahagian dari Khilafah Islamiyah.

Banyak institusi politik melayu di Nusantara mendapatkan gelaran sultan dari pemerintah tertentu di Timur Tengah. Pada tahun 1048H/1638 M, pemimpin Banten, Abd al-Qodir (berkuasa 1037-1063H/1626-1651) dianugerahkan gelaran sultan oleh Syarif Mekah sebagai hasil dari misi khusus yang dikirim olehnya untuk tujuan itu ke Tanah Suci. Sementara itu, kesultanan Aceh terkenal mempunyai hubungan erat dengan pemerintah Turki Ustmaniyyah dan Haramain. Begitu juga Palembang (Sumatera) dan Makasar yang turut menjalin hubungan khusus dengan penguasa Mekah. Pada ketika itu, para penguasa Mekah merupakan sebahagian dari Khilafah Utsmaniyyah yang berpusat di Turki.

Dari penggunaan istilah, kesultanan Islam di Nusantara sering mengaitkan dirinya dan tidak terpisah dari kekhalifahan. Beberapa kitab Jawi klasik mencatatkan perkara ini. Hikayat Raja-raja Pasai (hal. 58, 61-62, 64), misalnya, memanggil nama rasmi kesultanan Samudra Pasai sebagai “Samudera Dar al-Islam”. Istilah Dar al-Islam juga digunakan di dalam kitab Undang-undang Pahang untuk memanggil kesultanan Pahang. Nur al-Din al-Raniri, dalam Bustan al-Salatin (misalnya, pada hlm. 31, 32, 47), menyebut kesultanan Aceh sebagai Dar al-Salam. Istilah ini juga digunakan di Pattani ketika pemimpin setempat, Paya Tu Naqpa, masuk Islam dan mengambil nama Sultan Ismail Shah Zill Allah fi-Alam yang bertakhta di negeri Pattani Dar al-Salam (Hikayat Patani, 1970:75).

Dalam ilmu politik Islam klasik, dunia ini terbahagi dua, yaitu Dar al-Islam dan Dar al-Harb. Dar al-Islam merupakan daerah yang diterapkan hukum Islam dan keamanannya ada pada tangan kaum Muslim. Sedangkan Dar al-Harb adalah lawan dari kata Dar al-Islam. Penggunaan istilah “Dar al-Islam” atau “Dar al-Salam” menunjukkan bahawa para pemerintah Melayu menerima konsep geopolitik Islam tentang pembahagian dua wilayah dunia itu. Konsep geopolitik ini semakin jelas ketika bangsa-bangsa Eropah —dimulai oleh “bangsa Peringgi” (Portugis) yang kemudian disusul bangsa-bangsa Eropah lainnya, khususnya Belanda dan Inggeris— mulai bermaharajalela di kawasan Lautan India dan Selat Melaka (Sulalat al-Salatin, 1979:244-246). Mereka melakukan penjajahan fizikal dan menyebarkan agama Kristian.

Khilafah Turki Utsmaniyah, seperti disebutkan oleh orientalis, Hurgronje (1994, halaman 1631), bersifat pro-aktif dalam memberikan perhatian kepada penderitaan kaum Muslim di Indonesia dengan cara membuka perwakilan pemerintahannya (konsulat) di Batavia pada akhir abad ke-19. Para kedutaan Turki berjanji kepada umat Islam yang ada di Batavia untuk memperjuangkan pembebasan hak-hak orang-orang Arab sederajat dengan orang-orang Eropah. Selain itu, Turki juga akan berusaha supaya seluruh kaum Muslim di Hindia Belanda bebas dari penindasan Belanda.

Lebih dari semua itu, Aceh banyak didatangi para ulama dari berbagai belahan dunia Islam lainnya. Syarif Mekah mengirim utusannya ke Aceh seorang ulama bernama Syekh Abdullah Kan’an sebagai guru dan muballigh. Sekitar tahun 1582, datang 2 orang ulama besar dari negeri Arab, yakni Syekh Abdul Khayr dan Syekh Muhammad Yamani. Di samping itu, di Aceh sendiri lahir sejumlah ulama besar, seperti Syamsuddin Al-Sumatrani dan Abdul Rauf al-Singkeli.

Abdul Rauf Singkel mendapat tawaran dari Sultan Aceh, Safiyat al-Din Shah menjadi Kadi dengan gelaran Qadi al-Malik al-Adil yang kosong kerana Nur al-Din Al-Raniri kembali ke Ranir (Gujarat). Setelah melakukan berbagai pertimbangan, Abdul Rauf menerima tawaran tersebut. Beliau menjadi qadi dengan sebutan Qadi al-Malik al-Adil. Abdul Rauf telah diminta oleh Sultan untuk menulis sebuah kitab sebagai rujukan (qaanun) penerapan syariat Islam. Buku tersebut kemudian diberi judul Mir’at al-Tullab.


Berbagai kenyataan sejarah tadi menegaskan adanya pengakuan dan hubungan erat antara Alam Melayu dengan Khilafah Uthmaniyah. Bahkan, bukan hanya hubungan persaudaraan atau persahabatan tetapi adalah hubungan “kesatuan” sebahagian dari Khilafah Utsmaniyah (Dar al-Islam). Berdasarkan penjelasan diataslah “Ad-Daulatul Islamiyyah Melayu” (DIM mengklaim sebagai “Khilafah Islamiyyah” pelanjut kekhalifahan Turky Utsmaniyah yang runtuh pada tahun 1924 M oleh agen Zionis Israel Mustafa Kamal Attaturk.


-Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau Negara Islam Iraq dan Syria atau IS kemudian berubah menjadi “Khilafah Islamiyyah” yang dideklarasikan oleh Abu Bakar Al Bagdady pada awal Ramadhan 2014 yang bermarkas diSyam, Bagi ikhwan yang waktu itu mungkin melihat langsung agresi Amerika Serikat ke Irak tahun 2003 melalui chanel Tv pastilah mengetahui hasil dari agresi tersebut.  Alasan awal AS adalah melucuti senjata pemusnah massal yang diduga dimiliki oleh negaranya Saddam Husein (kala itu).  Tapi tidak terbukti,  Namun dicari alasan lain yaitu demokratisasi dan akhirnya pemerintah Saddam Husein berhasil dijatuhkan dan Saddam Husien dieksekusi  mati oleh pengadilan ala AS.


Setelah peristiwa tersebut munculah gerakan-gerakan perlawanan secara sporadis untuk menganggu eksistensi AS di Irak. Kelompok-kelomok itulah yang menjadi pioner ISIS hingga saat ini. Pada tanggal 13 Oktober 2006, di deklarasikan ISI (Islamic State of Iraq) dengan tujuan untuk menyatukan kelompok-kelompok jihad di Iraq yg terdiri antara lain: Al Qaeda Iraq, Jaisy Thoifah Manshuroh, Saroya Anshor Tauhid, Saroya Jihad Islami, Saroya Al Ghuroba, Kataib Al-Ahwal, Jaisy Anshar Al-Sunnah Wal Jama’ah dan Kataib Al Murobithin.

Terpilih sebagai Amir Pimpinan ISI adalah Abu Umar Al Baghdady yang mendapat pengakuan dari Usamah bin Laden (Al Qaeda) dan Mullah Umar Mujahid “Amir Imarah Islam Afghanistan”.  Namun pada tahun 2010, Abu Umar Al Baghdady tewas sehingga kepemimpinan diambil alih oleh Abu Bakar Al Baghdady.  Basis-basis utama perlawanan mereka berada di daerah Al Anbar, Jabur, Diyala, Mosul hingga Kirkuk. Banyak mujahid yang bergabung menjadi tentara ISI, termasuk dari Suriah dengan tokohnya Abu Muhammad Al Jaulani.

Periode Revolusi Suriah (2011)
Sebagai dampak Arab Spring yang berhasil mengganti beberapa penguasa di Timur Tengah maka Suriah sebagai salah satu negara didalamnya juga tidak ketinggalan terkena dampak dari Arab Spring tersebut. Pada Maret 2011, pemerintahan Presiden Suriah Baasyar Al Asad harus membuka perang saudara secara terbuka kepada para pengikut Islam Sunni yang ingin Al Asad mundur dari posisinya sebagai Presiden. Dari sinilah pergerakan ISI menyebar ke Suriah.  Tepatnya medio Agustus 2011, Abu Muhammad Al Jaulani bersama 8 orang tentara ISI asal Suriah berpindah tugas ke Suriah dan membentuk Jabhah Nusrah (Al-Nusra Front). Menurut klaim ISI, Jabhah Nusrah lahir dari tentara ISI dan merupakan perpanjangan ISI di Suriah. Jabhah Nusrah berkembang pesat dan mendapat dukungan besar dari rakyat Suriah serta berhasil mengkonsolidasikan milisi-milisinya lainnya di Suriah.

Masuknya ISI ke Suriah dan Pendeklarasian ISIS (2014)
Abu Muhammad Al Jaulani berbai’at kepada Syaikh Aiman Al Zawahiry (Amir Al Qaeda) dan Jabhah Nusrah menjadi cabang Al Qaeda di Suriah. Pada 2013, ISI melakukan pelebaran wilayah kekuasaan ke Suriah dan mendeklarasikan ISIS (Islamic State Iraq and Syam). Pada tanggal 29 Juni 2014 (1 Ramadhan 1435 H), ISIS melalui juru bicaranya Abu Muhammad Al-Adnaniy menyatakan pembubaran ISIS dan mendeklarasikan berdirinya “Khilafah Islamiyyah” dengan  nama “Ad Daulah Al Islamiyyah” dengan Amir Abu Bakar Al-Bagdady serta wilayah kekuasaannya dari Provinsi Aleppo di Suriah hingga Provinsi Diyala di Irak. 

Jika benar Islamic State of Iraq dan Syam (ISIS) itu adalah Khilafah ‘Alaa Minhajin Nubuwwah yang di janjikan, Lalu kenapa (ISIS) membuat teror bak film horor dengan melakukan penghancuran rumah-rumah Ibadah serta situs warisan Dunia,Serta membunuh tanpa ampun baik Muslim yang tidak berpihak maupun Non Muslim, Padahal Islam tidak mengajarkan hal yang demikian itu,Islam adalah agama yang Indah,Islam adalah agama yang penuh cinta damai, dan Islam adalah agama yang “Rahmatan Lil Alamin” sebagai mana yang difirman oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:

 وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan Kami tidak mengutus engkau melainkan untuk menjadi rahmat semesta alam”. (Q. S. Al-Anbiya :107)
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada seluruh ummat manusia sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya”.(Q.S. Saba' : 28)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
 ان اول ما يحكم بين العباد فى الدماء (رواه البخارى ومسلم والنسائى وبن ماجه والترمذى
Kasus yang pertama diadili di hadapan Allah pada hari kiamat ialah masalah darah (pembunuhan)”( Hadits riwayat Bukhari, Muslim, An-Nasai, Ibnu Majah dan Turmudzi).

“Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya”. (QS. 5 : 32).

Pengertian Islam terhadap jiwa manusia ini, memacu pada pemeluknya untuk menghormati kehidupan manusia, dan tidak diperkenankan melukai atau menyakiti orang lain.Islam menjelaskan bahwa membunuh orang lain tanpa hak termasuk perbuatan dosa besar. Bagi pelakunya berhak menghuni neraka untuk selama-lamanya. 

Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an sehubungan dengan masalah membunuh jiwa ini : “Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina”. (QS. 25 : 68 – 69).
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
 إجتنبوا السبع الموبقات وعدد منها قتل النفس التى حرم الله الا بالحق (رواه البخار و مسلم

 “Jauhilah olehmu tujuh hal yang merusak”. Kemudian Rasulullah menghitungnya satu per satu, dan salah satu diantaranya ialah : “Membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang hak”( Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).

Islam tidak bertanggungjawab terhadap tindakan orang yang menganiaya orang-orang saleh dan orang-orang yang tak bersalah, sekalipun orang tersebut bukan pemeluk agama Islam.Untuk itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

 من قتل نفسا معاهدا لم يرح رائحة الجنة, وان ريحها يوجد من مسيرة أربعين عاما (رواه البخارى

Barangsiapa yang membunuh kafir dzimmy, ia takkan cium baunya surga, sedangkan bau surga itu bisa tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun”( Hadits riwayat Bukhari).

Kafir dzimmy ialah pengikut agama lain yang telah berjanji akan hidup berdampingan dengan kaum muslimin saling bantu membantu dengan mereka. Orang-orang Yahudi dan orang-orang yang masehi yang hidup di negara kaum muslimin, mereka dinamakan ahli dzimmah. Mereka itu berada dalam tanggungan Allah dan Rasul-Nya; tidak boleh dianiaya dan kita harus melindungi mereka selagi menempati perjanjiannya dengan kaum muslimin. 

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: menjelaskan dosa orang yang menganiaya kafir dzimmy :
 من قتل قتيلا من أهل الذمة لم يرح رائحة الجنة وان ريحها ليوجد من مسيرة أربعين عاما (رواه الإمام احمد
Barang siapa membunuh seorang kafir dzimmy, tak dapat mencium baunya surga. Dan sesungguhnya bau surga itu dapat dicium dalam jarak perjalanan empat puluh tahun”( Hadits riwayat Imam Ahmad).

Islam mengecam keras pembunuh orang Islam dan ia akan mendapat hukuman yang paling berat di hari kiamat. Allah berfirman mengenai orang yang membunuh orang Islam: 

Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinyaserta menyediakan azab yang besar baginya”. (QS. 4 : 93).

Ada empat hal yang telah disediakan Allah bagi pembunuh seorang muslim. Dan apabila satu hal saja di antara empat hal tersebut diamati, akan membuat bergidiknya bulu kuduk lantaran saking mengerikan. Apalagi kalau berkumpul menjadi satu dengan seseorang, tentu tak terbayang kengeriannya. Keempat hal tersebut ialah : kekal menjadi penghuni neraka, murka Allah, laknat Allah dan terakhir telah disediakan siksaan yang besar baginya.

Kembali pada System Khilafah


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ تَكْثُرُ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
 “Dahulu bani Israil selalu dipimpin oleh para Nabi, setiap meninggal seorang Nabi diganti oleh Nabi lainnya, sesungguhnya setelahku ini tidak ada Nabi dan akan ada setelahku beberapa khalifah bahkan akan bertambah banyak, sahabat bertanya: ”Apa yang tuan perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab: ”Tepatilah bai’atmu pada yang pertama, maka untuk yang pertama dan berikan pada mereka haknya. Maka sesungguhnya Allah akan menanya mereka tentang hal apa yang diamanatkan dalam kepemimpinannya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah, Shahih Muslim dalam Kitabul Imaroh: II/132, Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah II/204. Lafadz Muslim)

Hadits ini di samping menginformasikan kondisi Bani Israil sebelum Rasulullah Sallallahu ‘alahi wa sallam diutus sebagai Rasul dan Nabi terakhir yang selalu dipimpin oleh para Nabi, juga merupakan Nubuwwah Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam tentang peristiwa yang akan dialami umat Islam sepeninggal beliau.Nubuwwah adalah pengetahuan yang diberikan oleh Allah kepada Rasulullah Sallallahu ‘alahi wasallam tentang peristiwa yang akan terjadi diakhir zaman .

Pada hadits ini Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam menjelaskan bahwa sepeninggal beliau umat Islam akan dipimpin oleh para khalifah, seperti Bani Israil dipimpin oleh para Nabi. Para khalifah ini akan memimpin umat Islam seperti para Nabi memimpin Bani Israil hanya saja mereka tidak menerima wahyu.

Demikianlah penjelasan singkat mengenai beberapa harokah Islam yang mengklaim sebagai “Khilafah Islamiyyah” setelah kehadirannya kembali Jama’ah Muslimin (Hizbullah) sebagai wujud “Khilafah ‘Alaa Minhajin Nubuwwah” priode khilafah Akhir Zaman.




Kamis, 09 April 2015

Usaha Penyatuan Muslimin Setelah Keruntuhan Turky Utsmaniyyah



Dipublikasikan Oleh: Agus Zainal Asikin

Usaha penyatuan muslimin kembali setelah keruntuhan Utsmaniyyah, yaitu setelah Perang Dunia I, pernah dilakukan oleh kaum muslimin. Di India, Syaukat Ali dan saudaranya, Muhammad Ali, berusaha untuk mengisi kevakuman kepemimpinan muslimin, yang disebut oleh pihak Barat sebagai, “Gerakan mendirikan khilafah kembali (Khilafah Movement)*.” Akan tetapi, karena pemahamannya politik, usaha tersebut menemui jalan buntu. 

Di Indonesia, usaha gerakan penyatuan muslimin dilakukan oleh pemuka kaum muslimin bersama Wali Al Fattaah. Akan tetapi bersifat temporer. Inisiatif dari H Oemar Said Tjokroaminoto (1299-1352 H/1882-1934 M), dalam satu kongres yang bersifat Nasional di Surabaya pada bulan Jumadil Awal 1343 H/Desember 1924 M. Hal ini menunjukkan adanya satu rasa penyatuan muslimin. Usaha tersebut diikuti dengan pengiriman utusan muslimin Indonesia ke Kongres Islam sedunia di Mekkah, Saudi Arabia, pada bulan Dzulqa’dah 1334 H (Juni 1926) atas prakarsa Raja Ibnu Sa’ud**. Utusan dari Indonesia adalah Oemar Said Tjokroaminoto dari Syarekat Islam dan K. H. Mas Mansur dari Muhammadiyah. Keduanya menghadiri kongres tersebut bersama peserta muslimin dari berbagai negeri Islam dan hadir pula saat itu Abdul Karim Amrullah, ayah Hamka*. Akan tetapi, usaha kongres tersebut lagi-lagi mengalami kebuntuan karena para peserta terkesan memusyawarahkan masalah politik. Hal ini ditolak Saudi Arabia yang menegaskan bahwa kongres tersebut hanya membicarakan masalah Islam dan muslimin, bukan politik. Akhirnya, para peserta kongres pun pulang ke tanah airnya masing-masing dengan tidak berhasil mewujudkan apa yang menjadi cita-cita mereka. 

Segala usaha tersebut sebenarnya ditujukan untuk mengisi kevakuman kepemimpinan setelah berakhirnya Mulkan Utsmaniyah. Hal yang menunjukkan, bahwa ummat Islam lazimnya memiliki pimpinan dalam menghadapi dunia Barat atau Timur dan tujuan politik lainnya. Akan tetapi alasan-alasan itu tidaklah kuat. Alasan yang kuat adalah kehendak untuk melaksanakan Islam secara kaaffah dalam memenuhi perintah Allah berdasarkan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang terlepas sama sekali dari ikatan dan tujuan politik.

Ditetapinya Kembali Wadah Kesatuan Muslimin
Jama’ah Muslimin Ditetapi Kembali Setelah Muktamar Masyumi IV di Yogyakarta dan Kongres Muslimin Seluruh Indonesia (1-5 Rabiul Awal 1369 H/20-25 Desember 1949 M), kami mengadakan pertemuan di kediaman kami di Margo Kridonggo No.16 Yogyakarta. Pertemuan itu antara lain dihadiri oleh Kyai Muhammad Ma’sum, seorang ‘alim ahli hadits, M. Saleh Suaedy, dan Mirza Sidharta dari kalangan pemuda, serta para ikhwan lainnya.

Masalah yang dibicarakan adalah penyatuan muslimin secara apa yang tampak pada sistem kepartaian. Namun, pertemuan tersebut, belum mampu menghasilkan cara terbaik untuk menghimpun umat Islam sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Sebagian ikhwan yang hadir mengusulkan untuk mendirikan partai politik. Namun, usul tersebut tidak dapat kami terima, sebab pendirian partai politik hanyalah mencari kedudukan melalui jalan lain, dan ini tidak ada artinya dalam ad-Dien. Dan jika mendirikan partai politik sesudah ada partai politik Islam, ini bukan lagi masalah prinsip, tetapi masalah kursi.

Kami terus mencari serta meneliti tentang cara Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menghimpun muslimin dalam memperhambakan diri kepada Allah subhanahu wa ta'ala dengan ikhlas dan bersih dari dorongan atau pengaruh politik. Hal ini ditujukan untuk persaksian sejarah, tidak ada maksud lain. Allah mengetahuinya. Demikian juga para ikhwan (rekan seperjuangan Wali Al Fattaah dalam pergerakan Islam dan kemerdekaan/pen) yang masih hidup pun dapat menyaksikan jalan sejarahnya.

Alhamdulillah, dengan pertolongan Allah subhanahu wa ta'ala, pada awal tahun 1372 H (1953 M), mulai tampak bintik-bintik terang. Allah menunjukkan pengertian kepada kami tentang bagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam  bersama-sama umatnya berhimpun mengamalkan wahyu-wahyu Allah dan bentuk kesatuan serta wujud kemasyarakatan Islam.

Dengan takdir serta izin Allah semata, setelah berulang kali didiskusikan dan dimusyawarahkan, pada tanggal 10 Dzulhijjah 1372 H. (20 Agustus 1953 M), ditetapilah Jama'ah Muslimin (Hizbullah) yang sebelumnya bernama Gerakan Islam “Hizbullah”. Ini bukan organisasi, partai, perserikatan dan bentuk lain yang sifatnya politis, melainkan berbentuk Jama’ah.

Ditetapinya kembali Jama'ah Muslimin (Hizbullah) ini merupakan perwujudan ketaatan dalam memenuhi perintah Allah subhanahu wa ta'ala, yang disebutkan dalam Al-Qur`an:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa, dan janganlah kamu mati, melainkan dalam keadaan kamu berserah diri (kepada Allah); Dan berpegang teguhlah kamu pada tali Allah (Al-Qur`an) seraya berjama’ah, dan janganlah kamu berfirqah-firqah. Dan ingatlah oleh kamu akan nikmat Allah, yaitu ketika kamu bermusuh-musuhan, lalu Allah melunakkan hati-hati kamu; kemudian dengan nikmat itu kamu menjadi bersaudara, padahal kamu telah berada di tepi jurang Neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu sekalian, mudah-mudahan kamu mendapat petunjuk.” (Q.S. Ali ‘Imran: 102-103)

Juga hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyebutkan, “…Tetaplah engkau pada Jama'ah Muslimin dan Imam mereka!" Sebagaimana hadits Nabi yang lengkapnya sbb:

“Dari Hudzaifah bin Al-Yaman radliallahu 'anhu, ia berkata, ”Orang-orang bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau dari hal keburukan karena aku khawatir keburukan itu akan menimpa diriku. Aku bertanya: ”Ya Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu berada dalam kejahiliyahan dan keburukan, lalu Allah mendatangkan kebaikan ini (Islam) kepada kami. Apakah sesudah kebaikan ini, akan ada lagi keburukan?” Rasul menjawab: “Ya!” Aku bertanya: “Dan apakah sesudah keburukan itu ada lagi kebaikan?” Rasul menjawab: “Ya, dan di dalamnya ada kekeruhan (dakhan).”Aku bertanya: “Apakah kekeruhan itu?” Rasul menjawab: “Yaitu orang-orang yang mengambil petunjuk bukan dengan petunjukku. Dalam Riwayat Muslim, ”Kaum yang berperilaku bukan dari sunnahku dan orang-orang yang mengambil petunjuk bukan dengan petunjukku, engkau ketahui dari mereka itu dan engkau ingkari.” Aku bertanya: “Apakah sesudah kebaikan itu akan ada lagi keburukan?” Rasul menjawab: “Ya, yaitu adanya penyeru-penyeru yang mengajak ke pintu-pintu Jahannam. Barang siapa mengikuti ajakan mereka, maka mereka melemparkannya ke dalam Jahannam itu” Aku bertanya: “Ya Rasulullah, tunjukkanlah sifat mereka itu kepada kami.” Rasul menjawab: “Mereka itu dari kulit-kulit kita dan berbicara menurut lidah-lidah (bahasa) kita.” Aku bertanya: “Apakah yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menjumpai keadaan seperti itu?” Rasul bersabda: “Tetaplah engkau pada Jama'ah Muslimin dan Imam mereka!” Aku bertanya: “Jika tidak ada bagi mereka Jama’ah dan Imam?” Rasul bersabda: “Hendaklah engkau keluar menjauhi firqah-firqah itu semuanya, walaupun engkau harus  menggigit akar kayu hingga kematian mendatangimu, engkau tetap demikian.”(HR. Bukhari dan Muslim. Shahih Bukhari, Kitabul Fitan, bab Kaifa Amru Idza lam Takun Jama’atun, juz 4 halaman 225. Shahih Muslim, Kitabul Imarah, Bab Amr biluzumil Jama’ah Inda Zhuhuril Fitan, juz 2 halaman 134-135. Sunan Ibnu Majah, Kitabul Fitan, juz 2 halaman 1317, hadits nomor 3979).

Surat Ali ‘Imran ayat 103:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

Japat dijadikan suatu pegangan bahwa Allah sendiri yang memperingatkan kepada muslimin, sejak diturunkannya ayat tersebut sampai hari kiamat. Peringatan tersebut ialah agar muslimin berpegang teguh pada tali Allah, yaitu Al-Qur`an, dalam keadaan “Jami’an” dan jangan berpecah belah.

Sebagian mufasirin dengan tegas menjelaskan jami’an dengan berjama’ah. Itulah sebabnya kata jami’an diikuti kalimat walaa tafarraquu yang artinya, “Jangan kamu berpecah belah.” Namun, sekarang ini jami’an hanya diartikan kamu sekalian, bukan dalam arti keadaan berjama’ah, sehingga pengertian kalimat walaa tafarraquu menjadi keliru. Jadi, ada kata-kata, “Janganlah berpecah belah, bergolong-golongan, atau terpisah satu sama lain, berfirqah-firqah (yang merupakan mahfum mukhallafah atau larangan sebaliknya dari perintah wajibnya berjama’ah).” 

Jama’ah tidak hanya jama’ah shalat atau jama’ah haji saja, melainkan kebersamaan kaum muslimin dengan satu Imamnya. Kebersamaan kaum muslimin secara berkelompok-kelompok bukan merupakan Jama’ah yang dicontohkan  Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

Surat Ali Imran ayat 102-103 dan hadits Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam di atas mengandung satu kesatuan muslimin dengan satu pimpinan pula. Kalau menurut teori umum, ini berarti menyatupadukan muslimin sebagaimana yang dikehendaki Allah, seperti yang digambarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam haditsnya: 
Perumpamaan mukminin dalam belas kasih dan hubungan mereka bagaikan satu tubuh. Apabila satu     anggota tubuh menderita, menjalarlah penderitaan itu ke seluruh tubuh sehingga tidak bisa tidur dan (merasa) panas.” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Nu’man bin Basyir radliallahu 'anhu; Shahih Bukhari, Darul Ma’rifah, Beirut, 1978 bab Rahmatunnasi wal Baha-im, juz 4 halaman 53. Shahih Muslim, bab Tarahumul mu’minin wa ta’athufihim wa ta’adlu dzihim, juz 2 halaman 431)
Rasulullah pun menyatakan bahwa ikatan muslimin itu bagaikan bangunan yang saling menguatkan. Beliau bersabda: “Seorang mukmin pada sesama mukmin itu bagaikan bangunan yang sebagian menguatkan bagian lainnya.” (HR.. Bukhari dan Muslim dari Abu Musa radliallahu 'anhu. Shahih Bukhari, bab Ta’awanul mu’minin ba’dhuhum ba’dha, juz 4 halaman 55, Shahih Muslim, bab Tarahumul mu’minin wa ta’athufihim wa ta’adlu dihim, juz 2 halaman 431).

Hadits ini menunjukkan bahwa Jama’ah Muslimin adalah bersatunya kaum muslimin laksana satu tubuh. Jika sebagian muslimin menderita, akan dirasakan penderitaannya itu oleh seluruh kaum muslimin.

Firman Allah subhanahu wa ta'ala dan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yang memerintahkan kaum muslimin untuk menetapi satu Jama’ah dengan satu Imamnya juga mengandung satu arti konsolidasi. Kaum muslimin yang kini telah terpecah-belah menjadi firqah-firqah -dengan berbagai corak, seperti politik, sosial, dan ubudiyah-, agar menjadi satu ummat. Satu Jama’ah dengan motif mencari rahmat Allah, ridla Allah, memenuhi perintah Allah dan Rasul-Nya, serta melaksanakan Kitab-Nya, Al-Qur`an. Bukan bermotif ekonomi, sosial, politik, dan lain-lainnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Bahwasanya dari hamba-hamba Allah, ada orang-orang yang mereka itu bukan Nabi bukan pula syuhada. Mereka menyerupai Nabi-Nabi dan syuhada-syuhada dalam kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah mereka itu? ”Rasulullah bersabda, “Mereka adalah suatu kaum yang berkasih-kasihan karena rahmat Allah, bukan karena hubungan kekeluargaan dan bukan pula karena harta benda yang saling memberikan di antara mereka. Maka demi Allah, sesungguhnya wajah-wajah mereka itu nur dan bahwa mereka itu di atas nur dan tidaklah mereka gentar tatkala orang-orang merasa takut, dan tidaklah mereka bersedih hati ketika manusia bersedih hati.” Kemudian Rasulullah membaca ayat, “Ketahuilah bahwa kekasih-kekasih Allah itu tidak gentar dan tidak pula mereka itu bersedih.” (HR.. Abu Dawud dari Umar bin Khaththab, Sunan Abu Dawud, bab Rahn, juz 3 halaman 288 hadits nomor 3527).

Menetapi Jama’ah Muslimin dan Imamnya adalah sesuai dengan wajibnya ada pimpinan bagi umat Islam sedunia dan wajib adanya Jama’ah yang menyertainya. Dimana Muslimin Kini Berada?
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Masa kenabian itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia menghendaki untuk mengangkatnya. Selanjutnya adalah masa Khilafah yang mengikuti jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah), adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia menghendaki untuk mengangkatnya. Selanjutnya masa kerajaan yang menggigit (Mulkan Adlan), adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia menghendaki untuk mengangkatnya. Setelah itu,  masa kerajaan yang menyombong (Mulkan Jabariyyah), adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia menghendaki untuk mengangkatnya. Selanjutnya adalah masa Khilafah yang mengikuti jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah). Kemudian beliau (Nabi) diam.” (H.R. Ahmad dan Baihaqi dari Nu’man bin Basyir dari Hudzaifah. Misykatul Mashabih: Bab Al-Indzar wa Tahdzir, Al Maktabah Ar Rahimiah, Delhi, India, halaman 461. Musnad Ahmad, Juz 4 halaman

Dalam hadits ini disebutkan keadaan yang timbal balik, yaitu keadaan yang paling baik dan keadaan yang paling buruk, kemudian kembali dalam keadaan baik. Perubahan dari keadaan buruk menjadi keadaan baik kembali memerlukan  perubahan yang bersifat mental, moral, dan ilmu. Apabila zaman kerajaan yang menyombong (Mulkan Jabariyyah), zaman yang paling buruk itu telah hilang, menurut hadis tersebut akan datang satu zaman yang disebut Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, kekhalifahan yang menempuh jejak kenabian.

Mengenai situasi perubahan dan peningkatan dari keadaan buruk sampai terwujudnya kembali zaman Khilafah, tergambar dengan jelas pada hadits yang diriwayatkan oleh Hudzaifah bin Al-Yaman radhiallahu 'anhu. Hadits ini menunjukkan, bahwa satu-satunya jalan untuk mewujudkan Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah adalah dengan melaksanakan perintah Rasulullah: 
Tetaplah engkau pada Jama’ah Muslimin dan Imam bagi mereka.”
Kecuali, bila peningkatan maksimal itu sudah tidak memungkinkan lagi -karena arus kejabariyyahan masih menderas, baik yang langsung melanda fisik, maupun yang melanda mental, yaitu meliputi bidang ilmu dan cara berpikir-, maka muslimin diperintah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk: “Tinggalkan semua cara-cara (firqah-firqah), yang mencerai-beraikan umat itu! ”Berdasarkan akhir dari dua hadits:
sehingga tidak ada lagi ciri-ciri muslimin dalam masyarakat. Ini artinya manusia akan menghadapi kerusakan secara total, atau tegasnya Kiamat (wallahu ‘alam bish shawwab).

Sekarang timbul pertanyaan, “Dalam fase manakah kita dewasa ini?”Secara historis, dewasa ini kita berada dalam fase Khilafah dan Jama’ah. Karena itu, janganlah kita melewatkan fase tersebut, walau zaman yang sedang kita hadapi di dalamnya terjadi berbagai kerusakan dan hal-hal lainnya yang merugikan kaum muslimin di seluruh dunia. Insya Allah, kita belum sampai pada fase terakhir, yakni fase i’tizal.

Dengan memperhatikan sungguh-sungguh peredaran tarikh Islam sejalan dengan peredaran sejarah dunia, Insya Allah, kenyataan menunjukkan mulkan-mulkan itu telah berlalu. Di kalangan muslimin, mulkan-mulkan itu berakhir pada zaman ‘Utsmaniyyah di Turki dan Insya Allah, sesudah itu tidak ada lagi fungsi semacam kerajaan dalam memimpin ummat Islam. Di dunia Barat pun kita jumpai satu demi satu kerajaan atau monarki tumbang dan beralih pada demokrasi.

Mulkan-mulkan atau kerajaan Islam yang ada pada saat ini hanya tinggal beberapa buah saja. Dan lagi, bila ditinjau dari peredaran tarikh Islam itu sendiri, kerajaan-kerajaan itu hanyalah sisa-sisa dari mulkan-mulkan yang disabdakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian beralih ke zaman Khilafah, yaitu Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Zaman ini adalah zaman furqan, pemisah. 

Kalau muslimin cenderung pada sistem Barat, mereka beralih pada demokrasi. Sebaliknya, bila cenderung pada Islam, mereka  akan kembali pada apa yang dikehendaki Allah subhanahu wa ta'ala dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu pada sistem kenabian atau Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah

Tarikh Ditetapinya Kembali Jama’ah Muslimin (Hizbullah) 
Pada awal tahun 1950-an, kubu-kubu masyarakat di Indonesia, baik muslim maupun nonmuslim, gemar mendirikan banyak partai, sebagai pelaksanaan teori kepartaian yang disebut sistem banyak partai (multipartai stelsel). Para pemuka muslimin umumnya beranggapan bahwa satu-satunya alat untuk menghimpun muslimin dalam usaha meraih cita-cita mereka, hanyalah dengan penerapan sistem kepartaian, yang bayi pertamanya lahir dari pangkuan masyarakat Inggris.

Adapun menghimpun masyarakat Islam dengan sistem Jama’ah dan Imamah masih terpendam dan dilupakan dari alam pikiran mereka. Orang dapat meletakkan segala kesalahan itu di atas pundak para ulama karena tidak mengungkapkan pengertian Jama’ah dan Imamah menurut syari’at Islam kepada khalayak ramai, terutama kepada para santrinya yang kelak akan menjadi pemuka ummat. Akan tetapi, kalau diselidiki secara lebih mendalam, ada beberapa sebab yang menghalanginya sehingga mereka menganggap bahwa hal itu tak mungkin dapat dilaksanakan, yaitu: 
- Adanya guru ordonansi pada zaman Hindia Belanda yang mewajibkan ulama untuk minta izin dulu kepada penguasa sebelum mereka memberikan pelajaran agama kepada muridnya.
- Adanya penyaringan dalam menentukan pelajaran-pelajaran yang boleh dan tidak boleh diajarkan.
- Adanya pengertian, terutama dari golongan orientalis, bahwa masalah Jama’ah dan Imamah tergolong satu bab dalam bidang politik. Akibatnya, apabila bab tersebut diajarkan kepada para pelajar di pondok pesantren, pondok pesantren yang bersangkutan akan ditutup oleh pihak penjajah.
- Ada dalam genggaman Allah subhanahu wa ta'ala semata, segala qudrat dan iradat yang Allah miliki.

Keempat sebab tersebutlah yang menjadi alasan utama para ‘alim merasa terbelenggu untuk memberikan pelajaran tentang beberapa bab dienul Islam, termasuk bab Jama’ah dan Imarah atau Imamah, bab jinayat, dan babul jihad. Juga beberapa kitab tentang Islam yang dicetak di luar negeri yang dapat membuka mata hati kaum muslimin dan membangkitkan roh Islam untuk melawan kezhaliman serta menyingkirkan fitnah penjajah. Itulah sebabnya pemerintah Hindia Belanda tidak segan-segan untuk melarangnya. 

Iklim kolonial yang dirasakan sangat mencekam jiwa para alim itu pula yang akhirnya menghasilkan suatu akibat besar yang merugikan kaum muslimin. Sebab, para pemuka ummat waktu itu, bahkan setelah Indonesia merdeka, diliputi kabut gelap yang cukup kelam dalam memahami arti Jama’ah dan Imamnya sepanjang syari’at Islam, yang berlandaskan dalil-dalil qath’iy dari Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah.

Ketika kami perdengarkan gerakan Islam yang disebut Hizbullah berbentuk Jama’ah dan Imamnya pada 10 Dzulhijjah 1372 H. (20 Agustus 1953 M), reaksi pertama yang muncul dari para alim itu ialah sikap acuh tak acuh dan secara sinis mereka berkata,  “Wah, apa-apaan pak Wali ini. Kita mau dibawanya kemana? masa kita mau dibawa kembali ke zaman unta?” Astaghfirullah. Seandainya sikap itu diucapkan oleh seorang ateis/komunis, bahkan dengan sikap yang lebih buruk daripada sikap itu, dapat kita pahami. Akan tetapi, reaksi tersebut justru muncul dari orang yang lidah dan bibirnya pernah digerakkan untuk mengucapkan kalimat syahadat, bahkan tergolong dalam barisan kader inti salah satu partai politik Islam. Sekalipun demikian, kalangan Hizbullah menyambut reaksi tersebut dengan senyum. Hizbullah sama sekali tidak marah, selain mengucapkan istighfar.

Bagaimana pula reaksi para kader inti tersebut apabila mendengar salah satu atsar dari Amirul Mukminin ‘Umar bin Khaththab, yang menegaskan bahwa:

إِنَّهُ لَا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ {رواه الدارمي: 1/79}

 “Sesungguhnya tidak ada Islam melainkan dengan Jama’ah, dan tiada Jama’ah melainkan dengan Imarah, dan tiada Imarah melainkan dengan taat.” (H.R. Ad Darimy dari Ad Daary. Sunan Ad Darimy, bab Fi Dzihabil ‘Ilmi, Darul Fikr, Kairo, Msir, 1398 H/1976 M. Juz 1 halaman 79).

Akankah ia membantah ucapan ‘Umar bin Khaththab radiallahu ‘anhu itu? Masihkah mereka bersikap acuh tak acuh serta melontarkan kata-kata sinis? Apakah tindakan ‘Umar bin Khaththab, seandainya beliau masih berada di tengah-tengah kita? Mudah-mudahan mereka akan mendapat maaf karena memang belum mengerti. 

Untuk lebih memantapkan pengetian tentang Jama’ah dan kepentingannya bagi ummat manusia, khususnya bagi muslimin, perhatikan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:

 أَنَا آمُرُكُمْ بِخَمْسٍ اللَّهُ أَمَرَنِي بِهِنَّ بِالْجَمَاعَةِ وَبِالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَالْهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ الْجَمَاعَةِ قِيدَ شِبْرٍ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الْإِسْلَامِ مِنْ عُنُقِهِ إِلَى أَنْ يَرْجِعَ وَمَنْ دَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ فَهُوَ مِنْ جُثَا جَهَنَّمَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى قَالَ وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى وَزَعَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ فَادْعُوا الْمُسْلِمِينَ بِمَا سَمَّاهُمُ الْمُسْلِمِينَ الْمُؤْمِنِينَ عِبَادَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ {رواه أحمد}

 “Aku perintahkan kepada kamu sekalian (kaum muslimin) dengan lima perkara, sebagaimana Allah telah memerintahkanku dengan lima perkara, yaitu berjama’ah, mendengar, taat, hijrah dan berjihad fie sabilillah. Barang siapa yang keluar dari Al Jama’ah sekadar sejengkal, sungguh terlepas ikatan Islam dari lehernya sampai ia kembali (tobat). Dan barang siapa yang menyeru dengan seruan jahiliyyah, ia termasuk orang yang bertekuk lutut dalam Jahanam.”Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, jika dia shaum dan shalat dan mengaku dirinya muslim? Sekalipun dia shaum dan shalat, serta mengaku dirinya seorang muslim. Maka panggilah olehmu orang-orang muslim itu dengan nama yang Allah telah berikan kepada mereka, “Al Muslimin, Al Mukminin, hamba-hamba Allah azza wa jalla.” (HR.. Ahmad dari Harits Al Asy’ari. Musnad Ahmad, juz 4 halaman 202, At Tirmidzi, Jami’ush Shahih, Kitabul  Amtsal, bab maa ja-a fi Matsalish Shalati wash-Shiyami wash-Shadaqati, juz 5 halaman 148-149 hadits nomor 2863).

Dan beliau bersabda :

مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً {رواه مسلم}

“Barang siapa yang keluar dari tha’at dan berpisah dari Al-Jama’ah, lalu mati, maka matinya itu laksana mati jahiliyyah.” (H.R. Muslim dari Abu Hurairah. Shahih Muslim, Babul ‘Amri bi luzumil Jama’ah inda Zhuhuril Fitan, juz 2 halaman 135).

Dalam Riwayat Bukhari disebutkan:
 فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً {رواه البخاري عن ابْنَ عَبَّاسٍ}

“Maka sesungguhnya barang siapa yang berpisah dari Al-Jama’ah sekadar sejengkal saja, kemudian ia mati, melainkan matinya seumpama mati jahiliyyah.” (HR. Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas. Shahih Bukhari, Kitabul Fitan, Bab Qaulin Nabi satarauna ba’di umurun tunkirunaha, juz 4 halaman 222).

Dari kedua hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam  ini saja, ditambah dengan atsar dari ‘Umar bin Khaththab, Insya Allah, telah cukup jelas betapa rapat, memadat, dan pentingnya hubungan antara Jama’ah dengan Al-Islam sebagai ad-dien dan muslimin.

Hubungan Jama’ah dengan nama Hizbullah
Sekilas penjelasan tentang hubungan antara Jama’ah dan Hizbullah adalah Gerakan Islam “Hizbullah” berbentuk Jama’ah. Hizbullah bukanlah partai, yang biangnya berasal dari masyarakat Inggris, kemudian berkembang biak ke seluruh Amerika Serikat lalu menyusup ke negeri-negeri jajahan Barat, termasuk Indonesia pada masa pejajahan Hindia Belanda.

Untuk menghindari kesalahpahaman pengertiannya, kami akan menjelaskan penggunaan kata Hizbullah oleh sebagian kaum muslimin di Indonesia, khususnya kaum muslimin yang berada di pulau Jawa, sekaligus untuk mengetahui waktu dan perjuangan yang tepat dari Hizbullah. Bagi mereka yang belum memahami arti Hizbullah, dalam benaknya akan terbayang laskar atau tentara. Sebab, kata atau sebutan Hizbullah pernah dipergunakan sebagaimana laskar dalam perjuangan secara fisik melawan serdadu penjajah Belanda dan Inggris. Bahkan, pada akhir kekuasaan bala tentara pendudukan Jepang di Indonesia di samping pasukan-pasukan Pembela Tanah Air (PETA), ada juga kader-kader inti yang mendapat latihan di Cibarusa, Bogor, khusus bagi para pemuda Muslimin, yang diberi nama Hizbullah. Seorang di antara pelatihnya, kalau kami tidak khilaf, adalah Mr. Kasman Singodimedjo dari PETA. Karena itulah, pengertian Hizbullah selalu dibayangkan sebagai laskar atau tentara. 

Hizbullah pada Akhir Masa Kolonial Belanda
Pada Perang Dunia I (1914-1918), Belanda lebih suka untuk tidak terlibat dalam kancah peperangan dan bersikap netral. Namun, dalam Perang Dunia II (1939 –1945), negeri ini ikut terlibat walaupun mereka lebih suka bersikap netral. 

Pada perang dunia II, strategi Jerman di bawah pimpinan kaum Nazi, Hitler, mempergunakan taktik perang kilat. Secara mendadak pasukan Jerman menyerbu teritorial kerajaan Belanda, kemudian meneruskan ke wilayah Belgia secara cepat, kemudian wilayah perang Perancis, dan bila mungkin, menyeberangi Selat Kanal untuk menyerbu wilayah Inggris.

Karena tidak siap berperang, lagi pula kalau dibanding dengan lawannya, negeri Belanda hanyalah merupakan satu negeri yang kerdil saja, dalam waktu lima hari saja, Belanda menyerah kalah. Kerajaan Belanda tidak lagi terdapat di daratan Eropa. Pemerintahnya lari ke sahabat kentalnya, yaitu Inggris. Kapal perang dan kapal dagangnya yang dapat diselamatkan, dilarikan ke perairan-perairan tetangganya. Selama berkecamuknya Perang Dunia ke-II, tenaga lautan Belanda itu berada di bawah komando Inggris. Wilayah Belanda  yang tertinggal hanya di negeri-negeri jajahannya, yaitu Hindia Belanda, Indonesia sekarang, dan Suriname.

Dalam situasi seperti itu ditambah bayangan menggelembungnya suasana perang di lautan Pasifik, karena Angkatan Darat Jepang telah berada di daratan Cina menuju Selatan, pemerintah Hindia Belanda semakin gelisah, cemas, dan diliputi banyak penyesalan. Mereka merasa sesak napas, tidak terkecuali orang-orang yang berada di Indonesia sebagai tanah jajahannya, bila Hindia Belanda terseret dalam kancah peperangan, dapatkah Hindia Belanda dipertahankan? Politik kolonial Belanda yang sangat kolot dan benar-benar reaksioner tidak memungkinkan mereka untuk merasa aman dan tenteram lahir dan batin, apalagi menghadapi perang dunia secara langsung. Selain itu, pribadi Belanda yang berkulit hitam maupun berkulit putih, tidak dibangun untuk menghadapi musuh luar negeri, melainkan hanyalah menumpas perlawanan penduduk belaka, sekiranya itu terjadi.

Jadi, Belanda sama sekali tidak memiliki kekuatan dan kemampuan untuk berhadapan dengan kekuatan bala tentara Jepang. Belanda dalam situasi sangat kritis. Rakyat Indonesia sendiri, yang sekian lama hidup dalam penindasan serta pemerasan Belanda, tidak dapat diandalkan untuk membantu mereka. 

Patut dicatat, bahwa setiap pemerintahan yang tidak pandai dan tidak memperhatikan nasib rakyat banyak, tidak mencerminkan ketulusan hati nurani, apalagi jika beritikad buruk dengan tindakan zhalim, kejam, kekerasan, dan menindas, lebih buruk lagi jika rakyat dianggap sebagai musuh, maka lambat atau cepat akan ditinggalkan oleh rakyatnya.

Karena itu menjelang runtuhnya kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan perintah untuk membekukan segala perjuangan rakyat, terutama dalam bidang politik, termasuk larangan mengadakan rapat-rapat atau pertemuan. Saat-saat akhir sejarah kolonial Belanda itulah, pengertian Hizbullah untuk pertama kalinya kami dengar, namun baru diberikan maknanya secara ringkas, yaitu kaum yang berpihak kepada Allah. Kami mengimani dan sekuat tenaga untuk mengamalkan maksud-maksudnya. (Hizbullah adalah kaum yang berpihak kepada Allah, termaktub dalam Al-Qur`an, surat Al-Mujadalah ayat 22 dan Al-Maidah ayat 56). Kami mendengar kata Hizbullah dari Syeikh Muhammad Ma’sum, ahli hadits di Yogyakarta, dalam suatu silaturrahmi di kediaman Ustadz Abdul Gaffar, yang ketika itu menjabat Direktur Madrasah Mu’alimin Wal Fajri di Karangkajen, Yogyakarta.  Selain ketiga orang tersebut (Wali Al-Fattaah, Muhammad Ma’sum dan Abdul Gaffar/pen), ada pula ikhwan lainnya, di antaranya ustadz Suhadi, ayah dr. R.H. Su’dan dan Muhammad Ma’sum seorang awam biasa yang sangat gigih berjuang untuk Islam.

Sekiranya pertemuan tersebut diketahui oleh pihak kepolisian Belanda, kemudian digerebeg karena dianggap melanggar peraturan (Belanda) yang melarang rapat atau pertemuan, walaupun pengajian yang termasuk tugas dien, kami sudah memiliki jawabannya, bahwa kami adalah Hizbullah, kaum yang berpihak kepada ALLAH subhanahu wa ta'ala. Pada waktu itu pengertian yang lebih luas atas kata Hizbullah belum diberikan, demikian juga tentang dalil-dalilnya. Akan tetapi, alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ketika kolonialisme Belanda mengakhiri sejarahnya di Indonesia, Hizbullah tidak mendapat kesulitan apa pun. Peraturan larangan mengadakan pertemuan-pertemuan oleh pihak Belanda tetap ada, tetapi karena Allah dan pertolongan-Nya, Hizbullah secara rutin mampu mengadakan pertemuan yang sifat serta isinya pengajian-pengajian.Itulah pokok perkenalan kita untuk pertama kalinya dengan kata Hizbullah, yang selanjutnya, Insya Allah kita termasuk pula di dalamnya. Masya Allah, la haula wa la quwwata illa billah!

Hizbullah pada Zaman Jepang
Perkenalan kedua kali dengan kata Hizbullah terjadi pada saat-saat akhir masa pembentukan bala tentara kerajaan Jepang yang bernama Hizbullah. Bala tentara ini mendapat latihan kemiliteran di Cibarusa Bogor. 

Kata Hizbullah pertama kalinya diusulkan kepada pemerintah pendudukan bala tentara Jepang di Jawa yang berkedudukan di Jakarta, gunsei kanbu. Pada saat itu, Hizbullah diusulkan sebagai nama pasukan beranggotakan para pemuda muslimin yang  hendak dibentuk. Tujuannya adalah setelah runtuhnya kekuasaan kerajaan Jepang dalam Perang Dunia II, dalam menghadapi negara-negara sekutu, khususnya Amerika Serikat, kaum muslimin hendaknya tidak tinggal diam, bahkan bila mungkin memelopori untuk mengangkat senjata. Pada saat itu mulai terbayang usaha meneruskan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Delegasi yang dikirim oleh Hizbullah untuk memajukan konsepsi serta gagasannya kepada gunsei kanbu ialah kami sendiri disertai Ustadz Sulaiman Masulili atau Penawi Tengah, yang kini masih berada di tengah-tengah kita dan  tinggal di Jakarta.*

Pada waktu itu kami tidak mengungkapkan maksud dibentuknya Hizbullah, sebab, bila maksud sepenting itu telah tercium oleh pihak Jepang, dapat diperkirakan, bahwa usulan itu bukan hanya ditolak, bahkan tidak mustahil kami akan dijebloskan ke dalam penjara. Hal ini karena rezim fasisme Jepang yang sangat agresif itu sedang kalap karena terjepit oleh pihak musuhnya, terutama pihak Amerika Serikat sehingga kami akan dianggap meremehkan kekuatan mereka. Di samping itu, mereka merasa khawatir bila kami akan meneruskan perjuangan kemerdekaan bagi nusa dan bangsa Indonesia yang umumnya terdiri dari kaum muslimin.

Alhamdulillah, selama pendudukan bala tentara Kerajaan Jepang di Indonesia, kami dalam keadaan aman dan usulan kami pun disetujui. ini terbukti dengan adanya latihan-latihan kader inti di Cibarusa, Bogor.

Hizbullah pada Masa Kemerdekaan
Perkenalan ketiga dengan kata Hizbullah terjadi beberapa bulan sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia, yakni dengan adanya hasil keputusan Muktamar Umat Islam di Aula Mu’alimin Karangkajen, Yogyakarta. Ketika itu diputuskan untuk membentuk organisasi Masyumi pada tanggal 7 November 1945 M, yang kemudian beralih menjadi partai politik. 

Kata Hizbullah dipergunakan sebagai nama laskar Masyumi, yang terdiri para pemuda muslimin, yang berniat mengusir fitnah penjajahan dengan mengangkat senjata secara fisik. Di samping itu, ada pula laskar lain dari berbagai golongan yang menggunakan nama Hizbullah. Kata Hizbullah sebagai nama laskar yang berjuang secara fisik terus berjalan, hingga terjadinya penyatuan semua laskar yang ada, dengan dibentuknya tentara resmi dari Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan satu ketentaraan saja. Hizbullah, Kaum yang Berpihak kepada ALLAH.

Setelah mengenal kata Hizbullah dengan makna, pertama sebagai suatu “kaum yang berpihak kepada Allah subhanahu wa ta'ala”. Kedua, sebagai “kader inti ketentaraan “ yang mendapat latihan Jepang di Cibarusa, Bogor. Ketiga, sebagai nama laskar dari pemuda-pemuda Muslimin yang berjuang secara fisik pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Kini tibalah saatnya untuk mengenal kalimat Hizbullah, yang sejak 10 Dzulhijjah 1372 H. (20 Agustus 1953 M.) hingga sekarang ini berada dalam suatu gerakan Islam dengan nama dan makna yang satu, yaitu suatu kaum yang berpihak kepada Allah sebagaimana disebutkan dalam kitab suci Al-Qur`an,

 يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ(54)إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ(55)وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ(56)

 “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu murtad dari dien-Nya, maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia ridlai mereka dan mereka pun ridla kepada-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap mukminin dan keras tegas terhadap kafirin. Mereka bersungguh-sungguh di jalan Allah dan tidak takut terhadap celaan manusia yang mencela, demikian itu ialah nikmat Allah, yang Dia berikan kepada siapa yang Dia kehendaki, karena Allah itu Mahaluas pemberian-Nya lagi Mahamengetahui. “Sesungguhnya pimpinan kamu adalah Allah, Rasul-Nya dan mukminin yang menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat dan mereka ruku, tunduk kepada perintah Allah. “Dan barang siapa menjadikan Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang beriman sebagai pimpinan, maka sesungguhnya itulah Hizbullah - Kaum yang berpihak kepada Allah - Hizbullah itulah yang jaya.’’ (QS. Al-Maidah: 54–56)

Selanjutnya kata Hizbullah juga disebutkan dalam surat Al-Mujadalah, ayat 21-22:
 كَتَبَ اللَّهُ لَأَغْلِبَنَّ أَنَا وَرُسُلِي إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ(21)لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ(22)         

  “Allah telah menetapkan, sesungguhnya kejayaan itu bagi-Ku dan Rasul-rasul-Ku. Sesungguhnya Allah itu Mahakuat lagi Mahaperkasa. Tidak engkau dapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian itu saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun mereka itu adalah bapak-bapak mereka atau anak-anak mereka, atau saudara-saudara mereka, atau keluarga mereka. Mereka (orang yang beriman) itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan iman ke dalam hati mereka, dan Allah menguatkan mereka dengan ruh daripada-Nya, dan memasukkan mereka itu ke dalam Jannah, yang mengalir air sungai di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya. Allah ridla kepada mereka dan mereka ridla kepada-Nya. Mereka itulah Hizbullah –kaum yang berpihak kepada Allah. Ketahuilah bahwasanya Hizbullah itulah yang mendapat kebahagiaan.” (QS. Al-Mujadalah: 21–22)
 

Adapun kebalikan Hizbullah disebutkan dalam surat Al-Mujadalah ayat 19 - 20:
 اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَأَنْسَاهُمْ ذِكْرَ اللَّهِ أُولَئِكَ حِزْبُ الشَّيْطَانِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ الشَّيْطَانِ هُمُ الْخَاسِرُون َ(19) إِنَّ الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ فِي الْأَذَلِّينَ(20)

“Setan telah berkuasa atas mereka, lalu ia jadikan mereka lupa mengingat Allah, mereka itu adalah Hizbusysyaithan. Ketahuilah sesungguhnya Hizbusysyaithan itulah orang-orang yang merugi. Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, mereka dalam golongan orang-orang yang sangat hina.” (QS. Al-Mujadalah: 19 – 20)

Semua dalil di atas telah menjelaskan arti atau makna Hizbullah dengan gamblang. Hizbullah bukanlah suatu laskar, bukan pula suatu partai politik atau perserikatan dan perkumpulan biasa, juga bukan semacam dewan-dewanan yang lahir dari karya pikir manusia. Hizbullah adalah suatu kaum atau umat yang berpihak,  tunduk, patuh kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah Al-Jama’ah, sebagaimana yang dimaksudkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka itulah Jama'ah Muslimin, Insya Allah. Allahumma Amin.

Untuk mengetahui bagaimana roh Hizbullah yang pertama kali diperkenalkan di gedung Adhuc Staat, Jalan Taman Surapati nomor 1. Menteng Raya Jakarta (sekarang gedung Bappenas), pada hari raya Iedul Adha, 10 Dzulhijjah 1372 H. (20 Agustus 1953 M), berikut ini dicantumkan ringkasnya: 
Hizbullah berpedoman pada Al-Qur`an dan Sunnatu Rasulillah. Hizbullah berjuang karena Allah, dengan Allah, untuk Allah, bersama-sama segenap kaum muslimin menuju mardlatillah.

Dalam menghadapi suasana yang makin bergolak, Hizbullah menetapkan langkah-langkah asasi (strategis) sebagai berikut:
Pandangan, pendirian, dan sikap hidup muslim: Yakin, bahwa berpegang teguh dan taat melaksanakan pedoman Al-Qur`an dan Sunnatu Rasulillah adalah sumber segala kejayaan dan kebahagiaan.

Ukhuwah islamiyyah: Kesatuan bulat bagi seluruh muslimin yang tidak dapat dibagi-bagi, dipisah-pisahkan, apalagi diadudombakan, sebagai perwujudan ukhuwah islamiyah, baik dalam kemudahan atau dalam kesukaran dan perjuangan. 

Kemasyarakatan: Berpihak pada kaum dlaif (lemah, tertindas, teraniaya), menegakkan keadilan.

Sikap terhadap lain-lain golongan: Tegak berdiri dalam lingkungan kaum muslimin di tengah-tengah antar golongan, menyeru kepada kebaikan, menyuruh  kepada kebajikan dan mencegah perbuatan munkar.

Antara bangsa-bangsa: Menolak setiap fitnah penjajahan dan kezhaliman suatu bangsa atas bangsa lain, dan mengusahakan ta’aruf antar bangsa.

* Ahmad Sulaiman Masulili wafat pada hari Selasa, 16 Dzulqa’dah 1409 H/Senin 19 Juni 1969 M. di Cempaka Putih, Jakarta, jam 16.15 wib. Beliau lahir di Luwuk, Sulawesi Selatan, 1 Juli 1916 M.